Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - Wicara Seniman bertajuk "Kerja dan Keterasingan" diselenggarakan di panggung Jogja National Museum, Jumat (22/11/2019) pekan kemarin. Seniman Benny Widyo (Pendulum) dan Dian Suci Rahmawati memaparkan makna dan gagasan karya masing-masing yang sama-sama soal narasi tenaga kerja atau buruh.
Pendulum memakai medium fotografi dalam instalasinya menyajikan isu tenaga kerja lewat sudut pandang tempat istirahat. Dalam karyanya di Biennale Jogja 2019, Pendulum mengangkat permasalahan diskriminasi para pekerja yang bekerja di pusat-pusat perbelanjaan besar.
Menurut Benny, dalam riset dan narasumber yang ditemuinya, hampir semua pusat perbelanjaan ini nyaris tak menyediakan beragam hal dasar yang dibutuhkan manusia, yakni tempat istirahat bagi para pekerjanya. Hal ini memunculkan paradoks antara mall yang hingar-bingar dengan jaminan kesejahteraan para pekerja.
"Ada orang-orang termarjinalkan, yaitu yang harus bekerja stand by sedangkan untuk kebutuhan istirahat belum terjamin.… Adanya paling tempat bernama genitor yang hanya 2 x 1 meter," kata Benny, dalam rilis yang diterima DewiKu.com, belum lama ini.
Baca Juga
Tempat istirahat yang tersedia bagi para pekerja juga tak nyaman, biasanya cuma di kolong tangga atau dekat dengan toilet. Tak jarang mereka tidak bisa menyimpan peralatan pribadi, bahkan perihal kebutuhan manusiawi, contohnya bekal makanan.
Bahkan, Benny menemui sebuah kasus di mana pekerja tidak boleh membawa bekal. Kalau ketahuan, bekal pun akan dibuang.
Sementara itu, Dian memunculkan isu tenaga kerja lewat sudut pandang pekerja rumahan. Gagasanya diawali keingintahuannya dari selebaran yang ditempel dekat pasar berisi lowongan kerja pembungkus coklat.
Muaranya adalah tema pekerja rumahan yang dianggap mengalami diskriminasi, misalnya permasalahan kesejahteraan yang tidak terjamin. Menurut Dian, hal tersebut menjadi rawan terjadi penyimpangan dan eksploitasi berlebih terhadap pekerja rumahan.
"Hal tersebut menandakan tidak ada yang memperdulikan hak-hak pekerja," ujarnya.
Dalam karyanya, Dian juga mencoba menggunakan pola kerja yang dipakai pekerja rumahan dalam menuntaskan tugasnya, yaitu pekerjaan yang sama dan dilakukan berulang-ulang. Dian mengaku saat menyelesaikan 120 lukisannya, ia mengerjakannya secara bagian per bagian.
"Ngerjain pigura sampai selesai, setelah itu baru berganti ke bagian yang lain dan begitu seterusnya," terang Dia.
Namun, pola itu juga dirasa merupakan pekerjaan melelahkan karena dilakukan dengan waktu yang lama. Menurut Dian, cara ini juga termasuk wujud dari eksploitasi tenaga kerja.
Dian pun menggunakan gambar dinding dalam instalasinya yang berarti hal paling privat. "Dinding menyimbolkan rumah dan rumah sendiri diartikan sebagai tempat yang privat bagi setiap orang," kata seniman muda satu ini.
Padahal dalam realitanya, para pekerja rumahan selalu melakukan pekerjaannya yang dirasa memberatkan itu di rumah. Hal ini juga yang dianggap Dian sebagai wujud permasalahan pekerja rumahan.
Terkini
- Fawning: Jebakan Menyenangkan Orang Lain, Sampai Lupa Diri Sendiri
- Overparenting, Jebakan Pola Asuh Orang Tua Zaman Now: Bisa Hambat Kemandirian Anak?
- Sextortion dan Sexploitation: Ketika Privasi Jadi Senjata Pemerasan di Era Digital
- Wifey Material: Ketika Perempuan Dituntut Jadi 'Istri Idaman'
- Nyaman dengan Diri Sendiri Berawal dari Perawatan Tepat Area Kewanitan
- Main Character Syndrome, Ketika Perempuan Merasa Jadi Pusat Semesta
- Go & Glow Fun Run 2025: Tetap Bugar dan Glowing dengan Aktivitas Seru
- Hot Girl Walk: Ketika Perempuan Jadi Lebih Bahagia Cuma Modal Jalan Kaki
- Self Gifting: Bukan Boros, Tapi Bentuk Apresiasi pada Diri Sendiri
- Lebih dari Sekadar Musik, Ada Pesan Pemberdayaan Perempuan dari JENNIE Lewat Album Ruby