Dewiku.com - Ramainya kabar soal Uya Kuya belakangan ini ternyata ikut menyeret nama sang putri, Cinta Kuya. Seperti diketahui, Uya Kuya resmi dinonaktifkan dari jabatannya sebagai anggota DPR RI dari Fraksi PAN. Keputusan ini muncul setelah beredar video dirinya berjoget saat rapat DPR, momen yang memicu kekecewaan publik hingga berujung desakan agar ia mundur.
Meski sudah memberikan klarifikasi bahkan membuat video permintaan maaf, desakan publik tak mereda. Nama Uya Kuya terus jadi perbincangan, dan kini sorotan juga mengarah pada anaknya, Cinta Kuya, yang tengah menempuh pendidikan di University of Southern California (USC), Amerika Serikat.
Menariknya, Cinta Kuya sejauh ini memilih diam. Ia tidak menanggapi isu yang menimpa ayahnya, maupun ramai-ramai komentar warganet soal tunjangan DPR yang fantastis dan menjadi pemicu gejolak di Indonesia beberapa hari terakhir. Sikap diam ini justru mengundang kritik pedas dari sebagian netizen.
Di media sosial X (Twitter), muncul perbincangan soal anak-anak politisi yang memilih bungkam.
“Cinta Kuya dan banyak anak politisi lainnya yang tiba-tiba diam seharusnya memberi tahu kalian banyak hal tentang anak-anak politisi dan koruptor ini,” tulis akun @onetwo***.
Komentar ini bahkan sudah dibaca lebih dari 4 juta kali dan mendapat puluhan ribu respons, termasuk yang menilai anak-anak pejabat tidak lebih baik dari orang tua mereka.
Padahal, publik mengenal Cinta Kuya sebagai sosok yang cukup aktif bersuara mengenai isu-isu global. Ia sempat mengomentari kebakaran di Los Angeles hingga ikut menggalang donasi untuk Palestina. Karena itulah, keputusannya untuk tidak berkomentar kali ini dianggap sebagai sesuatu yang janggal.
Lantas, mengapa anak kerap dikaitkan dengan kesalahan orang tuanya? Dan bagaimana dampak psikologis yang bisa timbul dari fenomena ini? Habis ini kita bahas lebih dalam.
Ketika orang tua melakukan kesalahan, tapi justru anak yang jadi sasaran untuk disalahkan, hal ini bisa menimbulkan luka psikologis yang serius. Anak yang tidak tahu apa-apa bisa tumbuh dengan rasa tidak percaya diri, mudah merasa bersalah, bahkan sampai mengalami depresi dan kesulitan bersosialisasi karena selalu takut disalahkan.
Itulah kenapa orang tua perlu menghentikan kebiasaan ini dengan cara lebih dewasa, belajar berkomunikasi dengan baik, serta mencoba melihat situasi dari sudut pandang anak, bukan hanya dari sisi mereka sendiri.
Baca Juga
-
Viral Nilai Ijazah Sahroni yang Pas-Pasan, Bukti Nilai Akademis Bukan Syarat Sukses di Politik?
-
Aksi Massa Bikin Rumahnya Berantakan, Sri Mulyani Pilih Respons Tenang dan Janji Berbenah
-
Keberanian Tata Juliastrid Speak Up Soal Demo DPR dan Affan Kurniawan, Bikin Dunia Ikut Mendengar
-
Viral 17+8 Tuntutan Rakyat: Suara Mendesak agar Pemerintah Bergerak Cepat
-
Potret Mahkota Jiwanta: Perhiasan Ikonik yang Akan Memahkotai Pemenang Miss Universe Indonesia 2025
-
Sosok Emak-Emak Berkerudung Pink-Ungu di Aksi Demo, Representasi Kekuatan Wanita Bersuara
Dampak pada Anak:
Hilangnya Kepercayaan Diri
Anak yang terus-menerus disalahkan akan merasa dirinya tidak mampu dan tidak berharga. Lama-lama, mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang penakut dan sulit percaya pada kemampuan diri sendiri.
Perasaan Bersalah dan Depresi
Saat anak sering dimarahi atau dibuat merasa bersalah, mereka bisa merasa terasing, gagal, dan kehilangan tempat aman. Hal ini berpotensi berkembang menjadi depresi atau gangguan mental lainnya.
Masalah Sosial
Anak yang selalu ditekan dengan kesalahan bisa tumbuh menjadi pribadi yang takut bersosialisasi. Mereka cenderung khawatir akan dicela atau dihina oleh orang lain.
Perilaku Agresif
Bukan hanya jadi pendiam, ada juga anak yang akhirnya tumbuh agresif. Mereka terbiasa melihat marah sebagai respons normal atas masalah, sehingga mudah melampiaskan kemarahan ke orang lain.
Yang Bisa Dilakukan Orang Tua:
Bicarakan Baik-Baik
Komunikasi adalah kunci. Daripada langsung menyalahkan, orang tua sebaiknya mendengar penjelasan anak dan mencari solusi bersama.
Tanamkan Pengertian
Berusahalah untuk lebih pengertian. Bimbing anak dengan sabar, bukan sekadar menyoroti kesalahan mereka.
Tetapkan Batasan yang Sehat
Ciptakan batasan yang adil agar anak tidak terus-menerus menjadi sasaran amarah atau kesalahan yang sebenarnya bukan tanggung jawabnya.
Fokus pada Solusi, Bukan Kesalahan
Alihkan fokus dari mencari siapa yang salah menjadi mencari jalan keluar agar masalah bisa diperbaiki.
Pahami Perspektif Anak
Sadari bahwa anak belum tentu mengerti situasi yang terjadi. Beri mereka ruang untuk belajar, tumbuh, dan berkembang tanpa dihantui rasa takut.
Cari Bantuan Profesional
Jika pola menyalahkan ini sudah terlalu sering dan memberi dampak serius, jangan ragu mencari bantuan psikolog agar anak bisa mendapat pendampingan tepat.
Setiap anak berhak merasa aman, didengar, dan dihargai di rumahnya sendiri. Menyalahkan anak atas kesalahan yang bukan tanggung jawab mereka hanya akan merusak kepercayaan diri dan perkembangan emosionalnya.
Dengan sikap yang lebih dewasa, komunikasi yang hangat, serta fokus pada solusi, orang tua bisa menciptakan lingkungan keluarga yang sehat sekaligus menjadi tempat tumbuh yang penuh kasih untuk anak-anaknya.
Terkini
- Memilih Susu Pertumbuhan Anak: Tips untuk Orang Tua Masa Kini
- Kenapa Cewek Suka Mengingat-Ingat Kesalahan Pasangan? Ini Penjelasannya
- The Club Series: Kuas MUA Sporty-Luxury yang Bikin Makeup Auto Flawless
- Quality Time Ala Keluarga Modern: Nggak Perlu Jauh, yang Penting Bermakna
- Olahraga Makin Hits, Outfit Tetap Santun: Tren Sportwear Modest yang Lagi Naik Daun
- Ketika Kehamilan Datang Tanpa Diminta: Sunyi, Stigma, dan Ruang #SamaSamaAman yang Mesti Kita Ciptakan
- Semakin Dewasa, Circle Makin Kecil: Ternyata Ini Bukan Salah Siapa-Siapa
- Akses Layanan Kesehatan Kelas Dunia, Kini Lebih Dekat untuk Keluarga Indonesia
- Seventh Anniversary, Noera Beauty Rilis Sunscreen Physical dengan Formula Baru yang Inovatif
- Regenerative Beauty: Tren Baru yang Bikin Kulit Glowing Alami Tanpa Kesan 'Diisi'