Minggu, 16 Maret 2025
Rima Sekarani Imamun Nissa : Rabu, 18 September 2024 | 16:00 WIB

Aktifkan Notifikasimu

Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.

Dewiku.com - Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) tak dipungkiri banyak memakan korban di tengah pesatnya perkembangan teknologi. Meski terjadi di ruang digital, KBGO tetap merupakan tindak kriminal yang merugikan gender tertentu, terutama perempuan.

Melansir Suara.com, Rabu (18/9/2024), KGBO adalah bentuk kekerasan antara korban dan pelaku di ranah daring atau melibatkan teknologi digital. Korbannya bisa perempuan maupun laki-laki.

Salah satu yang marak adalah non-consensual dissemination of intimate image (NCII). Contohnya, banyak kasus yang bermula dari perkenalan di aplikasi kencan daring atau media sosial. Korban yang sudah merasa cocok dan nyaman dirayu untuk mengirim foto atau video intim. Namun, pelaku kemudian menggunakannya untuk memeras korban, yakni dengan mengancam akan menyebar foto atau video tersebut.

Konselor Rifka Annisa Women's Crisis Center (RAWCC), Amalia Rizkiyani, mengungkapkan, orang-orang perlu memahami bahwa tak sedikit korban NCII yang telah dimanipulasi secara psikologis oleh pelaku dengan love bombing.

"Chat-nya pasti nggak ada yang dry text. Korban dikasih love bombing yang bikin pelaku seolah-olah husband material banget," ujar Lia kepada Dewiku.com, beberapa waktu lalu.

Lia memaparkan sejumlah faktor yang membuat seseorang rentan menjadi korban. Pertama, mungkin korban sedang berada dalam hubungan yang tidak baik, bisa jadi dengan keluarga, kekasih, atau orang terdekat lainnya. Akhirnya, korban mencari pelarian di ruang digital dan—apesnya—bertemu pelaku dengan segala tindakan love bombing yang menghanyutkan perasaan.

Apa itu love bombing? Dilansir dari Halodoc, love bombing merupakan tindakan berupa rasa kagum, perhatian, dan kasih sayang secara berlebihan dengan tujuan memanipulasi hubungan yang dijalani.

Bentuknya bisa berbeda-beda, tetapi biasanya melibatkan beberapa hal seperti terus-menerus memberi pujian dan mengungkapkan perasaan secara berlebihan, menghujani dengan hadiah yang mungkin sebenarnya tidak kamu butuhkan atau inginkan, serta adanya obrolan intens yang terlalu dini tentang masa depan bersama.

Selain efek love bombing, Lia menyoroti literasi digital yang masih rendah. Akibatnya, seseorang menjadi kurang waspada saat pelaku bertanya soal data pribadi.

"Jadi, supaya pelaku tidak menyebarkan foto atau video pribadi, para korban diminta untuk mengirim sejumlah uang ke si pelaku. Benar-benar diminta kirim. 'Kamu harus kirim hari ini. Jumlahnya sekian'," kata Lia.

Ironisnya, pemerasan tersebut bisa terjadi berulang kali dengan nominal uang yang semakin bertambah.

"Kenaikan jumlah nominal yang diminta pelaku ke korban sebanding lurus dengan tingkat kecemasan yang dibangun pelaku ke korban. Korban semakin cemas, jadi meskipun nominalnya semakin naik, dia akan berusaha memenuhinya karena yang dimanipulasi adalah psikisnya," ucap Lia menerangkan.

Sebagai upaya pencegahan, Lia menekankan pentingnya membekali diri dengan literasi digital yang mumpuni. Hal ini khususnya berkaitan dengan cara berkomunikasi atau menjalin hubungan di ruang digital.

"Belajar cara menggunakan internet yang aman dan sehat. Jangan sembarangan percaya orang," tegasnya.

Selain itu, penting untuk personal boundaries atau batasan yang jelas antara diri sendiri dengan orang lain, tak terkecuali terhadap mereka yang dikenal di ruang digital.

"Paling tidak, tetapkan batasan. Jangan kasih data pribadi apa pun," tegasnya.

BACA SELANJUTNYA

Deepfake: Jangan Biarkan Wajahmu Dicuri! Begini Cara Mencegahnya