Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - Isu kesetaraan gender sampai saat ini masih menjadi perbincangan hangat di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Dua konsep yang kerap kali muncul dalam diskusi ini adalah budaya patriarki dan misogini.
Keduanya sering kali disalahartikan sebagai hal yang sama, padahal memiliki perbedaan mendasar dalam bentuk dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat.
"Misogini ini efek lanjutan dari budaya patriarki yang sudah mengakar. Jika patriarki menempatkan perempuan pada posisi lebih rendah secara struktural, misogini justru menjadi ekspresi kebencian yang mewujud dalam tindakan nyata, seperti pelecehan, diskriminasi, hingga kekerasan berbasis gender," jelasnya kepada Dewiku.
Baca Juga
-
Bertukar Kata Sandi: Bukti Cinta atau Kontrol Pada Pasangan?
-
Terjebak di Zona Nyaman? Learn to Unlearn Jadi Kunci Selamat di Era Digital
-
Gangguan Sensorik Ternyata Bikin Anak Sulit Beradaptasi Hingga Rentan Di-Bully
-
Di Balik Layar yang Bias: Realita Pahit Jurnalis Perempuan dalam Pusaran Media Online
-
Nggak Cuma Dinner Romantis, 7 Film Ini Juga Cocok untuk Menemani Hari Valentine Kamu
-
Fenomana Glass Ceiling: Mengapa Perempuan Sulit Jadi Pemimpin di Dunia Kerja?
Perbedaan Budaya Patriarki dan Misogini
Secara sederhana, patriarki adalah sistem sosial yang telah berlangsung selama ribuan tahun dan masih banyak ditemukan dalam berbagai aspek kehidupan.
Dalam masyarakat patriarkal, laki-laki sering kali ditempatkan sebagai pemimpin dan pengambil keputusan utama, sementara perempuan dianggap memiliki peran domestik, seperti mengurus rumah tangga dan anak-anak.
"Patriakri membentuk norma dan aturan tidak tertulis yang membuat perempuan seolah harus menerima peran yang lebih subordinatif. mulai dari aturan di rumah tangga, dunia kerja, hingga kebijakan negara," ujar Fika.
Di sisi lain, misogini lebih bersifat psikologis dan sosial, yakni kebencian terhadap perempuan yang dapat muncul dalam berbagai bentuk.
Misogini bisa diekspresikan melalui sikap merendahkan perempuan, mengobjektifikasi mereka dalam media, hingga tindakan kekerasan fisik dan verbal yang didasarkan pada stereotip gender.
Menurut Kate Manne, seorang filsuf feminis dari Cornell University dalam bukunya Down Girl: The Logic of Misogyny, misogini tak hanya sekadar kebencian terhadap perempuan secara individu, tetapi lebih kepada sistem penghukuman bagi perempuan yang menolak tunduk pada aturan patriarki.
"Perempuan yang melawan norma patriarki sering kali dianggap ‘tidak pantas’, ‘terlalu ambisius’, atau ‘tidak tahu tempat’, sehingga mereka menjadi sasaran serangan sosial," jelas Kate
Di dunia kerja, misalnya, budaya patriarki membuat perempuan lebih sulit mendapatkan posisi kepemimpinan dibanding laki-laki.
Laporan dari World Economic Forum (2024) menunjukkan bahwa kesenjangan gender dalam kepemimpinan perusahaan masih signifikan, dengan hanya 25% posisi eksekutif global yang dipegang oleh perempuan.
Di bidang pendidikan, di beberapa daerah konservatif, anak perempuan masih dipandang tidak perlu mengenyam pendidikan tinggi karena dianggap hanya akan berakhir sebagai ibu rumah tangga.
Sedangkan dalam kehidupan sosial dan media, misogini tampak dalam bentuk pelecehan online, ujaran kebencian terhadap perempuan, serta standar ganda dalam menilai laki-laki dan perempuan.
"Kesetaraan gender sebenarnya bukan hanya soal perempuan, ini mengingatkan kita akan pentingnya membangun lingkungan yang ramah dan adil bagi semuanya. Pasalnya, dua budaya ini sudah mengakar begitu dalam dalam masyarakat, sehingga sering kali tidak disadari atau bahkan dianggap sebagai sesuatu yang wajar," kata Fika lagi.
Ia menambahkan bahwa untuk mengatasi patriarki dan misogini, diperlukan perubahan dari berbagai aspek, mulai dari pendidikan, kebijakan, hingga pola pikir masyarakat. Menurutnya, kesadaran dan keberanian untuk menentang praktik-praktik yang tidak adil adalah langkah awal dalam menciptakan lingkungan yang lebih setara.
"Kesetaraan gender bukan berarti meniadakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan, tetapi memastikan bahwa semua individu memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang tanpa dibatasi oleh norma dan stereotip yang merugikan," pungkasnya.
Penulis: Humaira Ratu Nugraha
Terkini
- 1001 Nights of Ramadan Sedayu, Tawarkan Menu Iftar dari Berbagai Negara
- Lipstick Effect: Fenomena Aneh yang Bikin Orang Tetap Belanja di Tengah Krisis
- Mengenal Sosok Sherly Tjoanda: Minta Doa Restu dari Mendiang Suami Sebelum Dilantik Jadi Gubernur Maluku Utara
- Mengenal Fafo Parenting, Gaya Pengasuhan yang Lagi Viral: Apa Kata Ahli?
- Adakah Dampak Cancel Culture dalam Tragedi Kematian Kim Sae Ron?
- Hati-Hati Humblebragging: Fenomena Pamer Halus di Balik Kedok Rendah Hati
- Fenomena Sadfishing, Tren Pamer Air Mata di Media Sosial
- Mengupas Ketidakadilan Kelas dan Gender dalam Drakor The Tale of Lady Ok
- Hidup Penuh Kejutan, Perlindungan Finansial untuk Keluarga Harus Jadi Prioritas
- TBM jadi Oase di Kolong Jembatan, Bukti Literasi Bisa Tumbuh di Mana Saja