Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - Dalam perjalanan menjadi orang tua, tantangan terbesar bukan hanya soal memenuhi kebutuhan fisik anak, tetapi juga membangun mental dan emosional mereka sejak dini.
Anastasia Satrio, seorang psikolog klinis yang fokus pada anak dan remaja, menekankan pentingnya pola asuh yang penuh kesabaran dan validasi emosi dalam mendukung tumbuh kembang anak.
"Dalam hidup, pasti ada hari-hari yang berat, hari di mana kita merasa lelah atau overwhelmed," ujar Anastasia saat ditemui di Gentem Lifelong Learning di Neo Soho Center, Jakarta Barat, Rabu (12/2/2025).
"Ketika mengalami hari seperti itu, kita perlu menarik napas, memberikan afirmasi pada diri sendiri, dan memvalidasi perasaan kita," tambah Anastasia.
Baca Juga
-
Era Digital, Era Kompetisi: 6 Karakter yang Harus Dimiliki Anak Muda agar Sukses
-
Jangan Lupa Bahagia: Rayakan Valentine dengan Cintai Diri Sendiri
-
Ide Merayakan Valentine Bersama Orang Terkasih, Dinner Romantis Bisa Jadi Pilihan
-
Tagar #KaburAjaDulu, Ketika Anak Muda Angkat Tangan pada Realita
-
Fenomana Glass Ceiling: Mengapa Perempuan Sulit Jadi Pemimpin di Dunia Kerja?
-
Subsidi BPJS Kesehatan Terancam, Siapa yang Paling Terdampak?
Ia menjelaskan bahwa dengan memvalidasi emosi diri sendiri, anak-anak juga akan belajar bagaimana memahami dan mengelola perasaan mereka.
Hal ini merupakan bagian dari pola asuh yang sehat, yang mempersiapkan anak untuk menghadapi dunia dengan mental yang lebih kuat.
Proses ini bukan sesuatu yang instan. Menurut Anastasia, membentuk kebiasaan baik dalam keluarga membutuhkan pengulangan yang konsisten.
Hal ini berlaku bahkan untuk anak yang tidak memiliki kebutuhan khusus. Dalam salah satu pengalamannya, Anastasia pernah menangani anak-anak yang mulai memahami konsep empati terhadap orang tua mereka.
"Beberapa anak sudah mulai bertanya sebelum berbicara dengan orang tua, seperti ‘Mom, are you in a good condition? Mama lagi ada waktu nggak buat dengerin ceritaku?’” ujar Anastasia.
Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak yang dibesarkan dengan pendekatan emosional yang sehat akan lebih peka terhadap keadaan sekitar.
"Kita butuh energi untuk jangka panjang. Jika kita sudah merasa lelah, sementara anak baru berusia 13 tahun, ingatlah bahwa perjalanan ini masih panjang," jelasnya.
Anastasia menegaskan bahwa proses ini adalah maraton, bukan sprint. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk terus belajar dan beradaptasi, tanpa harus menjadi orang tua yang sempurna.
Pada akhirnya, membangun mental dan emosional anak bukan hanya tentang mendidik mereka, tetapi juga tentang bagaimana orang tua berproses bersama anak dalam perjalanan panjang ini.
Seperti rumah yang bisa direnovasi, pola pikir dan kebiasaan juga bisa dibentuk ulang, asalkan kita memiliki kesadaran dan kesabaran untuk melakukannya.
(Nurul Lutfia)
Terkini
- Bertukar Kata Sandi: Bukti Cinta atau Kontrol Pada Pasangan?
- Terjebak di Zona Nyaman? Learn to Unlearn Jadi Kunci Selamat di Era Digital
- Gangguan Sensorik Ternyata Bikin Anak Sulit Beradaptasi Hingga Rentan Di-Bully
- Di Balik Layar yang Bias: Realita Pahit Jurnalis Perempuan dalam Pusaran Media Online
- Nggak Cuma Dinner Romantis, 7 Film Ini Juga Cocok untuk Menemani Hari Valentine Kamu
- Era Digital, Era Kompetisi: 6 Karakter yang Harus Dimiliki Anak Muda agar Sukses
- Jangan Lupa Bahagia: Rayakan Valentine dengan Cintai Diri Sendiri
- Ide Merayakan Valentine Bersama Orang Terkasih, Dinner Romantis Bisa Jadi Pilihan
- Tagar #KaburAjaDulu, Ketika Anak Muda Angkat Tangan pada Realita
- Fenomana Glass Ceiling: Mengapa Perempuan Sulit Jadi Pemimpin di Dunia Kerja?