Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pemenuhan hak atas kesehatan bagi perempuan masih jauh dari harapan. Pemerintah penting melakukan upaya sistematis untuk menguatkan kesehatan perempuan sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM).
Undang-Undang Dasar (UUD) Pasal 34 ayat (3) menyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan juga menekankan pentingnya hak kesehatan perempuan dan upaya pemenuhannya oleh negara.
Hak atas kesehatan mencakup hak untuk mendapatkan kehidupan dan pekerjaan yang sehat, hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan serta perhatian khusus terhadap kesehatan ibu dan anak.
"Akan tetapi, kondisi saat ini belum memperlihatkan pemenuhan hak atas kesehatan yang optimal, seperti masih terbatasnya akses dan layanan kesehatan secara umum, dan layanan kesehatan yang diperuntukkan khusus bagi perempuan," kata Retty Ratnawati, Komisioner Komnas Perempuan, dikutip Dewiku.com dari laman resmi Komnas Perempuan, Jumat (22/11/2024).
Baca Juga
Angka kekerasan terhadap perempuan yang berdampak pada kesehatan juga tinggi. Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan, 24.529 kasus kekerasan seksual terjadi sepanjang tahun 2018 hingga 2023. Dari angka tersebut, 23% atau sebanyak 5.654 di antaranya merupakan kasus perkosaan.
Kondisi ini diperberat dengan adanya kekerasan di ruang kesehatan yang dilakukan oleh tenaga medis. Pada Catahu 2022, terdapat pengaduan tentang terjadinya kekerasan yang berasal dari enam ruang layanan medis dengan pelaku kekerasan adalah empat dokter.
Dampak lain juga muncul pada kesehatan jiwa perempuan. Sebagai contoh, hasil pemantauan Komnas Perempuan (2021) di Rumah Sakit Jiwa (Abepura) menemukan sekitar 50% perempuan yang dirawat di sana adalah korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Sayangnya, layanan kesehatan perempuan masih menghadapi tantangan terkait akses dan sarana prasarana. Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) hingga Juni 2024 misalnya, hanya 333 unit dari 514 kabupaten/kota. Jumlah yang tidak ideal ini juga berhadapan dengan keterbatasan tenaga profesional seperti konselor, psikolog klinis, pekerja sosial, dan pendamping hukum.
Nyatanya, fasilitas layanan kesehatan jiwa di Indonesia masih belum merata. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan tahun 2022, hanya sekitar 50% dari 10.321 Puskesmas di Indonesia yang mampu memberikan layanan kesehatan jiwa, pun cuma 40% rumah sakit umum memiliki fasilitas pelayanan jiwa.
Kondisi demografi Indonesia yang luas dan berbentuk kepulauan juga memberikan persoalan tersendiri. Hingga kini layanan kesehatan di wilayah daratan belum optimal, apalagi daerah kepulauan serta wilayah terpencil dan tertinggal lainnya.
"Daerah-daerah ini menghadapi tantangan-tantangan yang lebih berat lagi dalam hal sarana, prasarana, sumber daya manusia dan kondisi alam yang ekstrem serta sulit dikendalikan," ujar Komisioner Komnas Perempuan lainnya, Theresia Iswarini.
Akibatnya, pemenuhan akses dan layanan kesehatan, terutama bagi perempuan, belum bisa dibilang sesuai harapan. Menurut Iswarini, jauhnya akses dan layanan kesehatan dapat berdampak lebih lanjut bagi perempuan korban kekerasan, yakni berupa pemiskinan struktural.
Komnas Perempuan menekankan pentingnya meningkatkan kualitas dan akses layanan kesehatan bagi semua orang, termasuk perempuan, terutama perempuan korban kekerasan berbasis gender. Sudah semestinya negara memenuhi hak atas kesehatan bagi perempuan secara berkualitas dan komprehensif.
Satyawanti Mashudi selaku Komisioner Komnas Perempuan berpendapat, hal tersebut sebagaimana Rekomendasi Umum CEDAW Nomor 24.
"Perempuan berhak mendapatkan layanan dan akses kesehatan ini pada seluruh siklus hidupnya, mendapatkan layanan promosi, dan mengeliminasi semua diskriminasi untuk mendapatkan standar kesehatan yang tinggi," tandasnya.
Terkini
- Ladang Mimpi yang Berubah Jadi Neraka: Tragedi 100 Wanita Thailand di ' Peternakan Telur Manusia' Georgia
- Mengenal Roehana Koeddoes: Jurnalis Perempuan Pertama di Indonesia
- Stigma atau Realita: Perempuan Enggan Bersama Laki-laki yang Tengah Berproses?
- Komunitas Rumah Langit: Membuka Ruang Belajar dan Harapan bagi Anak-anak Marginal
- Subsidi BPJS Kesehatan Terancam, Siapa yang Paling Terdampak?
- Komnas Perempuan Soroti Perlindungan Jurnalis Perempuan dari Kekerasan Berbasis Gender
- Damkar Dipanggil, Polisi Ditinggal: Mengapa Publik Lebih Percaya Damkar?
- Tantangan dan Realitas Jurnalis Perempuan di Indonesia: Menyingkap Kesenjangan di Ruang Redaksi
- Memahami dan Merawat Inner Child: Kunci untuk Menyembuhkan Luka yang Tak Terlihat
- Working Holiday Visa Australia: Tiket Emas untuk Kerja dan Hidup di Luar Negeri
Berita Terkait
-
Aksi Kamisan Pertama di Era Prabowo, Pelanggaran HAM Berat Harus Dipertanggungjawabkan
-
Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan: Angka Kasus Turun, Perjuangan Berlanjut!
-
Jangan Remehkan Gangguan Menstruasi, Bukan Hanya Siklus Haid Tidak Teratur
-
AI Denta-Scan, Konsultasi Gigi Online Jadi Semakin Mudah