
Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - BeautyFest Asia 2024 (BFA) telah sukses digelar pada 3 hingga 5 Mei 2024 lalu. Diselenggarakan di Jakarta, acara tersebut tidak hanya menghadirkan sorotan menarik dalam dunia kecantikan, tapi juga pentingnya menjaga kesehatan mental.
Salah satunya talkshow BFA yang memberikan wawasan mendalam tentang gejala gangguan kesehatan mental dan pentingnya untuk tidak melakukan self diagnosis atau diagnosis mandiri.

Menurut Yovania Asyifa Jami, Founder Pasti.id sekaligus seorang pejuang Bipolar Disorder, orang dapat mengenali gejala gangguan mental secara umum dari perubahan-perubahan yang tidak masuk akal dan mengarah pada hal-hal merugikan.
Misalnya, seseorang mengalami perubahan pola makan yang menjadi berlebihan atau sebaliknya, serta mengalami perubahan pola tidur seperti insomnia atau keinginan tidur terus tanpa motivasi untuk melakukan aktivitas seperti biasa.
Baca Juga
-
Mau Daftar Beasiswa SCG Sharing the Dream 2024? Ini Syaratnya
-
Rekomendasi Blendie Bar, Sensasi Baru Membersihkan Alat Makeup
-
Hore! Kondisi Finansial 4 Zodiak Ini Diprediksi Membaik Tahun 2024
-
7 Arti Mimpi Minum Teh, Pertanda Sedang Terlalu Cemas?
-
Jadi Istri Anak Bos Tambang, Putri DA Santai Pakai Tas Branded Harga Rp5 Jutaan
-
BINUS Graduate Buka Program Magister Desain untuk Mendukung Pertumbuhan Industri Kreatif di Indonesia
Selain itu, perubahan sosial seperti menutup diri dari lingkungan sekitar juga menjadi tanda yang patut diwaspadai. Gejala lainnya mencakup kecemasan berlebihan, overthinking, over productivity, hingga lupa melakukan hal-hal kecil seperti merawat diri.
Sementara itu, seorang psikolog dan penulis buku, Samantha Elsener, mengungkapkan bahwa gangguan kesehatan mental memiliki spektrum yang sangat luas. Spektrum ini mencakup masalah gangguan sosial, komunikasi, dan bahasa seperti pada Autism Spectrum Disorder, serta gangguan mood seperti depresi dan stres.
Selain itu, gangguan kesehatan mental juga bisa meliputi gangguan belajar, seksual, dan bahkan skizofrenia dengan gejala halusinasi atau delusi. Lebih lanjut, Samantha menekankan bahwa gangguan kesehatan mental juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan kehidupan seseorang.
"Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman mendalam tentang konteks individu diperlukan dalam mengidentifikasi serta mengatasi gangguan kesehatan mental," kata Samantha, ditulis Dewiku, Senin (6/5/2024).
Dengan kemajuan teknologi yang semakin canggih, informasi tentang kesehatan mental menjadi lebih mudah diakses. Namun, kata Samantha, penting untuk diingat bahwa mencari informasi tidak sama dengan mendiagnosis diri sendiri.
"Self diagnose dapat berisiko mengarah pada kesimpulan yang tidak akurat dan berpotensi merugikan diri sendiri," katanya lebih lanjut.
Oleh karena itu, penting untuk mencari bantuan dari profesional untuk mendapatkan evaluasi yang akurat, dan jika diperlukan, melakukan tes lebih lanjut seperti psikotes atau asesmen.
Meskipun penting untuk meningkatkan kesadaran tentang kesehatan mental, Samantha mengingatkan bagaimana kita harus tetap waspada terhadap bahaya self diagnosis.
"Mengenali gejala adalah langkah awal yang baik, namun langkah berikutnya adalah mencari bantuan dari ahli yang berkualifikasi untuk diagnosis dan perawatan yang tepat," pungkasnya.
(Zefanya Aurell Nathalie)
Terkini
- Vulnerable atau Oversharing? Menakar Batas Cerita Perempuan di Dunia Maya
- Merayakan Cinta Lewat Lagu, KOSTCON 2025 Hadirkan Konser OST K-Drama Pertama dan Terbesar
- Solusi Rambut Sehat dan Berkilau dengan Naturica, Wajib Coba!
- Kamu Terlalu Mandiri: Ketika Kemandirian Perempuan Masih Dianggap Ancaman
- Support System Seumur Hidup: Bagaimana Kakak Adik Perempuan Saling Menguatkan?
- Women News Network: Menguatkan Suara Perempuan dari Aceh hingga NTT
- Saatnya Berbagi Tugas di Dapur, Karena Memasak Bukan Hanya Tanggung Jawab Perempuan
- Lajang dan Bahagia: Cara Perempuan Menikmati Hidup Tanpa Tekanan Sosial
- Plan Indonesia dan SalingJaga Gelar Soccer for Equality, Dukung Kesetaraan Pendidikan Anak Perempuan NTT
- Paternity Leave Bukan Sekadar Cuti, Tapi Wujud Budaya Kerja yang Inklusif