Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - Bocah perempuan berusia lima tahun ditemukan tewas dengan wajah dilakban di Pantai Cihara, Lebak, Banten, pada Kamis (19/9/2023). Beberapa hari setelahnya, polisi mengungkap lima terduga pelaku penculikan dan pembunuhan terhadap korban asal Kota Cilegon tersebut.
Melansir Suara.com, para pelaku ditangkap di dua lokasi berbeda. Pelaku RH (38) dan SA (33) ditangkap di sekitar Kota Cilegon pada Jumat (20/9/2024), sementara EM (23), YH (32) dan UH (22) ditangkap di wilayah Kabupaten Pandeglang, Sabtu (21/9/2024) lalu.
Kapolres Cilegon AKBP Kemas Indra Natanegara mengatakan bahwa kelima pelaku punya peran masing-masing dalam kasus terkait, mulai dari penculikan, pembunuhan, hingga membuang mayat korban di Pantai Cihara.
Baca Juga
Polisi juga mengungkap wajah para pelaku yang terdiri dari dua laki-laki dan tiga perempuan. Potret mereka seketika menjadi viral di media sosial. Warganet pun ramai-ramai memberikan berbagai reaksi.
Dari sekian banyak komentar warganet, sebagian menyorot tiga pelaku yang merupakan perempuan. Fakta bahwa tiga dari lima tersangka adalah perempuan sekaligus dalang kasus pembunuhan, rupanya berbuah respons publik yang bias gender.
"Ibu-ibu? Kok, tega, sih, Bu? Kok, bisa? Udah gelap itu mata sama hati," komentar seorang warganet di media sosial X.
Ada pula komentar yang berbunyi, "Mana ini yang bilang semua pelaku kekerasan itu cowok?"
Dalam berbagai kasus kriminal, reaksi publik umumnya lebih heboh saat mengetahui pelakunya adalah perempuan, bukan laki-laki. Saat menjadi pelaku kejahatan, perempuan bukan hanya dilabel sebagai penjahat, tetapi juga karena dirinya adalah perempuan.
Bagaimana jika perempuan yang menjadi korban? Ironisnya, selalu ada celah untuk tetap menyalahkan perempuan apa pun masalahnya. Mengapa demikian?
Fenomena tersebut bisa dikaitkan dengan blame the woman syndrome, merujuk pada sikap menyalahkan perempuan atas kejadian buruk yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan. Orang-orang akan menganggap perempuan adalah pihak yang bertanggung jawab atas semuanya tanpa memandang posisi perempuan sebagai korban atau pelaku.
"Ketika sesuatu yang mengerikan terjadi, kita menyalahkan si perempuan," ungkap Ellisa Benedek, psikiater forensik dari Universitas Michigan, dikutip Dewiku.com dari The Washington Post, Selasa (24/9/2024).
Dijelaskan pula bahwa ciri utama dari blame the woman syndrome adalah anggapan bahwa perempuan punya kekuatan yang sangat besar hingga mampu memengaruhi orang lain melakukan kejahatan. Perempuan sebegitu mudahnya dicap sebagai wonder witch atau bad woman.
Saat melakukan sesuatu yang hebat dan menginspirasi, perempuan bisa saja mendapat julukan wonder woman. Namun, begitu ada sedikit saja kesalahan, orang-orang seketika berubah menyebutnya wonder witch.
Menyalahkan perempuan menawarkan kelegaan instan bagi masyarakat yang cemas tentang masa depan atau permasalahan apa pun di sekitar mereka. Menyalahkan perempuan juga mudah dilakukan karena tampaknya ada begitu banyak bad woman yang bisa disalahkan dan dihakimi.
Masih dilansir dari The Washington Post, psikiater bernama Susan Blumenthal memaparkan bahwa banyak kasus kejahatan yang seolah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melampiaskan kebencian terhadap perempuan.
"Kami melihat kebencian yang luar biasa terhadap perempuan," ujarnya.
Kejahatan yang melibatkan pelaku perempuan—seperti kasus penculikan dan pembunuhan di Banten—menjadi lebih dramatis karena perempuan lekat dengan label "seharusnya" dalam jutaan versi. Perempuan seharusnya memiliki sifat penyayang, lemah lembut, dan selalu bersikap baik, bukan sebaliknya, tega melakukan hal keji. Padahal, alih-alih gender pelaku, masyarakat mestinya tetap fokus pada kejahatan yang terjadi.
Terkini
- Rahasia Tangguh: Kuasai Self-Compassion untuk Kesehatan Mental
- Zombieing: Ketika Mantan Datang Tanpa Diundang, Lebih Seram dari Ghosting!
- Rebound Relationship: Ketika Mantan Jadi Bayang-Bayang Pacar Baru
- Stop Self-Talk Negatif! Ini Cara Membangun Self-Respect di Era Digital
- Merasa Kecil di Dunia yang Besar: Menggali Akar Inferiority Complex
- Resah Driver Ojol Perempuan: Ada Ketidakadilan Mengintai di Setiap Kilometer
- Fake It Till You Make It: Boleh Dicoba, Asal Jangan Kebablasan, Girls!
- Fatphobia Bukan Sekadar Masalah Berat Badan, Tapi Diskriminasi!
- Self Care Bukan Egois, Tapi Hak Setiap Perempuan untuk Sejahtera
- Pap Smear: Deteksi Dini Kanker Serviks, Selamatkan Nyawa Perempuan
Berita Terkait
-
International Womens Peace Conference 2024: Perdamaian yang Berkelanjutan, Mengapa Perempuan Harus Terlibat?
-
Air Mata di Danau Toba: Kisah Mersi Silalahi Lawan Kekerasan dan Pencemaran Lingkungan di Tanah Adat Batak
-
Deepfake AI Merajalela, Artis Perempuan Jadi Sasaran Empuk Kejahatan Siber
-
Berdiri di Green Paradise Park Filipina, Begini Megahnya Monumen Perdamaian IWPG