Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - Ada banyak karya unik nan menarik yang dipajang dalam pameran seni Biennale Jogja 2019 di Jogja National Museum. Salah satunya adalah karya bertajuk "Point of Interest" yang menampilkan sejumlah kartu pos dalam kondisi terlipat-lipat.
Adalah Meliantha Muliawan, sang seniman di balik karya unik tersebut. Jika dilihat sepintas, karya perempuan yang akrab disapa Meli ini ini memang menarik mata. Ratusan kartu pos terlihat ditimpa cat akrilik, kemudian dilipat di beberapa tempat, dan dipajang di dinding.
Tak cuma kartu pos, peta daerah Yogyakarta, Jawa Barat, hingga Bali yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa juga terlihat menghiasi dinding ruangan di Jogja National Museum.
Beberapa pengunjung pun tampak berfoto, sementara lainnya mencoba menebak-nebak makna dari karya seni tersebut.
Baca Juga
"Di karya-karya sebelumnya, memang benang merahnya selalu benda. Jadi, aku selalu cari benda yang belum ada definisinya secara kuat. Banyak benda secara simbolis sudah punya bahasa sendiri, seperti pistol itu kekerasan, mawar itu cinta," jelas Meliantha Muliawan, melansir dari Suara.com, Selasa (26/11/2019) kemarin.
Berbekal dari alasan tersebut, Meliantha pun memilih kartu pos. Menurutnya, kartu pos merupakan salah satu benda yang belum memiliki definisi simbolis kuat.
Kartu pos juga dianggap sesuai dengan tema Biennale tahun ini, yaitu pusat dan pinggiran. Melalui kartu pos, Meliantha ingin menggambarkan bagaimana "pinggiran dan pusat" sesuai pandangan serta pengalamannya sendiri.
"Benda yang terasa benar-benar tepat itu postcard. Jadi postcard menggambarkan daerah wisata kan, cuma pas cari postcard aku baru tahu kalau nggak semua daerah punya," kenang Meliantha.
Menurutnya, kebanyakan kartu pos yang bisa ditemukan adalah dari Bali dan Jakarta. Bahkan, kartu pos dari daerah Yogyakarta kebanyakan bukanlah kartu pos resmi.
"Jadi itu fakta kalau Indonesia sendiri promote-nya daerah pusat, dan daerah yang terpinggirkan jadi makin terpinggirkan."
Selain membahas makna "pinggiran dan pusat" lewat kartu pos, Meliantha Muliawan juga menyebutkan jika dirinya ingin mengajak publik untuk lebih berempati kepada daerah wisata yang ada.
"Karya ini kan dilipat, di bagian point of interest-nya. Jadi ini dilipat karena aku ingin publik menebak itu apa," kata Meli.
Menurut Meliantha, proses menebak-nebak objek wisata yang disembunyikan itu bisa menentukan tingkat empati seseorang terhadap daerah wisata yang ada.
"Ternyata empatimu untuk mengetahui sejumlah daerah, baik lokal atau bukan, nggak menentukan apakah kamu orang lokal," ucap dia.
"Mau lokal atau tidak, itu nggak menentukan apakah kamu tahu tempat yang berharga untuk dikunjungi. Itu tergantung empati tiap orang untuk mengunjungi, mencari tahu, mengeksplor. Dan postcard ini sebagian kecil dari cara anak zaman sekarang untuk mengeksplor."
Total ada 244 kartu pos yang dipajang untuk pameran Point of Interest ini. Namun, Meliantha sendiri mengakui jika dirinya juga tak mengenal semua tempat di dalam kartu pos tersebut.
"Ada wisata di daerah Jakarta yang sudah ditinggalkan, yang orang-orang tidak ke sana lagi. Kartu pos tetap dijual tapi tidak laku. Aku sendiri sebagai orang Jakarta nggak tahu ada tempat itu," tuturnya.
Berbekal dari pengalamannya tersebut, Meliantha Muliawan pun mempunyai harapan untuk pengunjung yang menyaksikan karyanya.
"Inginnya sih, membuat orang lebih mau mengunjungi berbagai daerah sesuai empati mereka masing-masing untuk mengenal daerahnya," ucap Meliantha. "Cuma, mungkin karya ini walau memamerkan postcard tapi nggak membahas fungsi postcard sesungguhnya."
Ya, kartu pos di zaman ini memang telah mengalami pergeseran fungsi. Bukannya untuk berkirim surat, kartu pos lebih menekankan pada gambar objek wisatanya sehingga kerap diburu oleh kolektor.
Walau begitu, Meliantha menyebutkan bahwa bukan berarti kartu pos akan punah di masa depan. Ke depannya, mungkin akan ada orang-orang yang mencoba lagi bersurat melalui kartu pos.
"Karena kegiatannya aneh, sih. Aneh bukan dalam arti buruk, ya. Mungkin ada yang mau coba bersurat dengan teman, tapi lewat postcard yang menunggu seminggu-dua minggu baru dibalas, itu sensasinya seperti apa," ujar seniman muda ini. (*Amertiya Saraswati)
Terkini
- Ladang Mimpi yang Berubah Jadi Neraka: Tragedi 100 Wanita Thailand di ' Peternakan Telur Manusia' Georgia
- Mengenal Roehana Koeddoes: Jurnalis Perempuan Pertama di Indonesia
- Stigma atau Realita: Perempuan Enggan Bersama Laki-laki yang Tengah Berproses?
- Komunitas Rumah Langit: Membuka Ruang Belajar dan Harapan bagi Anak-anak Marginal
- Subsidi BPJS Kesehatan Terancam, Siapa yang Paling Terdampak?
- Komnas Perempuan Soroti Perlindungan Jurnalis Perempuan dari Kekerasan Berbasis Gender
- Damkar Dipanggil, Polisi Ditinggal: Mengapa Publik Lebih Percaya Damkar?
- Tantangan dan Realitas Jurnalis Perempuan di Indonesia: Menyingkap Kesenjangan di Ruang Redaksi
- Memahami dan Merawat Inner Child: Kunci untuk Menyembuhkan Luka yang Tak Terlihat
- Working Holiday Visa Australia: Tiket Emas untuk Kerja dan Hidup di Luar Negeri