lifestyle

Biennale Jogja XV 2019, Pengunjung Diajak Melihat Sisi Lain Asia Tenggara

Setiap karya seni di Biennale Jogja XV menggambarkan secuil kisah kehidupan dari Asia Tenggara.

Rima Sekarani Imamun Nissa
Jumat, 25 Oktober 2019 | 07:56 WIB

Pameran seni Biennale Jogja 2019 resmi dimulai pada 20 Oktober 2019 lalu. Tahun ini, Biennale Jogja yang mengusung tajuk 'Do we live in the same PLAYGROUND?' melibatkan 52 seniman dari wilayah Asia Tenggara.

Alia Swastika, Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta mengatakan, kawasan Asia Tenggara dipilih setelah sebelumnya melibatkan seniman dari India, Nigeria, Arab, dan Brasil.

"Pertama, kita berada dalam kawasan Asia Tenggara. Terus apa sih yang belum pernah diambil dari Asia Tenggara?" kata Alia Swastika.

Baca Juga: IFW 2024 Jadi Rujukan Tren Mode Lintas Generasi, Berkomitmen Usung Produk Lokal

"Kalau kita bicara soal Manila, Bangkok, Jakarta, Kuala Lumpur, kan udah sering. Jadi kita mau ngomong dari wilayah-wilayah pinggiran," tambahnya.

Berangkat dari sinilah, Biennale Jogja XV 2019 mengusung tema 'Do we live in the same PLAYGROUND?'. Para kurator dan seniman diminta untuk mempertunjukkan karya yang mewakili isu pinggiran di Asia Tenggara.

Beberapa di antaranya adalah karya tentang perbatasan Thailand-Laos, Malaysia-Thailand, hingga wilayah pinggiran Indonesia itu sendiri.

Baca Juga: Bayar Zakat Fitrah Boleh Online? Simak Penjelasan Buya Yahya

"Jadi melihat sesuatu tentang Asia Tenggara yang belum banyak diangkat dalam dunia seni," terang Alia Swastika.

Alia Swastika, Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta (Suara.com/Yasinta)

Selain isu pinggiran, isu perempuan juga diangkat di Biennale Jogja XV 2019. Rupanya, hampir separuh dari seniman di Biennale Jogja XV 2019 adalah seniman perempuan.

"Memang kita sejak awal tertarik untuk menonjolkan seniman-seniman perempuan," tutur Alia Swastika. "Sekarang generasi muda seniman kita banyak yang kuat yang perempuan."

Walau demikian, Alia Swastika juga menegaskan bahwa Biennale Jogja XV tidak mengangkat seniman perempuan karena mereka terpinggir.

"Bukan berarti kita menganggap posisi perempuan terpinggir. Memang kita mengakui masih ada represi terhadap perempuan, tapi tidak berarti dalam pameran ini kita hendak menunjukkan bahwa semua perempuan terpinggir," kata dia menjelaskan.

Instalasi Seni Biennale Jogja 2019, Taman Budaya Yogyakarta (Suara.com/Amertiya)

Salah satu contoh karya Biennale yang mengangkat baik isu perempuan dan pinggiran adalah milik Muslimah Collective. Seniman-seniman perempuan dari Thailand menunjukkan bagaimana kehidupan muslimah di Pattani yang secara budaya adalah orang Melayu namun memiliki kewarganegaraan Thailand.

"Di sana ada banyak kasus-kasus kekerasan, seperti pemaksaan agar mereka menjadi bagian dari budaya Thailand. Nah, kita ingin memasukkan situasi yang tidak banyak diketahui publik Indonesia," kata Alia Swastika ketika menjelaskan salah satu contoh karya yang ada.

Contoh lainnya adalah isu para pengungsi perang Vietnam yang kehilangan identitas. Sang seniman merepresentasikannya dalam karya berbentuk tumpukan kartu identitas.

"Ketika menjadi pengungsi itu kan orang tidak punya identitas, banyak di antara mereka menjadi warga ilegal. Seniman ini lalu melakukan wawancara ke para pengungsi, lalu membuatkan kartu identitas."

"Jadi untuk menunjukkan bahwa hal terpenting yang hilang dari kehidupan seseorang ketika menjadi pengungsi adalah identitas," ujar Alia Swastika.

Instalasi Seni Biennale Jogja 2019, Taman Budaya Yogyakarta (Suara.com/Amertiya)

Isu pinggiran dalam Biennale Jogja XV sendiri tak selalu merujuk pada wilayah geografis. Sebaliknya, pinggiran bisa diartikan sebagai hal-hal yang mungkin dianggap tidak penting atau hal-hal yang direpresi.

"Pameran ini lebih membuka soal konflik yang tersembunyi," ungkap Alia Swastika. "Di kita saja masih banyak, kita merepresi orang LGBT, kita merepresi kelompok miskin, digusur, rumahnya dijadikan bandara. Di beberapa video di Jogja National Museum, ada yang mengetengahkan masalah orang-orang kehilangan tanahnya karena dijadikan PLTN. Itu juga bagian dari represi."

"Saya mau bilang jika konflik ada di setiap tempat, tapi konteksnya beda. Yang sama adalah represi terhadap kelompok-kelompok terpinggir, walau konteksnya setiap negara beda," imbuh Alia Swastika.

Ya, Biennale Jogja XV 2019 memang bertujuan sebagai pendidikan isu serta mendistribusikan pengetahuan tentang isu-isu di Asia Tenggara.

Baca Juga: Liburan ke Luar Negeri Susah Cari Makanan Halal? Dian Ayu Lestasi Berbagi Tips Mudahnya

Setelah Asia Tenggara, Biennale pun berencana untuk menjalin kerja sama dengan seniman-seniman di wilayah Pasifik pada perhelatan berikutnya. (*Amertiya Saraswati)

lifestyle

Liburan ke Luar Negeri Susah Cari Makanan Halal? Dian Ayu Lestasi Berbagi Tips Mudahnya

Suka jalan-jalan ke luar negeri? Dian Ayu Lestari ungkap caranya mencari makanan halal.

lifestyle

5 Resep Kue Bawang Renyah, Camilan Gurih di Hari Lebaran

Mau bikin kue bawang sendiri di rumah? Simak resep di bawah ini!

lifestyle

Senyuman 4 Zodiak Ini Paling Gampang Bikin Hati Meleleh, Gemas Banget!

Beberapa zodiak disebut memiliki senyuman imut menggemaskan.

lifestyle

8 Arti Mimpi Uang Robek, Bakal Ada Perubahan Prioritas Hidup

Apakah mimpi uang robek selalu berkaitan dengan masalah keuangan?

lifestyle

Cegah Masalah Asam Lambung, Habis Sahur Jangan Langsung Tidur

Penderita asam lambung juga tidak langsung makan berat saat berbuka puasa.

lifestyle

3 Tips Mudik Lebaran, Seru-seruan Modal Smartphone Canggih

Mudik jadi terasa lebih seru dengan smartphone beserta fitur istimewanya.