Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - Setiap anak berhadapan hukum atau ABH —seperti warga negara lain— berhak diterima masyarakat serta mendapat kesempatan untuk menata dan menjalani hidup yang lebih baik. Namun, stigma sosial yang melekat pada ABH acap kali menjadi tantangan terberat bagi mereka ketika kembali ke masyarakat.
Dukungan keluarga dan penerimaan dari orang-orang terdekat terhadap ABH itu setidaknya dapat menjadi motivasi yang mendorong mereka untuk menjadi lebih baik. Seperti yang dirasakan Leo (26) dan JR (17).
Leo merupakan mantan ABH atas kasus narkotik. Dia sempat menjalani masa pembinaan di Lapas Salemba Kelas IIA, Jakarta Pusat. Sedangkan JR, ABH terkait kasus tawuran yang akan segera bebas dari LPKA Kelas IIA, Jakarta Selatan setelah menjalani enam bulan masa pembinaan.
Hal itu juga diamini oleh Projek Officer Program Anak PKBI di LPKA Daerah Istimewa Yogyakarta, Kemal. Di Yogyakarta, katanya, pada umumnya ABH bersikap pasifis terhadap stigma yang diberikan masyarakat kepada mereka.
Baca Juga
-
Seperti Menggenggam Angin, Pendidikan Bagi Anak Berhadapan dengan Hukum yang Sulit Dicapai
-
Self-Sabotage: Saat Diri Sendiri Jadi Penghambat Kesuksesan
-
Mengenal Fafo Parenting, Gaya Pengasuhan yang Lagi Viral: Apa Kata Ahli?
-
Membangun Mental Anak Sejak Dini: Perjalanan Panjang Menuju Keseimbangan Emosional
-
Stigma atau Realita: Perempuan Enggan Bersama Laki-laki yang Tengah Berproses?
"Pasifis dalam artian yang menerima keadaannya, menerima stigmanya sebagai anak nakal. Yang kemudian terus balik melakukan hal-hal yang buruk," ujar Kemal.
Dukungan sosial dari orang terdekat seperti keluarga memiliki korelasi terhadap penerimaan diri eks ABH. Sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan Mochammad Rizki Hermawan dari Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya pada 2023.
Penelitian yang dilakukannya terhadap 61 anak usia antara 14 sampai dengan 18 tahun di LPKA Kelas 1 Blitar, Jawa Timur, menunjukkan dukungan sosial memiliki pengaruh terhadap tingkat kecemasan ABH.
Kecemasan yang dimaksud, keadaan khawatir, kegelisahan dan ketakutan yang berkaitan dengan masa depan yang akan datang. Sementara dukungan sosial terkait dengan peran hubungan sosial, yang melibatkan keberadaan orang terdekat atau significant other yang mampu memberikan dukungan kepada individu saat menghadapi tekanan.
Penelitian ini menunjukkan semakin tinggi dukungan sosial yang diberikan, maka semakin rendah tingkat kecemasan yang dialami ABH. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah dukungan sosial yang diberikan, maka semakin tinggi tingkat kecemasan yang dialami.
Dukungan Keluarga Jadi Kekuatan bagi ABH
“Yang bikin saya teguh untuk selalu berusaha menjadi lebih baik dan tidak mengulangi perbuatan itu karena perasaan jauh dari keluarga sangat tidak enak.”
Pernyataan itu disampaikan Leo (26) mantan anak berhadapan dengan hukum atau ABH. Leo mengaku, dukungan keluarga lah yang menguatkannya.
Tujuh tahun lalu tepatnya Agustus 2017, Leo bebas setelah menjalani masa pembinaan selama 1 tahun 9 bulan atas kasus narkotika di Lapas Salemba Kelas IIA, Jakarta Pusat.
“Di sana saya banyak belajar. Tapi seenak-enaknya di sana tetap lebih enak di luar,” ungkap Leo seraya tertawa.
Berdasar data dari SDP Publik Direktorat Jenderal Pemasyarakatan atau DitjenPAS per 24 Oktober 2024, jumlah ABH yang menjalani pembinaan di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan tercatat mencapai 2.147 anak. Sebanyak 1.550 ABH atau 72 persen menjalani pembinaan di LPKA. Sedangkan 597 ABH atau 28 persen lainnya di Rutan atau Lapas Dewasa.
Leo mengungkap ketika menjalani pembinaan di Lapas Salemba Kelas IIA, dalam satu ruangan dihuni oleh empat ABH. Mereka memiliki latar belakang kasus berbeda, ada narkotik juga tawuran.
