Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - Multitasking sering dipandang sebagai keahlian alami perempuan, terutama akibat tuntutan membagi waktu antara pekerjaan, rumah tangga, dan keluarga. Bayangkan ibu pekerja yang begitu sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarga dan bekal anak sekaligus memastikan dirinya sendiri siap ke kantor di pagi hari. Belum lagi jika harus mengurus keperluan suami.
Ironisnya, banyak ibu pekerja yang jarang mendapat apresiasi atas keberhasilan mereka menghadapi huru-hara setiap pagi. Apa yang mereka dinilai tidak istimewa karena adanya anggapan bahwa perempuan memang sudah semestinya bisa seperti itu.
Namun, apakah benar perempuan lebih hebat dalam multitasking? Sebuah penelitian terbaru membantah anggapan itu.
Baca Juga
Multitasking: Efisiensi atau Ilusi?
Selama ini multitasking dianggap cara kerja yang produktif, padahal penelitian menunjukkan otak manusia tidak dirancang untuk benar-benar melakukan beberapa tugas secara bersamaan. Otak hanya berpindah fokus dengan cepat yang sering kali terasa seperti multitasking, tetapi nyatanya kita tetap hanya mengerjakan satu hal dalam satu waktu.
Fakta ini mempertegas bahwa multitasking bukanlah kekuatan super, melainkan beban mental yang membuat pekerjaan terasa lebih berat dan kurang efektif, baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Tugas Domestik: Perempuan Memikul Beban yang Tidak Adil
Penelitian ini juga menantang stereotip lain: bahwa perempuan lebih peka terhadap kekacauan di rumah dibanding laki-laki. Faktanya, baik perempuan maupun laki-laki menilai tingkat kekacauan dengan cara yang sama.
Jadi, mengapa perempuan sering lebih banyak membersihkan rumah? Jawabannya adalah tekanan sosial. Perempuan kerap kali dihadapkan pada standar kebersihan yang lebih tinggi, sementara laki-laki tidak merasa perlu untuk memenuhi ekspektasi tersebut.
Realitas Perempuan di Era Modern
Meskipun peran laki-laki dalam pekerjaan rumah tangga mulai meningkat, data menunjukkan bahwa perempuan tetap memikul sebagian besar beban domestik. Ditambah dengan pekerjaan profesional dan tanggung jawab keluarga, perempuan menghadapi tekanan yang lebih besar dibandingkan laki-laki.
Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Studi ini penting, bukan hanya untuk membongkar stereotip lama, melainkan juga untuk menyoroti bagaimana perempuan terus dibombardir dengan berbagai tuntutan, baik di rumah maupun di tempat kerja. Multitasking bukanlah solusi ajaib, tetapi justru beban tambahan yang merugikan semua pihak.
Ke depannya, mari kita hentikan glorifikasi multitasking dan mulai berbicara tentang pembagian kerja yang adil. Perempuan tidak seharusnya terus menerus melakukan lebih banyak pekerjaan hanya karena mitos usang. Bagaimanapun, kesetaraan dimulai dari rumah. (*Nurul Lutfia Maryadi)
Terkini
- Stop Self-Talk Negatif! Ini Cara Membangun Self-Respect di Era Digital
- Merasa Kecil di Dunia yang Besar: Menggali Akar Inferiority Complex
- Resah Driver Ojol Perempuan: Ada Ketidakadilan Mengintai di Setiap Kilometer
- Fake It Till You Make It: Boleh Dicoba, Asal Jangan Kebablasan, Girls!
- Fatphobia Bukan Sekadar Masalah Berat Badan, Tapi Diskriminasi!
- Self Care Bukan Egois, Tapi Hak Setiap Perempuan untuk Sejahtera
- Pap Smear: Deteksi Dini Kanker Serviks, Selamatkan Nyawa Perempuan
- Mengenal Sunday Scaries, Rasa Cemas yang Timbul di Hari Minggu
- Alasan Mengapa Maret jadi Bulan Perempuan
- Tren Kabur Aja Dulu: Antara Impian dan Realita, Sejauh Mana Keseriusannya?
Berita Terkait
-
Ironi Pekerja Migran: Pahlawan Devisa yang Rentan Terjebak Lingkaran Penderitaan
-
Mencari Daycare yang Aman dan Nyaman: Bagaimana Ibu Pekerja Menentukan Pilihan Terbaik untuk Anak?
-
Performa Karier Berdasarkan Zodiak, Capricorn dan Leo Cocok Jadi Partner Kerja
-
Perawatan Kecantikan Dukung Pengembangan Diri Perempuan, Kok Bisa?