Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - Depresi seringkali merujuk pada orang dengan kondisi murung dan sedih. Jika ditelusuri lebih dalam, kebanyakan orang menunjukkan gejala depresi dengan tampak tidak memiliki ketidaktertarikan pada hal-hal yang biasa disukainya, terjadi perubahan sikap yang tiba-tiba, serta nafsu makan yang meningkat atau malah turun drastis.
Namun, ternyata gejala depresi tidaklah selalu sama antar individu. Terkadang meski seseorang tidak menunjukkan gejala papaun, bisa saja dia mengalami depresi berat. Bahkan bukan tak mungkin mereka terlihat sering tersenyum dan tetap bekerja dengan baik seperti tak ada masalah apa-apa.
Itulah smiling depression. Salah satu contohnya terjadi pada Joker, musuh abadi superhero Batman yang filmnya akan tayang di bioskop pada Oktober 2019 mendatang.
Joker digambarkan memiliki wajah bahagia dengan senyum yang selalu menghiasi wajah badutnya. Padahal, aslinya, Joker adalah sosok yang membalut depresinya dengan bersikap keji.
Baca Juga
Heidi McKenzie, PsyD, seorang psikolog klinis yang berpraktik di Pittsburgh, Pennsylvania, mengatakan depresi dan tersenyum sesungguhnya tidak saling berhubungan.
''Orang dengan depresi ini kerap menutupi gejala yang mereka alami,'' kata McKenzie. seperti dilansir dari Women's Health Mag.
''Mereka bisa bangun setiap hari, berpakaian, datang kerja, dan terus berinteraksi dengan orang lain meski mereka memiliki perasaan yang buruk di dalam dirinya.''
McKenzie memaparkan, smiling depression pada dasarnya adalah nama lain dari gangguan depresi persisten (PDD), tingkat kesedihan kronis yang dapat mencakup perubahan tidur atau nafsu makan, perasaan putus asa atau kelelahan, serangan panik, dan kehilangan minat pada kegiatan favorit.
''Orang dengan smiling depression mungkin tidak tahu bahwa mereka mengalami depresi,'' tambah Karen Stewart, M.D., seorang psikiater di Kaiser Permanente di Atlanta, Georgia.
Hal itu karena orang yang depresi selama ini kerap diasosiasikan sebagai sosok yang lunglai, tidak dapat melakukan pekerjaan mereka, dan tidak bisa tersenyum. Jadi wajar jika seseorang merasa baik-baik saja karena tidak merasa cocok dengan gambaran stereotip depresi tersebut.
Lalu, bagaimana agar orang menyadari dirinya mengalami smiling depression? Menurut McKenzie, ada banyak tanda dan gejala depresi yang harus diperhatikan. Jika kamu merasa benar-benar kehabisan tenaga di malam hari dan tidak tahu penyebabnya, McKenzie mengatakan bahwa emosimu mungkin telah terkuras untuk melawan depresi.
McKenzie menggambarkan seseorang dengan smiling depression mungkin harus berjuang keras untuk bisa bangun di pagi hari, mandi, dandan, dan bersiap-siap ke kantor. Sesampainya di kantor, mereka dapat memainkan peran sebagai karyawan yang bahagia, ngobrol dengan rekan sekantor, tertawa, tetapi akan merasa hampa.
Pekerjaan mungkin dapat berjalan pekerjaan dengan baik. Ketika akhirnya pulang ke rumah, rasanya begitu lelah sehingga mengabaikan semua tanggung jawab pribadi dan memilih langsung tidur tanpa mandi dan makan malam.
Perawatan diri sendiri juga benar-benar menurun. Kamu menjadi malas bergerak, lebih suka makan makanan yang tidak sehat, dan menghindari undangan untuk bergaul dengan teman-teman. Kamu juga secara konstan mengalami siklus emosi negatif, baik dengan perasaan bersalah, malu, atau sedih.
Nah, jika kamu merasa tanda-tanda tersebut, McKenzie menyarankan untuk mengabaikan segala pikiran tentang rasa malu, menyalahkan, atau rasa bersalah yang terkait dengan fakta bahwa kamu mengalami depresi. Tidak ada alasan untuk merasa malu mengakui depresi, dan kamu berhak meminta bantuan.
Setelah itu, kamu memiliki beberapa pilihan yang bisa dilakukan untuk membantu mengatasi depresi, yaitu perubahan gaya hidup, terapi, dan pengobatan. ''Anda dapat memilih satu di antaranya, atau melakukan kombinasi dari semuanya,'' kata Stewart.
Menurut Stewart, perubahan gaya hidup melibatkan memerhatikan pola makan, tidur, dan olahraga. Obat-obatan biasanya melibatkan jenis-jenis yang mampu meningkatkan serotonin yang memperbaiki suasana hati. Sementara itu, terapi perilaku kognitif adalah pilihan yang solid dan menurut Dr. Stewart akan mengajarkan bagaimana mengelola pikiran serta perilaku untuk meningkatkan suasana hati secara keseluruhan.
Apapun perawatan yang kamu pilih, kuncinya adalah mendapatkan bantuan — baik secara profesional maupun dari teman atau anggota keluarga tepercaya. Seperti kondisi kesehatan lainnya, memang akan butuh waktu. Namun, pada akhirnya semua akan baik-baik saja. (Suara.com/Vania Rossa)
Terkini
- Ladang Mimpi yang Berubah Jadi Neraka: Tragedi 100 Wanita Thailand di ' Peternakan Telur Manusia' Georgia
- Mengenal Roehana Koeddoes: Jurnalis Perempuan Pertama di Indonesia
- Stigma atau Realita: Perempuan Enggan Bersama Laki-laki yang Tengah Berproses?
- Komunitas Rumah Langit: Membuka Ruang Belajar dan Harapan bagi Anak-anak Marginal
- Subsidi BPJS Kesehatan Terancam, Siapa yang Paling Terdampak?
- Komnas Perempuan Soroti Perlindungan Jurnalis Perempuan dari Kekerasan Berbasis Gender
- Damkar Dipanggil, Polisi Ditinggal: Mengapa Publik Lebih Percaya Damkar?
- Tantangan dan Realitas Jurnalis Perempuan di Indonesia: Menyingkap Kesenjangan di Ruang Redaksi
- Memahami dan Merawat Inner Child: Kunci untuk Menyembuhkan Luka yang Tak Terlihat
- Working Holiday Visa Australia: Tiket Emas untuk Kerja dan Hidup di Luar Negeri