Sebagian besar dari mereka menurut Leo mengakui hari-hari pertama menjalani masa pembinaan merupakan masa paling berat. Leo masih ingat betul, waktu itu dia tidak bisa tidur selama dua hari. Pikirannya kalut dan penuh penyesalan. Teman-temannya yang memahami kondisi itu, lalu memberikan semangat dan menguatkan.
Dukungan dari teman-teman diakui Leo adalah hal yang paling menguatkannya kala itu. Walakin, ada juga ABH lain yang justru berupaya menggoda untuk masuk ke dalam ‘lembah hitam’.
“Jadi tergantung dari diri kita juga mau pilih jalan yang mana. Karena di dalam ada aja tuh yang malah ngajak kita masuk ke lembah hitam lagi,” tuturnya.
Perhatian, dukungan dan kasih sayang, kata Leo, adalah hal yang sangat dibutuhkan ABH. Leo mengaku beruntung karena mendapat itu dari keluarga. Pasalnya tak sedikit dari ABH yang tidak mendapat perhatian, dukungan dan kasih sayang dari keluarga. Mereka akhirnya kembali ke ‘lembah hitam’.
“Mereka di dalam tidak pernah mikirin dibawakan makanan apa tapi yang penting kehadiran keluarga yang membuat mereka merasa tidak ditinggalkan,” tutur Leo.
Hal senada juga diungkapkan JR (17), yang mendapatkan dukungan keluarga dalam membantunya menjalani masa tahanan di LPKA Kelas IIA, Jakarta Selatan akibat kasus tawuran melibatkan lima temannya. Sebagai yatim piatu, JR tinggal bersama nenek, om, dan keponakan-keponakannya. Tragedi ini menjadi pukulan berat baginya, karena selama ini ia lah yang menjaga sang nenek.
"Nenek nangis nggak nyangka akan kaya gini. Tapi kata om jalanin, terima, nggak usah sedih lama-lama, nggak usah terpuruk. Saya cuma kepikiran sama nenek karena selama ini saya yang jaga. Nenek udah umur 66 tahun, sudah lumpuh, tiap minggu ke rumah sakit buat kontrol. Sekarang nenek dijaga om," cerita JR.
JR mengakui bahwa neneknya datang menjenguk seminggu sekali bersama pamannya. Pada awalnya, sang nenek menangis karena khawatir melihat cucunya terlibat tawuran dan berada di balik jeruji. Hal itu membuat JR menangis dan meminta maaf atas perbuatannya.
"Tapi nenek bilang nggak usah minta maaf, Junior nggak salah, saya langsung terharu. Saya udah begini tapi nenek masih mau maafin saya," sambungnya.
Melihat ketulusan sang nenek, JR terharu dan berjanji tidak ingin berbuat kesalahan yang sama saat keluar nanti.
"Saya turutin omongan nenek karena kalau kaya gini nenek juga yang repot. Temen-temen pada ilang, nggak ada yang urusin. Nenek juga yang urusin, jauh-jauh ke sini,"
Bersama teman- temannya di LPKA Kelas IIA, JR berusaha menjadi lebih baik lagi.
“Di sini kita sama-sama menyelesaikan masalah, menjadi lebih baik lagi nantinya. Jadi anggep keluarga,” tegasnya.
Menata Masa Depan Lebih Baik
Baik Leo maupun JR, berupaya menata masa depannya setelah bebas.
JR yang akan segera bebas setelah menjalani masa tahanan selama enam bulan, sudah mulai memikirkan masa depannya. la mengaku tidak peduli dengan berbagai pandangan orang terhadapnya selama ia berusaha berubah menjadi lebih baik. Namun, JR mengakui, ada kekhawatiran terkait pekerjaan di masa depan. Terlebih, sebelumnya JR sudah freelance di beberapa tempat. Meski begitu, JR mantap melanjutkan hidup dan cita-citanya untuk menjadi atlet.
“Lebih mikir gimana nanti kerja. Kalau temen ngejauhin udah nggak kepikiran,” tegas JR.
Sebelumnya JR adalah atlet basket yang terbilang berprestasi di sekolahnya. Bahkan JR seorang kapten yang sering memberikan piala untuk sekolah. Di luar itu, JR Juga berlatih tinju bersama sang Paman.
Setelah bebas, JR pun bertekad untuk tidak lagi melakukan kesalahan yang sama dan ingin memanfaatkan kemampuannya untuk hal-hal yang positif.
“Om kecewa juga sih, tapi Alhamdulillah kalau saya keluar masih mau nerima juga. Masih wajarin kenakalan remaja, masih labil, tapi jangan sampai diulangi lagi. Om biarin berantem yang di ring. saya pengen jadi petinju atau pebasket, di luar akademik. Jujur saja di akademik kurang." tegas JR mantap.
