Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - Sekira 20 tahun yang lalu, Moelyono membuat sebuah karya tentang Marsinah dan sedianya dipamerkan secara lengkap di Surabaya. Sayangnya, rencana itu urung terlaksana akibat dibubarkan aparat.
Lewat karyanya di Biennale Jogja 2019, yakni "Pembangunan Taman Monumen Marsinah", Moelyono "menghidupkan" kembali Marsinah. Dia menyoroti dua hal. Pertama, Marsinah sebagai simbol perjuangan yang tidak pernah selesai. Kedua, mengingat ulang bagaimana rezim Orba memperlakukan Marsinah secara tidak manusiawi: dibunuh dengan cara yang sangat kejam.
Sebagai ruang refleksi catatan dari aktivis buruh dan pengalaman seniman menyuarakan Marsinah melalui media seni rupa, digelar diskusi bersama Arif W Jati dari Komite Solidaritas Untuk Marsinah (KSUM) dan sang perupa, Moelyono, di Jogja National Museum, Selasa (29/10/2019) pekan lalu.
Sebelum diskusi, juga dilakukan workshop cukil kayu bersama kelompok pelajar dan mahasiswa RODE610.
Baca Juga
Diskusi bertajuk "Pembangunan Taman Monumen Marsinah" dimulai dengan pembahasan perbandingan pameran karya instalasi Marsinah yang pernah dilakukan pada 1993 di Surabaya dengan pameran saat ini di Biennale Equator #5.
Moelyono menjelaskan jika pameran yang dilakukan saat ini memiliki dua makna. Pertama, sebagai simbol mendukung perjuangan kaum buruh. Kedua, merespon atau sebagai refleksi kondisi pemerintahan sekarang yang disebut hampir mirip masa Orde Baru.
"Contohnya kabinet menteri saat ini yang bisa dibilang ambyar, hampir mirip, sama seperti di masa Orba," ungkap Moelyono, dalam rilis yang diterima DewiKu.com.
Moelyono mengatakan karyanya saat ini memang berbicara dalam konteks mengaktualisasikan di masa sekarang. Hal yang membedakan dengan pamerannya di tahun 1993 adalah perkara kebebasan.
Pada masa Orde Baru, hal-hal yang berbau perjuangan buruh direpresi oleh pemerintah. Hal ini membuat tema-tema berbau buruh yang diangkat jadi pameran saat itu dilarang.
Arif W Jati juga menceritakan kronologi pameran di tahun 1993. Dia bilang, kehadiran intel di pameran saat itu sempat membuat ketegangan. "Pameran itu ada tapi tidak dibuka untuk umum," tambah Arif.
Negosiasi yang dibantu Munir kala itu tidak menemui jalan keluar sehingga pameran tak mendapat izin aparat. Menurut Arif, kondisi itu disebabkan oleh munculnya berita di salah satu surat kabar yang berisi pameran ini beserta foto-fotonya.
Makna dari Monumen Marsinah
Menurut Moelyono, karya yang dibuatnya saat ini punya beberapa makna. Instalasi yang sengaja dibuat dalam tahap pembangunan mempunyai arti jika pengungkapan kasus pembunuhan Marsinah masih belum tuntas.
Moelyono juga memanfaatkan patung Burung Garuda Pancasila sebagai simbol dari pemerintahan Orde Baru yang selalu pancasilais dengan kolam merah yang berproyeksikan gambar jam sebagai simbol perjuangan Marsinah bersama buruh-buruh lainnya di PT. CPS yang memproduksi jam saat itu.
Selain itu, Moelyono menggunakan monumen sebagai narasi tanding dari Orde Baru yang selalu menggunakan monumen sebagai alat untuk propaganda program-program pemerintah.
Moelyono meniru metodologi pemerintah Orde Baru dalam menyebarkan gagasan namun mengisi menumen dengan narasi pinggiran seperti tema Marsinah. Hal ini menjadikan Monumen Marsinah sebagai simbol melawan idiom Orde Baru.
"Saya bermain di bahasa visual (monumen) agar tema soal Marsinah menarik," tambah Moelyono.
Terkini
- Tagar #KaburAjaDulu, Ketika Anak Muda Angkat Tangan pada Realita
- Fenomana Glass Ceiling: Mengapa Perempuan Sulit Jadi Pemimpin di Dunia Kerja?
- Takut Ketinggalan Momen? Begini Cara Mengelola FOMO dengan Sehat!
- Ladang Mimpi yang Berubah Jadi Neraka: Tragedi 100 Wanita Thailand di ' Peternakan Telur Manusia' Georgia
- Mengenal Roehana Koeddoes: Jurnalis Perempuan Pertama di Indonesia
- Stigma atau Realita: Perempuan Enggan Bersama Laki-laki yang Tengah Berproses?
- Komunitas Rumah Langit: Membuka Ruang Belajar dan Harapan bagi Anak-anak Marginal
- Subsidi BPJS Kesehatan Terancam, Siapa yang Paling Terdampak?
- Komnas Perempuan Soroti Perlindungan Jurnalis Perempuan dari Kekerasan Berbasis Gender
- Damkar Dipanggil, Polisi Ditinggal: Mengapa Publik Lebih Percaya Damkar?