Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - Langit Jakarta begitu mendung, seakan ikut merasakan kelabu yang menyelimuti tempat itu, Kamis (24/10/2024). Orang-orang kembali berkumpul, seperti yang mereka lakukan sejak lebih dari satu dekade lalu.
Bagi mereka yang awam, mungkin ini hanya sekumpulan orang berdiri diam sambil membawa poster dan payung hitam. Namun, di balik hening yang tampak sederhana itu, ada jerit suara hati yang tak pernah padam: menuntut keadilan, menuntut perhatian, menuntut hak asasi yang terus diabaikan.
Mereka berbaju hitam berdiri di barisan terdepan. Wajah mereka menampakkan lelah yang tak hanya datang dari usia, tetapi dari penantian panjang yang entah sampai kapan harus mereka tuntut.
Ini adalah Aksi Kamisan pertama di era pemerintahan Prabowo Subianto sebagai presiden. Sebuah aksi yang syarat makna, sekaligus penuh ketegangan akan harapan baru.
Baca Juga
Bagi aktivis Aksi Kamisan, Prabowo adalah sosok yang dekat dengan peristiwa yang menyebabkan mereka berdiri di sini. Kamis demi Kamis, tak tergoyahkan oleh panas, hujan, bahkan ancaman. Terlalu sulit mengabaikan fakta bahwa banyak dari mereka yang hilang akibat penyalahgunaan kekuasaan.
Kini, saat Prabowo resmi menjadi presiden, harapan sekaligus kekhawatiran melintas di benak setiap orang yang hadir. Mereka berharap era baru ini akan membuka pintu bagi keadilan yang telah lama tertutup. Namun, kekecewaan nyatanya juga turut membayangi.
Mamik Sri Supatmi, aktivis yang juga kriminolog dari Universitas Indonesia (UI), hari itu tampak hadir di tengah kerumunan. Sosoknya tegar namun penuh ketegasan.
"Saya sadar bahwa, cara-cara pembungkaman tidak selalu melalui kriminalisasi. Kita dibuat lelah, kita dibuat berhenti berharap, berhenti bermimpi dan berhenti berkehendak, itu adalah cara lain untuk membungkam, agar kita menyerah dan para penjahat yang mendapat impunitas melenggang bebas seperti tidak bersalah," ujarnya.
Kalimatnya tajam, penuh kekesalan, tetapi diselimuti oleh harapan yang tersisa, seperti bara yang tetap menyala di bawah abu kelabu. Mamik berdiri tegak, menghela nafas panjang sebelum melanjutkan, seolah berusaha menyalurkan setiap sisa energinya untuk menyampaikan suara yang tak pernah benar-benar berhenti menggema.
Di sudut lain tempat itu, seorang perempuan berdiri memandang kerumunan. Ia tak pernah mengenal mereka yang hilang atau terbunuh. Walau begitu, baginya, Kamisan adalah lebih dari sekadar aksi.
"Ini bukan pertama kali aku ikut aksi, tapi aku merasakan keraguan besar di mata mereka," ucap aktivis bernama Ambar tersebut.
Aksi Kamisan bukan hanya untuk menagih janji, melainkan juga menghidupkan kembali fakta sejarah yang kadang terpinggirkan oleh narasi akal-akalan pemerintah. Mereka tetap berdiri tegak diterpa angin demi menjaga agar ingatan kolektif masyarakat tetap hidup dan tak terlupakan.
Mamik kembali berucap bahwa banyak hal yang perlu diberikan atensi, khususnya kelompok-kelompok kecil yang saat ini masih terus menyuarakan hak mereka.
Ia juga menyebut bahwa generasi muda harus peduli akan fakta sejarah. Jangan hanya bertindak berdasarkan tren yang barangkali tak lebih dari tipu daya pemerintah. Menurut Mamik, diamnya masyarakat dimanfaatkan sebagai karpet merah untuk impunitas bagi setiap pelaku.
"Jangan hanya berpikir kalau ini semua bukan tentang kita yang tidak menjadi korban. Kita harus punya kepedulian bahwa keadilan harus diungkapkan, korban harus dibela, pelaku-pelaku penjahat HAM yang berkuasa harus diadili," serunya dengan suara yang semakin kuat, menembus kebisingan di sekeliling kerumunan.
Ambar pun mengungkapkan, "Di balik rasa lelah, ketidakpastian, atau bahkan keputusasaan, kita punya satu hal yang gabisa pelaku miliki, yaitu rasa kemanusiaan kita. Kita menolak untuk dilupakan, dan kita menolak untuk melupakan."
Perasaan marah dan terharu terus muncul melihat bagaimana para keluarga korban masih berjuang sampai hari ini, 800 kali lebih tegar bersuara demi menuntut keadilan.
Mereka sadar, suara mereka mungkin hanya terdengar sebagai bisikan di tengah hiruk-pikuk kekuasaan. Meski begitu, bisikan itu cukup kuat untuk terus menggetarkan hati mereka yang bersedia mendengar.
Di tengah ketidakpastian, ada satu hal yang jelas: Aksi Kamisan akan terus berjalan. Minggu demi minggu, tahun demi tahun, tak bakal muncul kata menyerah hingga ada jawaban atas pertanyaan mereka.
Aksi Kamisan pertama di era pemerintahan Prabowo menjadi saksi bahwa perjuangan ini bukan sekadar kenangan, tapi juga sebuah harapan yang akan terus diperjuangkan.
Penulis: Humaira Ratu Nugraha
Terkini
- Takut Ketinggalan Momen? Begini Cara Mengelola FOMO dengan Sehat!
- Ladang Mimpi yang Berubah Jadi Neraka: Tragedi 100 Wanita Thailand di ' Peternakan Telur Manusia' Georgia
- Mengenal Roehana Koeddoes: Jurnalis Perempuan Pertama di Indonesia
- Stigma atau Realita: Perempuan Enggan Bersama Laki-laki yang Tengah Berproses?
- Komunitas Rumah Langit: Membuka Ruang Belajar dan Harapan bagi Anak-anak Marginal
- Subsidi BPJS Kesehatan Terancam, Siapa yang Paling Terdampak?
- Komnas Perempuan Soroti Perlindungan Jurnalis Perempuan dari Kekerasan Berbasis Gender
- Damkar Dipanggil, Polisi Ditinggal: Mengapa Publik Lebih Percaya Damkar?
- Tantangan dan Realitas Jurnalis Perempuan di Indonesia: Menyingkap Kesenjangan di Ruang Redaksi
- Memahami dan Merawat Inner Child: Kunci untuk Menyembuhkan Luka yang Tak Terlihat