Sementara itu, Leo yang sudah lama bebas dan menata masa depannya berbagi cerita bagaimana dukungan teman-teman dan keluarganya menguatkannya hingga saat ini.
“Aku melangkah pasti lewati banyak rintangan demi masa depanku yang penuh pengharapan bahagia” adalah sepenggal lirik dari lagu berjudul Aku Melangkah Pasti.
Lagu ciptaan orang tua Kalep salah satu ABH di Lapas Salemba Kelas IIA itu kerap dibawakan Leo dari panggung ke panggung.
Kalep merupakan teman satu kamar Leo di Lapas Salemba Kelas IIA. Bersama satu teman lainnya bernama Jody, mereka bertiga: Leo, Kalep dan Jody membentuk grup musik bernama The Leo's.
“Judulnya Aku Melangkah Pasti,” tutur Leo.
The Leo's kerap mengisi acara-acara di LPKA yang diinisiasi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia atau PKBI. Salah satu yang Leo syukuri selama berada di LPKA— dia masih bisa menyalurkan bakat bermusik.
Sebagai vokalis, Leo bersama The Leo's tidak sekadar menghibur. Setiap kali tampil di acara yang dihadiri ABH, mereka selalu memotivasi dan menguatkan antar sesama.
“Nggak usah ragu untuk melihat masa depan. Siapapun yang mengucilkan, cuekin aja,” katanya.
Karena itu Leo selalu antusias ketika diminta tampil dalam acara-acara yang dihadiri ABH. Selain menghibur, di tengah acara itu dia selalu berupaya memberikan semangat kepada teman-teman ABH untuk berani menatap masa depan yang lebih baik.
Pentingnya Dukungan dari Berbagai Pihak
Pentingnya dukungan sosial terhadap eks ABH bukan tanpa alasan, karena eks ABH sangat rentan mendapatkan stigma dari masyarakat. Psikolog sekaligus pendiri Natadiri, Tessa Revananda mengatakan, stigma yang muncul berasal dari pandangan masyarakat yang melihat ABH sebagai anak nakal atau tidak bisa diperbaiki. Dampaknya mereka rentan mengalami diskriminasi.
Keadaan tersebut pada akhirnya berdampak terhadap pribadi si anak, seperti merasa harga diri dan kepercayaan diri yang rendah; perasaan bersalah dan malu; serta pengalaman trauma dengan sistem hukum. Dampak terburuknya, perasaan ingin mengakhiri hidup.
Untuk itu intervensi lewat pendampingan perlu dilakukan bagi ABH terutama yang tidak mendapatkan dukungan dan penolakan. Kemal, membagikan kisah seorang eks ABH berinisial J yang sempat didampingi oleh timnya.
Saat hendak bebas, J bukannya senang, melainkan takut untuk kembali ke kampung halamannya dan bertemu keluarganya. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan, J memiliki trauma masa lalu dengan keluarganya. J pernah dipasung oleh ayahnya dan sering mendapatkan tindakan kekerasan. Tak hanya itu, dia juga sering melihat ibunya dipukuli.
Selain persoalan trauma di keluarga, J juga mendapatkan penolakan dari masyarakat. Melihat situasi dan kondisi yang dialami J, PKBI DIY menyimpulkan bahwa keluarga bukan ruang yang aman baginya, sehingga dibutuhkan alternatif lain. Kemal dan timnya mengambil tindakan dengan mengumpulkan masyarakat sekitar, dan memberikan gambaran soal perubahan J setelah menjalani proses pembinaan di LPKA.
"Dan ternyata ada ketua karang taruna yang mau mendukung dia. Dan kita bangun komitmen bersama dengan warga. Dan akhirnya anak itu sekarang tinggal di rumah, tapi ikut kerja sama ketua karang tarunanya, dan sekarang dia mapan," ujar Kemal.
Sayangnya, tak semua anak ABH memiliki akses untuk mendapatkan pendampingan setelah selesai menjalani pembinaan di LPKA. Pendampingan umumnya hanya mereka dapatkan saat masih menjalani pembinaan, sebagaimana disampaikan petugas LPKA Kelas IIA Jakarta. Pendampingan selanjutnya, bukan lagi tanggung jawab LPKA, melainkan dinas sosial dan sejenisnya.
Untuk itulah pihak LPKA Kelas IIA berharap ada instansi yang menerima anak berhadapan dengan hukum yang tidak punya keluarga atau orangtua. Menurut penuturan pihak LPKA Kelas IIA, tidak semua anak berhadapan dengan hukum memiliki keluarga. Untuk itu, pihak LPKA Kelas IIA bekerjasama dengan Dinas Sosial.
