Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - Kasus perdagangan manusia kembali mengejutkan dunia. Kali ini, sekitar 100 wanita, sebagian besar berasal dari Thailand, menjadi korban eksploitasi di sebuah "peternakan telur manusia" di Georgia.
Mereka dijanjikan pekerjaan dengan gaji tinggi sebagai ibu pengganti, tetapi justru dijadikan budak oleh sindikat kriminal.
Para korban awalnya direkrut melalui iklan pekerjaan di Facebook yang menawarkan kompensasi besar untuk menjadi ibu pengganti. Tergoda oleh tawaran tersebut, mereka tiba di Georgia pada Agustus 2024.
Namun, sesampainya di sana, mereka justru dipaksa menjalani prosedur ekstraksi sel telur setiap bulan tanpa persetujuan dan, dalam beberapa kasus, tanpa bayaran.
Baca Juga
-
Stigma atau Realita: Perempuan Enggan Bersama Laki-laki yang Tengah Berproses?
-
Komunitas Rumah Langit: Membuka Ruang Belajar dan Harapan bagi Anak-anak Marginal
-
Subsidi BPJS Kesehatan Terancam, Siapa yang Paling Terdampak?
-
Komnas Perempuan Soroti Perlindungan Jurnalis Perempuan dari Kekerasan Berbasis Gender
-
Damkar Dipanggil, Polisi Ditinggal: Mengapa Publik Lebih Percaya Damkar?
-
Misteri Tawar-Menawar: Mengapa Perempuan Selalu Lebih Jago?
Menurut Reuters.com, Kementerian Dalam Negeri Georgia mengatakan bahwa mereka telah memulangkan tiga wanita Thailand yang katanya telah bekerja sebagai ibu pengganti di negara tersebut.
Dikatakan bahwa empat warga negara asing telah diperiksa sebagai bagian dari penyelidikan tersebut.
Salah satu korban yang diduga berbicara pada konferensi pers di Thailand minggu ini, tanpa mengungkapkan namanya dan mengenakan masker dan topi.
Para wanita ini disuntik dengan hormon untuk merangsang produksi sel telur dan diperlakukan layaknya ternak. Mereka yang ingin melarikan diri harus membayar biaya tebusan sebesar €2.000 (sekitar Rp34 juta), menjadikan mereka terjebak dalam eksploitasi.
"Mereka membawa kami ke sebuah rumah yang dihuni oleh 60 hingga 70 wanita Thailand. Para wanita di sana mengatakan kepada kami bahwa tidak ada kontrak (surrogasi) atau orang tua." Ucap korban yang dilindungi identitasnya.
Para wanita itu, katanya akan disuntik untuk mendapatkan perawatan, dibius, dan sel telur mereka akan diambil dengan mesin.
“Setelah kami mendapatkan informasi ini dan ternyata tidak sama dengan iklannya, kami jadi takut, kami mencoba menghubungi orang-orang di kampung halaman," ujarnya.
Para wanita dalam konferensi pers itu mengatakan mereka berpura-pura sakit agar tampak lemah agar sel telur mereka tidak diambil. Mereka juga mengatakan bahwa paspor mereka telah diambil dan mereka diberitahu oleh para penculik bahwa mereka berisiko ditangkap di Thailand jika mereka kembali ke rumah.
Pihak berwenang di Thailand dan Georgia kini sedang melakukan investigasi lebih lanjut terhadap jaringan perdagangan manusia ini. Beberapa korban berhasil melarikan diri dan memberikan kesaksian kepada aparat keamanan.
Yayasan Pavena Hongsakul untuk Anak-Anak dan Perempuan di Thailand juga berperan dalam membantu pemulangan korban yang selamat.
Kasus ini telah menjadi sorotan global dan memicu kemarahan publik di media sosial. Banyak orang mengecam praktik tidak manusiawi ini dan mendesak tindakan lebih tegas terhadap perdagangan manusia, terutama yang melibatkan eksploitasi wanita.
“Salah satu alasan gak pernah setuju soal surrogate mother, eh orang-orang western yang sering nyanjung HAM malah support ginian, padahal mirip perdagangan manusia,” ucap akun @ohxxxxxa pada platform X.
Perdagangan telur manusia adalah bentuk eksploitasi yang mengerikan dan melanggar hak asasi manusia. Kasus di Georgia ini menunjukkan betapa rentannya wanita terhadap sindikat kejahatan yang memanfaatkan kebutuhan ekonomi mereka.
Diperlukan tindakan hukum yang lebih ketat dan kesadaran masyarakat untuk mencegah kejadian serupa terjadi di masa depan.
(Nurul Lutfia)
Terkini
- Mengenal Roehana Koeddoes: Jurnalis Perempuan Pertama di Indonesia
- Stigma atau Realita: Perempuan Enggan Bersama Laki-laki yang Tengah Berproses?
- Komunitas Rumah Langit: Membuka Ruang Belajar dan Harapan bagi Anak-anak Marginal
- Subsidi BPJS Kesehatan Terancam, Siapa yang Paling Terdampak?
- Komnas Perempuan Soroti Perlindungan Jurnalis Perempuan dari Kekerasan Berbasis Gender
- Damkar Dipanggil, Polisi Ditinggal: Mengapa Publik Lebih Percaya Damkar?
- Tantangan dan Realitas Jurnalis Perempuan di Indonesia: Menyingkap Kesenjangan di Ruang Redaksi
- Memahami dan Merawat Inner Child: Kunci untuk Menyembuhkan Luka yang Tak Terlihat
- Working Holiday Visa Australia: Tiket Emas untuk Kerja dan Hidup di Luar Negeri
- Mom Guilt, Beban Emosional Ibu Bekerja yang Sering Tak Terlihat