Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - Di banyak budaya, anak dianggap sebagai anugerah, titipan Tuhan, dan harapan masa depan. Kalimat seperti “anak adalah rezeki” atau “buah hati” menjadi narasi yang menguatkan nilai kasih sayang dalam hubungan orang tua dan anak.
Namun dalam praktik sehari-hari, terutama dalam konteks ekonomi yang makin menekan, muncul narasi lain yang tak kalah kuat: anak sebagai investasi.
Meski tak selalu diungkapkan secara eksplisit, gagasan ini muncul dalam berbagai bentuk — dari ungkapan klise seperti “Nanti kamu juga akan sadar, semua ini demi kamu” hingga tekanan tersirat agar anak “membalas” pengorbanan orang tua dengan prestasi, pekerjaan mapan, atau dukungan finansial di masa tua.
Sayangnya, narasi ini sering kali menggeser esensi pengasuhan: dari hubungan kasih sayang yang tulus, menjadi relasi transaksional yang sarat ekspektasi.
Baca Juga
-
Menerima Diri, Membangun Kekuatan: Langkah Nyata Perempuan Menumbuhkan Percaya Diri
-
Kebaikan yang Diwajibkan: Perempuan dan Ekspektasi Sosial yang Membentuknya
-
Sering Overthinking atau Menjauh Saat Didekati? Kenali 4 Attachment Style dalam Hubungan Perempuan
-
Kamu Terlalu Mandiri: Ketika Kemandirian Perempuan Masih Dianggap Ancaman
-
Support System Seumur Hidup: Bagaimana Kakak Adik Perempuan Saling Menguatkan?
-
Saatnya Berbagi Tugas di Dapur, Karena Memasak Bukan Hanya Tanggung Jawab Perempuan
Anak Sebagai Investasi: Realitas Sosial yang Tak Bisa Diabaikan
Dalam kondisi ekonomi yang serba tidak pasti, biaya pendidikan yang tinggi, dan minimnya jaminan sosial untuk lansia, banyak keluarga tidak punya pilihan selain melihat anak sebagai penopang masa depan.
Orang tua berharap, jerih payah mereka akan “kembali” dalam bentuk materi—anak sukses, memiliki pekerjaan bagus, dan bisa menanggung balik kebutuhan orang tua.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia atau Asia, melainkan juga menjadi sorotan di wacana global.
Dr. Laura Markham, seorang psikolog perkembangan anak dari University of California, mengatakan ketika anak-anak dibesarkan dengan keyakinan bahwa harga diri mereka bersyarat, hal ini dapat merusak ketahanan emosional mereka.
Hal senada juga disampaikan oleh Elisabeth Young-Bruehl, psikoanalisa dan penulis buku Childism: Confronting Prejudice Against Children, yang mengkritik praktik-praktik pengasuhan yang menjadikan anak sebagai sarana pemenuhan ambisi orang tua.
“Anak menjadi sarana, bukan tujuan alat bagi ambisi orang tua yang belum terwujud,” ujarnya.
Narasi ini sering kali dikemas secara halus dengan embel-embel cinta dan pengorbanan, yang pada intinya, anak diarahkan untuk menjadi “hasil” dari investasi orang tua, bukan individu merdeka yang didukung untuk menemukan jalannya sendiri.
Menumbuhkan Harapan, Bukan Menanam Ekspektasi
Di tengah tuntutan hidup dan tekanan sosial yang semakin tinggi, wajar jika orang tua berharap yang terbaik untuk anaknya.
Namun, penting untuk membedakan antara mendampingi anak dan menggiring anak, mengasuh dengan cinta tanpa syarat adalah kunci untuk membangun hubungan yang sehat antara kedua orang tua dan anak.
Idealnya, anak dibesarkan dengan kasih sayang, bukan dengan narasi pengorbanan yang dibebankan kembali.
Mendidik anak memang butuh perjuangan, tetapi ketika dilakukan dengan cinta yang tulus dan tanpa syarat, hasilnya akan jauh lebih bernilai—tidak selalu dalam bentuk materi, tetapi dalam hubungan yang sehat, hangat, dan saling menghargai.
Mengubah pemikiran seperti ini bukan perkara mudah, karena ia sudah tertanam dalam budaya dan struktur sosial di masyarakat.
Tapi dengan refleksi dan kesadaran, orang tua bisa mulai menata ulang tujuan pengasuhan, bukan untuk membentuk anak sebagai pengembalian modal, tetapi sebagai manusia yang tumbuh utuh, bebas, dan berdaya.
Pada akhirnya, bukan soal apa yang bisa anak “kembalikan”, melainkan bagaimana kita mendukung mereka menjadi versi terbaik dirinya tanpa syarat dan tanpa paksaan apapun.
(Mauri Pertiwi)
Terkini
- Keluarga Cemara Hadir di Panggung Teater, Sajikan Kisah Hangat untuk Libur Sekolah
- FOMO Belanja Online: Buru-Buru Check Out Karena Takut Ketinggalan, Bukan Karena Butuh?
- Realita Cewek: Kenapa Lemari Penuh Tapi Rasanya Tetap Nggak Punya Baju?
- Filter Fatigue: Tuntutan Flawless di Medsos yang Diam-Diam Bikin Cewek Stres
- Kalau Kamu Tokoh Drakor, Berdasarkan Zodiak Kamu Jadi Siapa?
- Belajar Jadi Cewek Tangguh dari Drakor, Bukti Kalau Kekuatan Bukan Cuma Milik Cowok
- Emotional Dumping di Circle Pertemanan: Waspadai Batas Sehat Curhat ke Teman
- Sindrom Fear of Better Options (FOBO), Kenapa Cewek Gen Z Susah Ambil Keputusan?
- Risiko Kanker Perempuan Diam-Diam Ikut Naik Seiring Suhu Bumi yang Makin Panas
- Psikolog Ungkap Alasan Kenapa Fenomena Ghosting Makin Lumrah di Kalangan Gen Z