Rabu, 06 November 2024 | 18:01 WIB
"Haruskah menjadi pekerja migran? Bisakah tinggal di rumah bersama keluarga saja dan memperoleh penghasilan yang sama? Jika memang bisa, tidak akan memilih untuk meninggalkan negara ini ...."
Saat memutuskan menjadi aktivis demi memperjuangkan hak pekerja migran Indonesia (PMI), Eni Lestari sadar bahwa dirinya telah memilih sebuah perjalanan panjang yang sungguh tidak mudah.
"Problem kita struktural sekali, misal masalah akses laporan ke kedutaan, migran terlantar yang kemudian tidak punya tempat berlindung, dan problem itu muncul karena kebijakan-kebijakan dari Indonesia maupun negara penerima yang sama-sama jeleknya," tutur Eni saat ditemui Dewiku.com di Yogyakarta, Selasa (5/11/2024).
Baca Juga: Jangan Sembarangan! 8 Langkah Cerdas Memilih Klinik Kecantikan yang Aman dan Terpercaya
Lembar kehidupan Eni sebagai pekerja migran dimulai pada era pasca reformasi. Situasi politik dan ekonomi dalam negeri sangat kacau. Kala itu, Eni yang baru saja lulus SMA melihat sendiri bagaimana kondisi finansial keluarganya semakin memburuk akibat krisis moneter.
Loading...
Tahun 1999, seorang teman mengajak Eni bekerja di luar negeri, tepatnya Hong Kong. Setelah berbulan-bulan berusaha meyakinkan orang tuanya, si sulung akhirnya mendapat izin untuk menjadi pergi jauh meninggalkan Tanah Air.
Baca Juga: Womens March Jakarta 2024: Ribuan Suara Tuntut Akhiri Diskriminasi dan Patriarki
Namun, berbagai kegelisahan segera terasa begitu mengusik, bahkan sebelum Eni benar-benar terbang ke Hong Kong. Prosedur administratif yang melelahkan dan tidak adil membuatnya sangsi dengan sistem penyaluran tenaga kerja yang diterapkan pemerintah.
Setibanya di Hong Kong pada kisaran 2000, berbagai bentuk ketidakadilan terus terjadi. Jangankan kontrak kerja, Eni tak bisa berbuat banyak saat agen penyalur tenaga kerja mengambil paspor miliknya.
Sebagai pekerja rumah tangga, Eni juga dibayar terlalu rendah, bahkan tak sampai separuh dari upah minimum yang berlaku. Sudah begitu pun, Eni tidak digaji pada tiga bulan pertama dengan alasan dirinya harus membayar agency cost terlebih dahulu. Hari libur pun tidak ada, kecuali majikan berbaik hati memberikannya.
Eni bersikeras mengambil hari libur pada bulan kelima dan keenam, tetapi majikannya selalu menolaknya dengan berkata, "Kamu tahu kalau kamu tidak akan dapat hari libur selama dua tahun, kan?"
Walau demikian, Eni tak lantas menyerah hingga akhirnya diberi libur sebulan sekali. Setelahnya, Eni berupaya mencari informasi tentang bagaimana keluar dari situasi syarat perbudakan itu.
Eni sempat berpikir bahwa apa yang dia alami di Hong Kong merupakan hal lumrah di kalangan tenaga kerja Indonesia (TKI). Namun, begitu terhubung dengan Mission for Migrant Workers (MFMW), Eni sepenuhnya yakin bahwa dia adalah korban.
Organisasi tersebut menjelaskan kepada Eni bahwa setiap pekerja rumah tangga di Hong Kong, baik orang Filipina, Indonesia, Nepal, Sri Lanka, atau warga negara mana pun, mestinya berhak atas hak yang sama. Jadi, setelah 7,5 bulan bekerja, Eni memberanikan diri untuk kabur dari majikan pertamanya.
Hari-hari setelah melarikan diri semakin membuka mata Eni tentang kompleksitas masalah pekerja migran di Hong Kong. Di Bethune House Shelter, ada lebih dari 30 perempuan dari berbagai negara. Mereka yang berada di tempat penampungan mengalami kesialan serupa, bahkan lebih parah, termasuk kekerasan fisik dan pelecehan seksual.
"Saya pikir, saya satu-satunya yang menderita di bawah langit Hong Kong, tetapi ternyata ada banyak, beberapa di antaranya bahkan lebih buruk," tutur Eni.
Eni terdorong untuk belajar lebih banyak tentang hak-hak pekerja migran. Bersama teman sesama PMI, Eni menjadi relawan MFMW sehingga memperoleh kesempatan untuk mempelajari sistem imigrasi dan tenaga kerja.
Serikat Buruh Migran Indonesia pun terbentuk, organisasi di mana perempuan asal Jawa Timur ini memimpin selama 12 tahun. Misi utamanya adalah meningkatkan kesadaran orang Indonesia, terutama pekerja migran, tentang hak legal yang dimiliki dan bagaimana cara mengaksesnya.
Boleh dibilang, tidak semua orang terlahir menjadi aktivis. Saat diwawancarai Asian Labour Review beberapa waktu lalu, Eni pernah mengungkapkan apa yang membuatnya bertahan memperjuangkan hak pekerja migran selama bertahun-tahun.
Berawal dari upaya mencari keadilan untuk diri sendiri, Eni menyadari bahwa aktivisme membuatnya bisa berkontribusi bagi masyarakat sambil tetap melakukan pekerjaannya.
"Sepanjang perjalanan, ketika saya mempunyai pemahaman yang lebih luas tentang globalisasi, bagaimana kapitalisme global bekerja, dan bagaimana migrasi paksa nyatanya telah berlangsung selama beberapa generasi, saya menyadari bahwa ini bukan perjuangan jangka pendek," ungkap Eni.
Harapan para pekerja migran, termasuk Eni, sebenarnya sederhana. Mengapa harus menjadi migran? Bisakah tinggal di rumah bersama keluarga saja dan memperoleh penghasilan yang sama? Jika memang bisa, orang-orang tidak akan memilih untuk meninggalkan Indonesia.
"Mengapa Indonesia bahkan tidak mampu memberikan pekerjaan kepada kami, terutama perempuan, orang miskin, dan orang yang tidak berpendidikan?"
Eni telah menjadi pekerja rumah tangga dan organisator di Hong Kong selama lebih dari 20 tahun. Saat ini, sang aktivis dipercaya memimpin International Migrants Alliance (IMA) yang beranggotakan 180 organisasi dari 32 negara.
Pada saat bersamaan, Eni juga termasuk pengurus Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) sekaligus dewan penasihat Beranda Migran.
Baca Juga: Orang Tua Bicara: Program Makan Siang Gratis Harus Lebih Tepat Sasaran!
"Saya selalu berperspektif, apa pun yang kita lakukan, harus mengubah nasib banyak orang," tandas Eni.