
Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - Banyak orang yang memakai skincare untuk merawat kesehatan kulit. Namun tidak sedikit juga yang justru membahayakan kulit wajahnya sendiri karena memakai skincare secara berlebihan.
Kebiasaan tersebut perlu diwaspadai. Pasalnya, dr. Tompi mengatakan bahwa skincare yang berlebihan akan memberi dampak buruk pada kulit wajah dalam jangka panjang.
Lalu, seperti apa yang dimaksud dengan pemakaian skincare secara berlebihan? Terkait hal ini, Tompi menegaskan bahwa skincare yang dimaksud adalah produk yang sifatnya terapi atau obat.
Biasanya skincare ini diracik khusus oleh dermatologist sesuai dengan kondisi wajah seorang pasien. Komposisi bahan-bahan yang digunakan biasanya juga lebih kuat.
Baca Juga
-
Mantan Suami Menikah dengan Kakak Sendiri, Curhat Wanita Diminta Ikhlas
-
Tunangan Direbut Sahabat Sendiri, Wanita Ini Malah Belikan Kado Kalung Emas
-
Pernah Bikin Istri Orang Salah Paham, Viral Kisah Wanita Bernama 'Sayang'
-
Arkadia Digital Media Beberkan Inisiatif Baru saat RUPS dan Pubex 2021
-
Gagal Kencan, Viral Pria Malah Disuruh Konsultasi Kulit saat Main Tinder
-
Bikin Miris, Wanita Ini Diberi Pacar Rp2 Juta untuk Gugurkan Kandungan
"Pemakaian skincare berlebihan ini kita tujukan pada produk yang too strong (terlalu kuat)," ucap Tompi dalam acara Virtual Press Conference GEUT BY DR.T, Jumat (27/8/2021) kemarin.

"Jadi gini yah, skincare itu bisa kita pecah menjadi dua kelompok, kelompok maintenance dan kelompok terapi sebagai obat. Skincare sebagai obat biasanya diracik oleh dokter dermatologist, keadaan zat aktif itu diatur sesuai dengan kebutuhan case," imbuh.
Oleh karena itu, Tompi berpesan agar penggunaan skincare yang sifatnya terapi ini harus benar-benar melalui pengawasan dokter. Jangan sampai produk tersebut dipakai berlebihan dan merusak kulit.
"Itu ada ilmunya, ada itungannya. Supaya jangan sampai malah memerikan efek burning, malah jadi scar ke depannya. Apa pun yang dibuat ini dalam kadar terapi yang biasa kasusnya zat aktifnya lebih berat ya, lebih banyak, harus dengan pengawasan," kata Tompi lagi.
"Jadi pasiennya harus datang kembali ke dokternya, dicek ulang, dinilai ulang. Jadi nggak bisa bikin ramuan udah diaduk, disimpan, datang tinggal beli. Nggak boleh, karena memang case by case. Pada praktiknya, pasien itu seringnya malas," lanjut dia.
Karena perasaan malas itu, pasien tadi hanya menebus ulang resep dari perawatan sebelumnya. Jika hal ini terus dilakukan bisa-bisa kulit justru akan semakin tipis dan skin barrier-nya rusak.
Alhasil, kulit akan lebih sensitif terhadap paparan sinar matahari meski dalam intensitas yang wajar. Flek hitam juga akan lebih mudah muncul jika skin barrier sudah rusak.
"Karena ngerasa cocok, dia lupa kalau ini obat. Pakai 5 tahun, 6 tahun terus menerus. Akhirnya apa yang terjadi? Kulitnya itu kan over treatment," jelas Tompi.
Lantas, apa yang harus dilakukan jika kulit terlanjur rusak? Soal kondisi ini, Tompi mengatakan bahwa perawatan dengan skincare saja tidak cukup. Dia menyarankan untuk melakukan perawatan tambahan.
Lebih lanjut, Tompi juga menyarankan untuk segera menghentikan penggunaan produk yang terlalu keras dan jenis perawatan yang cenderung menganggap sel kulit terlalu banyak.
Terkini
- Vulnerable atau Oversharing? Menakar Batas Cerita Perempuan di Dunia Maya
- Merayakan Cinta Lewat Lagu, KOSTCON 2025 Hadirkan Konser OST K-Drama Pertama dan Terbesar
- Solusi Rambut Sehat dan Berkilau dengan Naturica, Wajib Coba!
- Kamu Terlalu Mandiri: Ketika Kemandirian Perempuan Masih Dianggap Ancaman
- Support System Seumur Hidup: Bagaimana Kakak Adik Perempuan Saling Menguatkan?
- Women News Network: Menguatkan Suara Perempuan dari Aceh hingga NTT
- Saatnya Berbagi Tugas di Dapur, Karena Memasak Bukan Hanya Tanggung Jawab Perempuan
- Lajang dan Bahagia: Cara Perempuan Menikmati Hidup Tanpa Tekanan Sosial
- Plan Indonesia dan SalingJaga Gelar Soccer for Equality, Dukung Kesetaraan Pendidikan Anak Perempuan NTT
- Paternity Leave Bukan Sekadar Cuti, Tapi Wujud Budaya Kerja yang Inklusif