Kamis, 13 Februari 2025
Rima Sekarani Imamun Nissa : Rabu, 23 Oktober 2024 | 15:43 WIB

Aktifkan Notifikasimu

Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.

Dewiku.com - Persoalan patriarki di negara-negara Asia Tenggara turut berpengaruh pada kinerja media massa dalam menerapkan jurnalisme sensitif gender. Kolaborasi dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) diharapkan dapat menjadi salah satu solusi.

Hal tersebut diungkapkan Lestari Nurhajati selaku Kepala Center for Health & Gender Literacy Student LSPR Communication saat ditemui Dewiku.com setelah acara paparan dan diskusi tentang "Laporan Riset Situasi Media Peka Gender di 5 Negara Asia" di Kampus London School of Public Relations (LSPR), Senin (21/10/2024) kemarin.

"Jadi sebetulnya ini adalah penelitian yang dilakukan oleh PMA, yaitu Public Media Alliance dari Inggris, kerja sama dengan UNESCO dan juga beberapa lembaga lainnya di Indonesia," ujar Lestari.

"Kita menemukan bahwa ternyata pelaku kekerasan itu ada di mana-mana dan korban kekerasan juga ada jurnalis perempuan," ungkap Lestari yang merupakan pelapor utama untuk Indonesia.

Lestari juga memaparkan bahwa peliputan maupun pemberitaan tentang isu kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan di berbagai negara diketahui belum optimal.

"Kita bisa melihat berbagai negara memiliki kekhasan, berbagai negara memiliki berbeda-beda pendekatan, dan juga berbeda masalah. Hanya, secara umum bisa diambil kesimpulan, di Asia Tenggara khususnya, itu masih punya persoalan patriarki yang sangat serius sehingga media pun belum maksimal dalam memberitakan dan mendukung isu-isu yang sifatnya sensitif gender," terang Lestari.

Lestari kemudian merekomendasikan pelatihan terkait jurnalisme sensitif gender bagi media massa di Indonesia. Selain itu, dibutuhkan upaya dari berbagai pihak untuk memperbaiki peraturan-peraturan atau kebijakan berkaitan dengan media dan gender. 

Kolaborasi dengan LSM yang menaruh perhatian khusus pada isu kesetaraan gender juga sangat direkomendasikan. Harapannya, tanggung jawab untuk tetap menyajikan produk jurnalistik yang berimbang dan tanpa bias gender tidak terlupakan di tengah segala dinamika bisnis media massa.

"Kadang-kadang jurnalis tidak memiliki kemampuan atau kurang sensitif gender sehingga dalam penulisannya juga tidak maksimal. Ini yang harus kolaborasi dengan NGO yang memang pekerjaannya di bidang isu perempuan," kata perempuan yang juga merupakan adviser Konde.co ini.

Tak cuma Lestari Nurhajati, diskusi tempo hari juga menghadirkan beberapa pembicara lain, termasuk Ketua AJI Indonesia, Nani Afrida; Wakil Ketua Umum Aliansi Media Siber Indonesia (AMSI), Citra Dyah Prastuti; Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, dan Luviana Ariyanti selaku Pemimpin Redaksi Konde.co.

Dijumpai pada kesempatan yang sama, Ninik Rahayu menyorot tentang penerapan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, khususnya dalam upaya perlindungan pekerja pers.

"Meskipun dalam salah satu bunyi pemidanaannya itu ada pengaturan terkait dengan kekerasan seksual berbasis siber, nampaknya ini masih memerlukan tambahan regulasi untuk memastikan bahwa kasus-kasus kekerasan seksual yang dialami pekerja pers bisa diakomodasi," ucap Ninik.

Ninik berpendapat, UU TPKS masih memerlukan harmonisasi dengan sejumlah peraturan lain, misalnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP, dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.

"Sehingga, mudah-mudahan ini nanti bisa betul-betul melindungi korban," tandasnya.

BACA SELANJUTNYA

Dukung Kesetaraan Hak Anak Perempuan, Ini Tujuan Program Girls Fund