Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - Indonesia tengah dikejutkan dengan tiga kasus pembunuhan tragis terhadap tiga perempuan yang terjadi dalam waktu yang berdekatan.
Kasus pertama terjadi di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, di mana seorang gadis berusia 18 tahun bernama Nia Kurnia Sari, ditemukan tewas terkubur dengan kondisi tangan terikat dan tubuh tanpa busana.
Sementara kasus kedua terjadi pada anak perempuan berusia 13 tahun berinisial AA, yang ditemukan tewas di sebuah area pemakaman di Palembang, Sumatera Selatan.
Kasus ketiga adalah kasus yang menimpan perempuan Bandung berinisial SO, yang menjadi korban KDRT dan dibunuh suaminya dengan cara ditusuk pisau sebanyak tujuh kali, setelah dituduh berselingkuh.
Baca Juga
-
Jelajahi Warisan Jakarta, Hotel Ini Suguhkan Pengalaman Menginap di Pusat Kota
-
Jangan Remehkan Gangguan Menstruasi, Bukan Hanya Siklus Haid Tidak Teratur
-
Jangan Asal Pilih Skincare! Waspadai 9 Zat Berbahaya Ini
-
Apa Itu Skincare Pro Aesthetic Simulator? Solusi Berteknologi AI Dukung Prosedur Estetika Nonbedah
-
Love Bombing Berujung KBGO, Pelaku Awalnya Husband Material Banget
-
Siapa Cherry Lai? Co-Owner Brandonville Studios Diduga Jadi Pelaku Kekerasan terhadap Karyawan
Sementara itu baik Nia maupun AA, diketahui tewas setelah mendapat kekerasan seksual dan secara keji diperkosa. Nia tewas setelah diperkosa oleh pelaku berinisial IS. Sementara anak AA, diperkosa dan dibunuh oleh empat orang sekaligus!
Rentetan kejadian tersebut, menurut Anindya Restuviani dari Jakarta Feminist, terjadi akibat adanya kekerasan sistematis terhadap perempuan, yang berpotensi menyebabkan Femicide atau Femisida atau pembunuhan pada perempuan.
Femisida dan Siklus Kekerasan pada Perempuan
Berdasarkan Sidang Umum Dewan HAM PBB, Femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya.
Sementara menurut Jakarta Feminist, Femisida adalah pembunuhan dengan korban perempuan yang menekankan adanya elemen ketidaksetaraan gender, penaklukan, opresi, dan kekerasan sistematis terhadap korban perempuan dan transpuan.
"Kita bisa melihat dalam piramida kekerasan, kekerasan berbasis gender dan seksual itu (berada) paling bawah. Hal itu didasari atas sikap dan cara berpikir patriarkis yang akhirnya mengontrol tubuh perempuan itu sendiri," kata Anindya, dibuat Dewiku Sabtu (21/9/2024).
Apa yang terjadi dengan tiga korban Femisida sebelumnya, lanjut Anindya, merupakan bentuk keterulangan dari kasus kekerasan pada perempuan yang sudah dianggap biasa.
"Mungkin, orang ini (pelaku dan korban) tidak saling kenal. Tapi korban sebetulnya merasakan berbagai macam bentuk kekerasan kekerasan terhadap perempuan lainnya, yang akhirnya menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap diri korban."
Pada 2022, Jakarta Feminist mencatat ada 184 kasus Femisida dengan total 194 korban dan 208 pelaku. Dari angka tersebut, sebanyak 88 persen pelaku berjenis kelamin laki-laki.
Tercatat 18 persen korban memiliki relasi keluarga dengan pelaku. Sementara 40 persen memiliki hubungan intim dengan pelaku dan menjadi korban terbesar dalam kasus Femisida.
Ada pula 32 persen pelaku memiliki hubungan non-personal dengan korban (seperti tetangga, pekerja seks, teman kantor) dan 10 persen lain-lain.
"Kenapa ini bisa terjadi? Nah ini ada keberulangan bentuk bentuk kekerasan yang dibiasakan. Jadi mungkin dia (pelaku) biasa cat calling aja, lalu dari situ tidak ada yang memberi tahu bahwa itu bentuk kekerasan."
"Habis itu karena dibiasakan, dia melihat 'oh ya memang perempuan ini sebagai objek', maka eskalasi terbentuk dan tidak pernah ada yang menegur," tambah Anindya.
Parahnya, saat sebagian masyarakat mulai melihat adanya bentuk pembiaran dalam kasus kekerasan berbasis gender hingga pada level pembunuhan, masih ada sebagian lainnya yang malah masih menyalahkan korban.
"Misalnya, 'oh salah sendiri jalan sendirian, tidak ditemani' dan segala macam. Masih ada victim blamming dalam konteks Femisida."
Menanti Peran Semua Pihak
Ketika ditanya tentang apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat untuk menekan kasus Femisida, Anindya menyebut pentingnya bersama-sama mendorong pemerintah dan penegak hukum untuk mengawal kasus Femisida.
"Penegak hukum dan negara bisa memberikan keadilan untuk korban. Dan tidak hanya korban tapi juga keluarga korban. Sehingga tidak ada re-victimisasi terhadap keluarga korban."
Selain itu, ia juga menyoroti pentingnya pendidikan komprehensif terkait kesetaraan gender sebagai bentuk pencegahan terjadinya kekerasan pada perempuan, yang bisa tereskalasi menjadi Femisida itu sendiri.
"Kita juga bisa mulai dari diri sendiri dengan berani melakukan intervensi saat melihat kekerasan sekecil apapun agar bentuk-bentuk kekerasan ini tidak dibiasakan," tambahnya.
Catatan lain, Anindya meminta agar media memberikan perspektif yang berpihak kepada korban saat memberitakan kasus berita pembunuhan terhadap perempuan atau Femisida.
"Di data kita, 30 persen berita terkait Femisida yang ada di media, masih menggunakan bahasa hiperbolis yang tidak ada hubungan sama sekali dengan kasusnya," pungkasnya.
Terkini
- Ladang Mimpi yang Berubah Jadi Neraka: Tragedi 100 Wanita Thailand di ' Peternakan Telur Manusia' Georgia
- Mengenal Roehana Koeddoes: Jurnalis Perempuan Pertama di Indonesia
- Stigma atau Realita: Perempuan Enggan Bersama Laki-laki yang Tengah Berproses?
- Komunitas Rumah Langit: Membuka Ruang Belajar dan Harapan bagi Anak-anak Marginal
- Subsidi BPJS Kesehatan Terancam, Siapa yang Paling Terdampak?
- Komnas Perempuan Soroti Perlindungan Jurnalis Perempuan dari Kekerasan Berbasis Gender
- Damkar Dipanggil, Polisi Ditinggal: Mengapa Publik Lebih Percaya Damkar?
- Tantangan dan Realitas Jurnalis Perempuan di Indonesia: Menyingkap Kesenjangan di Ruang Redaksi
- Memahami dan Merawat Inner Child: Kunci untuk Menyembuhkan Luka yang Tak Terlihat
- Working Holiday Visa Australia: Tiket Emas untuk Kerja dan Hidup di Luar Negeri