Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - Fenomena glass ceiling masih menjadi realitas pahit bagi banyak perempuan di dunia kerja. Istilah ini merujuk pada hambatan tak terlihat yang menghalangi perempuan mencapai posisi kepemimpinan tertinggi dalam karier mereka.
Meski perempuan telah membuat kemajuan signifikan dalam berbagai bidang, bias gender dan sistem yang tidak inklusif masih menjadi tembok penghalang yang sulit ditembus.
Menurut data UN Women, partisipasi perempuan dalam angkatan kerja global masih jauh tertinggal dibandingkan laki-laki. Berdasarkan laporan ILO (2018), tingkat partisipasi laki-laki usia 25-54 tahun mencapai 94 persen, sementara partisipasi perempuan hanya 63 persen.
Ketimpangan ini semakin nyata ketika melihat kelompok usia yang lebih luas, di mana tingkat partisipasi perempuan secara keseluruhan hanya 48,5 persen—lebih rendah 26,5 poin persentase dibandingkan laki-laki.
Baca Juga
-
Ladang Mimpi yang Berubah Jadi Neraka: Tragedi 100 Wanita Thailand di ' Peternakan Telur Manusia' Georgia
-
Mengenal Roehana Koeddoes: Jurnalis Perempuan Pertama di Indonesia
-
Stigma atau Realita: Perempuan Enggan Bersama Laki-laki yang Tengah Berproses?
-
Tantangan dan Realitas Jurnalis Perempuan di Indonesia: Menyingkap Kesenjangan di Ruang Redaksi
-
Working Holiday Visa Australia: Tiket Emas untuk Kerja dan Hidup di Luar Negeri
Tidak hanya dalam hal jumlah partisipasi, perempuan juga mengalami hambatan besar dalam meraih posisi kepemimpinan. Berdasarkan laporan Catalyst, hanya sekitar 5 persen CEO dalam daftar Fortune 500 yang merupakan perempuan.
"Itu sumber masalahnya kalau kita bicara tentang apa yang terjadi dengan fenomena ketimpangan gender atau glass ceiling," kata Maya dalam keterangannya dilansir dari Suara.com.
Perempuan sering dihadapkan pada pilihan sulit antara karier dan keluarga. Dilema ini bagaikan pisau bermata dua, jika seorang perempuan sukses dalam karier, ia kerap dianggap mengabaikan rumah tangganya. Sebaliknya, jika ia lebih fokus pada keluarga, kemampuannya sering kali diremehkan.
"Banyak faktor terkait dengan fenomena glass ceiling, tapi faktor lingkungan sangat berpengaruh kenapa perempuan tidak bisa mencapai puncak pimpinan tertinggi," ungkapnya.
Menurut Elizabeth Perry melalui tulisannya yang berjudul “Breaking The Glass Ceiling at Work and Unleashing Your Potential” masalahnya ini negatif yang mepengaruhi perkembangan karier perempuan.
Dalam pembagian tugas, perempuan cenderung dianggap lebih cocok mengurus administrasi dibanding laki-laki, karena perempuan memiliki perasaan, dianggap lebih rapi dan telaten.
Hal ini membuat perempuan terkesan hanya ditempatkan dalam pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan tampilan dan tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan penting. Permasalahan ini merupakan bentuk kesejangan gender. Adapun beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam mengurangi fenomena glass ceiling. Perusahaan dan organisasi harus meninjau kembali kebijakan serta praktik mereka guna memastikan bahwa proses perekrutan, promosi, dan evaluasi kinerja bebas dari bias gender.
Selain itu, penerapan kebijakan yang mendukung keseimbangan antara kehidupan kerja dan keluarga, seperti fleksibilitas jam kerja serta cuti melahirkan, sangat diperlukan agar perempuan dapat lebih mudah mengelola tanggung jawab mereka di kedua aspek tersebut.
Tak hanya itu, menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan suportif juga menjadi faktor penting dalam mendorong perempuan mencapai jenjang karier yang lebih tinggi.
Perusahaan perlu menyediakan program pelatihan dan pendampingan khusus yang membantu perempuan mengembangkan keterampilan serta meningkatkan rasa percaya diri mereka untuk menduduki posisi kepemimpinan.
Dengan demikian, mereka juga memiliki kesempatan untuk membangun jaringan profesional yang dapat membuka peluang karier yang lebih luas. (Dewiku.com/Humaira Ratu)
Terkini
- Tagar #KaburAjaDulu, Ketika Anak Muda Angkat Tangan pada Realita
- Takut Ketinggalan Momen? Begini Cara Mengelola FOMO dengan Sehat!
- Ladang Mimpi yang Berubah Jadi Neraka: Tragedi 100 Wanita Thailand di ' Peternakan Telur Manusia' Georgia
- Mengenal Roehana Koeddoes: Jurnalis Perempuan Pertama di Indonesia
- Stigma atau Realita: Perempuan Enggan Bersama Laki-laki yang Tengah Berproses?
- Komunitas Rumah Langit: Membuka Ruang Belajar dan Harapan bagi Anak-anak Marginal
- Subsidi BPJS Kesehatan Terancam, Siapa yang Paling Terdampak?
- Komnas Perempuan Soroti Perlindungan Jurnalis Perempuan dari Kekerasan Berbasis Gender
- Damkar Dipanggil, Polisi Ditinggal: Mengapa Publik Lebih Percaya Damkar?
- Tantangan dan Realitas Jurnalis Perempuan di Indonesia: Menyingkap Kesenjangan di Ruang Redaksi