Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - Selamat hari pahlawan! Siapa sosok pahlawan wanita yang paling membekas di ingatanmu? Cut Nyak Dien? RA Kartini? Oh, sudah pernah dengar kisah Nyai Pribumi?
***
Gadis kecil berkebaya lusuh ini hanya bisa termangu melihat megahnya gedung yang berdiri di hadapannya. Kelak, di gedung tersebut dia akan dibesarkan menjadi gundik oleh seorang Tuan Besar, sebutan bagi pria Eropa yang mengangkatnya jadi Nyai Pribumi.
Status seorang Nyai tidak murni karena nasib semata, mereka datang ke rumah tuan besar itu dengan berbagai alasan. Ada yang dijemput oleh Tuan Besar, ada juga yang diantar langsung oleh orangtua, bahkan suaminya. Pilihan yang terakhir tentu paling menorehkan luka bagi Nyai Pribumi.
Baca Juga
Bayangkan. Dia yang mengabdi pada Tuan Besar tapi suaminya yang menikmati hasilnya. Bagaimana bisa dia dijual suami sendiri? Dunia sungguh terasa tidak adil.
Menjadi Nyai memang akan meningkatkan kesejahteraan hidup wanita pribumi. Namun, statusnya tak pernah diakui oleh masyarakat. Begitu juga anak hasil hubungan Nyai dan Tuan besar. Status anak Indo-Eropa ini abu-abu karena tidak diakui sebagai ras kulit putih dan bukan juga bagian dari warga asli pribumi.
Fenomena pergundikan ini marak terjadi pada sepanjang sejarah kolonial, tapi tidak ada satupun undang-undang yang mengesahkannya. Bahkan, pemerintah kolonial memberi ancaman pada pria Eropa yang menikah dengan wanita pribumi. Mereka semua diancam tidak boleh kembali ke negara asalnya.
Sayangnya, fenomena ini masih terus berlangsung. Bagi pria Eropa, memelihara Nyai Pribumi jauh lebih menguntungkan daripada kena penyakit kelamin di tempat prostitusi. Sedangkan bagi pemerintah, kehadiran Nyai sangat baik untuk menstabilkan suhu politik kala itu.
Semenjak pemerintah kolonial menyadari pentingnya kehadiran Nyai sebagai 'pendamping' Tuan Besar, sejak itu pula keberadaannya selalu dicari. Mereka tidak mau bersusah payah mendatangkan wanita Eropa dari negara asalnya karena alasan biaya. Kebutuhan biologis tuan-tuan besar itu, biarlah Nyai Pribumi yang menanggung.
Tapi ironisnya, berbarengan dengan maraknya fenomena gundik, lahir juga berbagai aturan ironis yang melemahkan status Nyai Pribumi. VOC bahkan cukup keras melarang pegawainya untuk menikahi Nyai Pribumi.
Minimnya pendidikan dan pengetahuan wanita pribumi kala itu membuatnya lemah dan tak berani berontak, meskipun berbagai perlakuan kasar ia dapatkan dari tuan besar.
Semua beban hidup ditanggung Nyai seorang diri. Melayani tuan besar, diperlakukan kasar, status tidak jelas hingga tak punya hak apa-apa, termasuk untuk hidupnya sendiri.
Bayangkan, jika seorang Nyai Pribumi diusir oleh Tuan Besarnya, dia tak berhak hidup bersama anaknya. Hal ini merujuk pada Undang-Undang Hukum Perdata tahun 1848 pasal 40 dan 354. Hak asuh anak hasil pergundikan tidak dapat diambil oleh ibunya sekalipun si tuan meninggal.
Faktanya, hingga akhir abad ke-18 pemerintah tidak menerima anak hasil hubungan Nyai dan Tuan Besar. Baru pada awal abad ke-19, anak hasil hubungan itu diterima pendaftaran kelahirannya, itupun dengan status anak di luar nikah.
Anak-anak Indo-Eropa ini akan didaftarkan dengan nama belakang ayahnya dan di balik penulisannya. Tujuannya sudah jelas, untuk menyamarkan jejak keturunan biologisnya.
Sebagai contoh, seorang pegawai kehakiman Belanda yang bernama JTL Rhemrev. Setelah ditelusuri, ternyata dia lahir dari seorang Nyai Pribumi dan Tuan Besar yang bernama belakang Vermehr.
Pada abad ke-19, Tuan Besar bisa mengakui anak hasil pergundikannya dengan Nyai Pribumi, tapi tetap saja, kehidupan ironis akan mengiringinya. Biasanya tidak lama setelah mengakui keturunannya, Tuan Besar akan dipulangkan ke negara asalnya di Eropa.
Begitu kelamnya masa lalu wanita Indonesia, hingga menorehkan luka yang mendalam. Kini, ketika semuanya sudah menjadi sejarah, kita patut berterima kasih pada Nyai Pribumi, sosok pahlawan wanita yang tak dianggap.
Selamat hari pahlawan!
Tag
Terkini
- Fawning: Jebakan Menyenangkan Orang Lain, Sampai Lupa Diri Sendiri
- Overparenting, Jebakan Pola Asuh Orang Tua Zaman Now: Bisa Hambat Kemandirian Anak?
- Sextortion dan Sexploitation: Ketika Privasi Jadi Senjata Pemerasan di Era Digital
- Wifey Material: Ketika Perempuan Dituntut Jadi 'Istri Idaman'
- Nyaman dengan Diri Sendiri Berawal dari Perawatan Tepat Area Kewanitan
- Main Character Syndrome, Ketika Perempuan Merasa Jadi Pusat Semesta
- Go & Glow Fun Run 2025: Tetap Bugar dan Glowing dengan Aktivitas Seru
- Hot Girl Walk: Ketika Perempuan Jadi Lebih Bahagia Cuma Modal Jalan Kaki
- Self Gifting: Bukan Boros, Tapi Bentuk Apresiasi pada Diri Sendiri
- Lebih dari Sekadar Musik, Ada Pesan Pemberdayaan Perempuan dari JENNIE Lewat Album Ruby