Rabu, 09 Januari 2019 | 21:00 WIB
Mencuatnya kasus prostitusi online yang menjerat nama artis Vanessa Angel membuat nominal Rp 80 juta yang diduga merupakan besaran tarif kencan menjadi viral. Angka Rp 80 juta pun kerap muncul jadi bahan candaan. Menanggapi fenomena tersebut, psikolog menilai itu sebagai bentuk pelecehan perempuan.
Banyak netizen berkometar soal Rp 80 juta. Ada yang bilang itu terlalu mahal untuk tarik sekali kencan. Banyak juga yang kemudian menganggap uang sebanyak itu bakal lebih bermakna jika dibelikan barang-barang lain.
Psikolog Roslina Verauli pun akhirnya buka suara. Dalam akun Instagramnya @verauli.id, dia menyebut komentar-komentar tersebut sama saja dengan merendahkan perempuan.
Baca Juga: Web Series Ini Suguhkan Keragaman Kuliner di Jatim, Banjarmasin dan Lombok, Tonton Yuk!
''Selama di ranah sosial masih berkomentar 'Apa? 80 juta? Mahal Amiiiittt!' Atau masih beri pernyataan 'Mending ada nilainya. Daripada gratisan. Cuma dibayar dengan janji-janji?' Atau 'Dasar.. Perempuan xxx...' (Itu) pernyataan yang sungguh menempatkan perempuan dalam posisi obyek,' kata Vera, Rabu (9/1/2018) kemarin.
Menurut Vera, semua pernyataan itu sama sekali tidak menghargai perempuan. Apapun situasinya, martabat perempuan, tak selayaknya terikat dan ditentukan oleh keadaan.
Komentar-komentar netizen ini, kata Vera, tak lepas dari budaya patriarki yang melekat di Indonesia, yakni di mana kekuasan dan dominasi dipegang oleh kaum lelaki.
Baca Juga: Ratusan Desainer Meriahkan Panggung Indonesia Fashion Week 2024
''Perempuan? Sebagai obyek. Yang secara sosial akan disalahkan dan dalam kendali laki-laki. Terutama dalam seksualitas. Bahkan terdapat standar ganda. Lelaki dengan pengalaman seksual bersama banyak perempuan cenderung dipandang hebat. Perempuan? Sebaliknya!'' imbuh Vera.
Vera memaparkan, identitas artis VA yang dengan jelas terungkap, sedangkan identitas lelaki si pengguna jasa yang ditutup-tutupi, juga menunjukkan bahwa perempuan selalu menjadi objek penderita. Perempuan dipandang sebagai pelaku perzinaan hingga penjaja seksual.
''Sementara lelaki tak memperoleh sanksi sosial seberat perempuan, bahkan bebas berkelit. Tahukah bahwa pengguna layanan seksual tak terikat hukum karena tak diatur dalam undang-undang? Sungguh kontradiktif! Di tengah masyarakat yang konon sudah terpengaruh arus globalisasi dan mulai menganut budaya egalitarian, di mana laki-laki dan perempuan dipandang seimbang alias setara,'' tambah Vera.
Vera juga menyebutkan bahwa lebih menyedihkannya lagi, dalam struktur sosial kehidupan masyarakat, pola ini diterima secara turun temurun, baik oleh laki-laki dan perempuan. Perempuan seolah dituntut untuk memelihara dirinya jika tak ingin dilecehkan atau dihina secara sosial.
''Perempuan juga kerap dinilai dari penampilan fisiknya, bahkan 'ditaksir' dari penampilannya. Tak heran, dalam kasus-kasus asusila, yang menjadi obyek penderita umumnya perempuan,'' tandas Vera yang menanggapi fenomena menjadikan Rp 80 juta sebagai bahan candaan.
Baca Juga: Sambut Hari Raya Bareng Brand Lokal, Ini 4 Rekomendasinya
Sumber: Suara.com/Firsta Nodia