
Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - Banyak orang tua menganggap bahwa stimulasi dan pemeriksaan sensorik hanya diperlukan untuk anak usia lima tahun ke bawah.
Padahal, menurut Anastasia Satrio, psikolog anak, permasalahan sensorik dapat berdampak hingga masa remaja dan mempengaruhi aspek emosional serta adaptasi sosial mereka.
"Kadang, orang tua baru sadar soal stimulasi sensorik saat anak masih kecil. Padahal, ketika mereka beranjak usia 10-12 tahun, isu-isu sensorik ini masih bisa berdampak, terutama dalam hal emosi dan adaptasi sosial," ujar psikolog klinis yang fokus pada anak dan remaja ini.
Salah satu indikasi gangguan sensorik adalah kesulitan menerima berbagai tekstur makanan. Anak-anak dengan kondisi ini cenderung memiliki tantangan dalam menerima masukan dari orang lain.
Baca Juga
-
Di Balik Layar yang Bias: Realita Pahit Jurnalis Perempuan dalam Pusaran Media Online
-
Nggak Cuma Dinner Romantis, 7 Film Ini Juga Cocok untuk Menemani Hari Valentine Kamu
-
Era Digital, Era Kompetisi: 6 Karakter yang Harus Dimiliki Anak Muda agar Sukses
-
Jangan Lupa Bahagia: Rayakan Valentine dengan Cintai Diri Sendiri
-
Ide Merayakan Valentine Bersama Orang Terkasih, Dinner Romantis Bisa Jadi Pilihan
-
Stigma atau Realita: Perempuan Enggan Bersama Laki-laki yang Tengah Berproses?
Menurut Anastasia, cara menanganinya bukan dengan "memaksakan" anak untuk menerima kritik atau masukan, melainkan dengan terlebih dahulu memperbaiki aspek sensoriknya.
"Area otak yang memproses tekstur sensorik itu sama dengan area otak yang berfungsi dalam menerima input atau feedback dari orang lain," jelasnya saat ditemui di Gentem Center di Neo Soho Mall, Jakarta Barat, beberapa waktu lalu.
Dalam beberapa kasus, gangguan sensorik bahkan dapat berujung pada masalah yang lebih serius, seperti depresi.
Anastasia mencontohkan seorang remaja yang ia tangani, seorang siswa kelas 2 SMA yang mengalami depresi berat. Setelah ditelusuri, ternyata kondisi depresinya sudah berlangsung sejak SMP kelas 2.
"Saya bilang ke anak itu, ‘Kamu hebat banget bisa bertahan hidup sampai sekarang.’ Ternyata yang membuatnya sulit bukan pelajaran sekolah, karena IQ-nya baik, tapi ada masalah sensorik yang tidak disadari," ungkap Anastasia.
Saat menggali lebih dalam, ia bertanya kepada sang ibu apakah anak tersebut memiliki kesulitan dengan tekstur makanan. Jawaban ibunya cukup mengejutkan—anaknya ternyata tidak bisa menginjak pasir sejak kecil.
"Ibunya bilang, ‘Oh, dia selalu pakai sepatu kalau ke pantai.’ Padahal kita tinggal di negara tropis, sering ke pantai seperti ke Bali atau Ancol. Tapi ibunya tidak merasa ada yang salah dengan itu," tuturnya.
Menurut Anastasia, kemampuan otak dalam memproses tekstur seperti pasir berhubungan erat dengan kemampuan anak dalam beradaptasi secara sosial.
"Anak lain mungkin bisa menghadapi perundungan (bullying) dan tetap bertahan, tapi anak dengan gangguan sensorik bisa sampai tidak bisa sekolah atau bahkan berpikir ingin mengakhiri hidupnya. Ini bukan sekadar masalah kurang iman, tetapi masalah sensorik yang harus ditangani," tegasnya.
Pendekatan dalam Menangani Isu Sensorik
Untuk menangani permasalahan ini, Anastasia menggunakan konsep Pyramid of Learning, di mana perbaikan sensorik menjadi langkah awal dalam membantu anak.
"Kalau anak usia 10 tahun ke atas, tentu bukan lagi terapi sensory integration seperti pada anak kecil. Biasanya, kita mencari aktivitas olahraga yang cocok atau melibatkan pelatih yang paham tentang isu sensorik," jelasnya.
Sebagai contoh, ia menangani beberapa anak yang mengalami pandemi di usia 10 tahun dan kini berusia 12 tahun. Banyak dari mereka mengalami kesulitan melakukan aktivitas sederhana seperti keramas.
"Bukan karena mereka tidak tahu cara keramas, tetapi karena otot-otot dan sistem sensoriknya bingung dalam merespons aktivitas itu. Oleh karena itu, kita bantu mereka mengembangkan sensitivitas sensoriknya secara bertahap," katanya.
Pendekatan yang tepat dalam menangani masalah sensorik dapat membantu anak berkembang secara optimal, baik dalam aspek fisik maupun sosial.
Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk lebih memahami dan mendukung anak dalam menghadapi tantangan sensorik mereka, tidak hanya di usia dini tetapi juga hingga remaja.
(Nurul Lutfia)
Terkini
- Saatnya Berbagi Tugas di Dapur, Karena Memasak Bukan Hanya Tanggung Jawab Perempuan
- Lajang dan Bahagia: Cara Perempuan Menikmati Hidup Tanpa Tekanan Sosial
- Plan Indonesia dan SalingJaga Gelar Soccer for Equality, Dukung Kesetaraan Pendidikan Anak Perempuan NTT
- Paternity Leave Bukan Sekadar Cuti, Tapi Wujud Budaya Kerja yang Inklusif
- Koper Ringan, Gaya Baru Menjelajah Dunia Tanpa Beban
- Body Positivity vs Body Neutrality: Mana Jalan Terbaik Menerima Tubuh Apa Adanya?
- Wujud Kesetaraan di Dunia Transportasi, Kartini Masa Kini di Balik Kemudi
- Musikal untuk Perempuan: Merayakan Persahabatan Lewat Lagu Kunto Aji dan Nadin Amizah
- Melangkah Sendiri, Merdeka Sepenuhnya: Kenapa Perempuan Pilih Solo Traveling?
- Koneksi Bukan Kompetisi: The Real Power of Women Supporting Women