Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - Stigma perempuan sebagai tukang gosip telah lama berakar dalam masyarakat. Citra ini sering kali digambarkan dalam berbagai media, mulai dari film, buku, hingga percakapan sehari-hari. Namun, benarkah perempuan lebih sering bergosip daripada laki-laki? Dan mengapa stigma ini begitu melekat pada perempuan?
Sejatinya, gosip merupakan bagian alami dari interaksi sosial manusia. Sejak zaman dulu, manusia menggunakan gosip sebagai cara untuk bertukar informasi, membangun kepercayaan, dan menjaga kohesi dalam kelompok sosial.
Robin Dunbar, antropolog dan psikolog dari Universitas Oxford, menyatakan bahwa gosip memiliki fungsi sosial yang penting dalam kehidupan manusia. Dalam bukunya Grooming, Gossip, and the Evolution of Language, Dunbar menjelaskan bahwa gosip bukan sekadar obrolan ringan, tetapi berperan sebagai alat untuk membangun dan mempertahankan hubungan sosial.
Ia menekankan bahwa gosip membantu individu memahami dinamika kelompok, mengidentifikasi siapa yang dapat dipercaya, serta memperkuat ikatan sosial, mirip dengan bagaimana primata menggunakan perawatan fisik (grooming) untuk membangun hubungan dalam kelompok mereka.
Baca Juga
-
Grainsly Ground dan Revolusi Kulinernya: Ketika Makanan Sehat Jadi Tren
-
Rekomendasi Tempat Buka Puasa 2025: Quba Ramadan Pop-Up Resto Hadirkan 70 Menu Istimewa
-
Dari Selfie Corner hingga Cheer Zone, Sociolla Bestie Pink Run 2025 Lebih dari Sekadar Fun Run!
-
Mindful Eating, Kebiasaan Sehat yang Bisa Ubah Cara Kamu Menikmati Makanan
-
Tingkat Kesuburan Warga Jakarta Menurun Drastis, Apa Penyebabnya?
-
13 Tahun Topotels: Menapaki Jejak, Merajut Cerita, dan Menatap Masa Depan
Menurut Dunbar, gosip juga berperan dalam perkembangan bahasa manusia, karena memungkinkan komunikasi yang lebih kompleks dan efektif dalam kelompok yang lebih besar.
Bias Sosial
Dalam banyak budaya, gosip saat ini telah mengalami distorsi makna, terutama ketika dikaitkan dengan perempuan. Anggapan bahwa gosip adalah aktivitas negatif yang identik dengan perempuan semata merupakan bias sosial. Hal ini karena secara evolusioner, gosip adalah bagian alami dari interaksi manusia yang membantu menjaga stabilitas sosial.
Stereotip bahwa perempuan lebih suka bergosip daripada laki-laki tidak sepenuhnya akurat. Sebuah penelitian oleh McAndrew & Milenkovic yang dilakukan pada 2002 menunjukkan bahwa sebenarnya laki-laki dan perempuan memiliki frekuensi bergosip yang hampir sama.
Penelitian lainnya oleh Leaper & Holliday University of Michigan juga menemukan bahwa perempuan lebih sering berbagi informasi personal dan emosional dalam gosip mereka, sementara laki-laki lebih banyak melakukan gosip berbasis kompetisi atau status sosial.
Namun, karena budaya patriarki lebih menghargai percakapan tentang status dan pencapaian, gosip laki-laki dianggap lebih valid daripada gosip perempuan.
Stigma yang Merusak Kredibilitas
Stigma terhadap perempuan sebagai penggosip berdampak luas, merusak citra serta kredibilitas mereka dalam lingkungan sosial dan profesional.
Robin Dunbar, Antropolog dan Psikolog dari Universitas Oxford menyebutkan bahwa stigamatisasi perempuan dalam bergosip memiliki dampak yang negatif.
“Adanya Stigma ini berkontribusi pada pembentukan persepsi sosial bahwa suara perempuan dalam diskusi penting menjadi kurang dihargai dan sering kali diabaikan” dilansir dalam bukunya yang berjudul Grooming, Gossip, and the Evolution of Language
Perempuan yang mendapat label ini sering kali menghadapi tekanan sosial yang membuat mereka merasa terpinggirkan dan kurang dihargai.
Akibatnya, mereka menjadi enggan untuk berpartisipasi dalam diskusi, sehingga membatasi peran mereka dalam masyarakat.
Tak hanya itu, secara psikologis, stigma ini juga dapat berdampak pada kesejahteraan mental perempuan. Dilansir dari Psychology Today, ketika individu merasa distigmatisasi, mereka lebih rentan mengalami stres, kecemasan, dan bahkan depresi.
“Perempuan yang terus-menerus mendapatkan label negatif sebagai penggosip mungkin merasa terisolasi atau kehilangan rasa percaya diri dalam berkomunikasi,” demikian tulis artikel tersebut.
“Mereka bisa mengalami dilema antara ingin bersosialisasi secara alami dan menghindari stigma yang merugikan mereka,” ucap Peggy Drexler, Psikolog Weil Medical Universitas Cornell.
Lebih dari Sekadar Bisik-Bisik
Terlepas dari stigma yang melekat, gosip tidak selalu negatif. Gosip dapat berfungsi sebagai cara untuk berbagi informasi penting, memperingatkan orang lain tentang potensi bahaya, atau bahkan sebagai bentuk hiburan. Dalam beberapa kasus, gosip juga dapat menjadi cara untuk mengkritik ketidakadilan atau perilaku yang tidak pantas.
Namun, gosip juga dapat memiliki konsekuensi negatif. Gosip dapat menyebarkan informasi yang salah atau merusak reputasi seseorang. Gosip juga dapat menciptakan lingkungan sosial yang tidak sehat dan penuh kecurigaan.
Nah, agar tidak terjebak dalam stigma sebagai perempuan penggosip, penting untuk menyadari bias kita sendiri dan berusaha untuk tidak menghakimi orang lain berdasarkan stereotip. Penting juga untuk menilai informasi secara kritis dan tidak menyebarkan informasi yang tidak terverifikasi.
Membangun budaya komunikasi yang sehat dan saling menghormati bisa jadi upaya untuk menghindari gosip yang merusak dan fokus pada komunikasi yang konstruktif.
(Humaira Ratu)
Terkini
- Film Anuja Masuk Nominasi Oscar 2025, Lantang Menentang Eksploitasi Anak dan Perempuan
- Grainsly Ground dan Revolusi Kulinernya: Ketika Makanan Sehat Jadi Tren
- Rekomendasi Tempat Buka Puasa 2025: Quba Ramadan Pop-Up Resto Hadirkan 70 Menu Istimewa
- Dari Selfie Corner hingga Cheer Zone, Sociolla Bestie Pink Run 2025 Lebih dari Sekadar Fun Run!
- Mindful Eating, Kebiasaan Sehat yang Bisa Ubah Cara Kamu Menikmati Makanan
- Tingkat Kesuburan Warga Jakarta Menurun Drastis, Apa Penyebabnya?
- Di Aksi #Indonesia Gelap, Para Perempuan Suarakan Keadilan untuk Pekerja Rumah Tangga
- #IndonesiaGelap: Saat Ribuan Massa Tuntut Pemerintah Tak Mainkan Kebijakan
- Buruh Pabrik Dapat Nilai SKD Tertinggi, Kisah Tri Cahyaningsih Yang Gagal CPNS Karena Tinggi Badan
- Dilema Suami dalam Poligami: Perasaan Bersalah yang Tak Berujung