“Kami berharapnya mereka memberikan lapangan pekerjaan. Kalau tidak, mereka memberikan sekolah gratis atau gimana biar masa depan anak ini memang bisa tercapai,” ucap Eka Arifaji Budimartahadi, Kepala Sub Seksi Pendidikan LPKA Kelas IIA, Jakarta Selatan.
Terpisah, Kemal pun menyatakan hal yang sama. Sebab saat anak berkonflik dengan hukum, si anak memiliki dua status. Pertama sebagai anak yang sedang berkonflik dengan hukum, dan statusnya sebagai anak. Saat statusnya berkonflik dengan hukum tanggung jawabnya berada lembaga vertikal seperti LPKA. Namun setelah selain menjalani pembinaan, status mereka sebagai anak menjadi tanggung jawab lembaga horizontal seperti Dinas Sosial atau Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak.
"Pas mereka keluar, mereka jadi tanggung jawabnya lembaga horizontal. Nah, apakah lembaga horizontal me-rekognisi (melayani) anak-anak ini? Belum tentu," ujar Kemal.
Pasalnya pada banyak kasus, antara lembaga terkait sering saling melempar tanggung jawab. Untuk itulah PKBI hadir, melakukan intervensi terhadap lembaga-lembaga terkait, guna memastikan eks ABH mendapatkan haknya sebagai anak, salah satunya mendapatkan pendampingan, baik secara psikologis dan keterampilan.
Sejatinya, pemenuhan hak ABH diatur dalam beberapa Undang-Undang dan Peraturan Menteri yang dapat dijadikan lembaga terkait sebagai rujukan. Di antaranya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Selain itu turut diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 18 Tahun 2018 tentang Pelayanan Pemasyarakatan Anak. Aturan ini setidaknya mengatur tentang tata cara pelayanan pemasyarakatan anak yang dilakukan oleh badan pemasyarakatan, termasuk dalam hal pendampingan, rehabilitasi, dan reintegrasi sosial anak yang berhadapan dengan hukum.
Kemal pun menekankan penting bagi negara untuk mengenali ABH dan mengakui keberadaanya, serta memastikan pemenuhan haknya. Sebab persoalan lainnya, negara belum secara utuh mengenali dan memahami akar masalah anak berhadapan dengan hukum.
"Karena yang selalu dibahas ketika dibahas ketika kita ngomongin anak berhadapan dengan hukum, itu kan pasti soal pengentasan. Nggak pernah muncul dialog soal pembelaan. Kemudian bagaimana cara memperbaiki. Atau kemudian kita berani bilang ke publik, di ruang umum, kalau anak ini tuh juga korban. Itu enggak pernah terjadi," jelas Kemal.
Namun persoalannya, jangkauan PKBI juga terbatas. Tak semua Dinas Sosial atau Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak yang ada bisa mereka jangkau. Meski begitu PKBI berupaya penuh hadir dan memberikan pendampingan untuk eks ABH sehingga mereka bisa kembali menata masa depannya.
Leo menjadi satu di antara eks ABH yang membuktikan pentingnya dukungan keluarga yang beriringan dengan pendampingan tepat untuk masa depannya. Saat ini, Leo tidak hanya aktif bermusik. Setahun terakhir bersama pacarnya dia juga membangun usaha Sate Taichan di kawasan Senayan, Jakarta.
“Pesan saya untuk teman-teman ABH selalu semangat jangan pernah takut gagal. Apapun tujuan kalian untuk menjadi lebih baik itu harus diperjuangkan. Jangan mudah menyerah, kesempatan selalu ada. Kalau gagal coba lagi. Apapun rintangannya tetap hadapi dan percaya akan selalu ada jalan,” pungkasnya.
(Reporter: Yaumal Asri Adi Hutasuhut)
Terkini
- Nyaman dengan Diri Sendiri Berawal dari Perawatan Tepat Area Kewanitan
- Main Character Syndrome, Ketika Perempuan Merasa Jadi Pusat Semesta
- Go & Glow Fun Run 2025: Tetap Bugar dan Glowing dengan Aktivitas Seru
- Hot Girl Walk: Ketika Perempuan Jadi Lebih Bahagia Cuma Modal Jalan Kaki
- Self Gifting: Bukan Boros, Tapi Bentuk Apresiasi pada Diri Sendiri
- Lebih dari Sekadar Musik, Ada Pesan Pemberdayaan Perempuan dari JENNIE Lewat Album Ruby
- Cyberstalking Merusak Mental dan Fisik: Bagaimana Perempuan Bisa Melindungi Diri Mereka?
- Rahasia Tangguh: Kuasai Self-Compassion untuk Kesehatan Mental
- Zombieing: Ketika Mantan Datang Tanpa Diundang, Lebih Seram dari Ghosting!
- Rebound Relationship: Ketika Mantan Jadi Bayang-Bayang Pacar Baru