Rabu, 13 November 2024 | 16:52 WIB
Parlemen Irak tengah mengajukan amandemen terhadap Undang-Undang Status Pribadi negara tersebut yang akan memungkinkan otoritas keagamaan Irak, alih-alih hukum negara, untuk mengatur masalah perkawinan dan warisan dengan mengorbankan hak-hak fundamental perempuan. Salah satunya adalah mengubah batas usia minimal pernikahan bagi anak perempuan dari 18 tahun menjadi 9 tahun.
Pernikahan anak membuat anak perempuan berisiko lebih tinggi mengalami kekerasan fisik dan seksual serta kehilangan akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Ada pula konsekuensi kesehatan fisik dan mental yang tak bisa dipandang enteng.
Parlemen mengusulkan amandemen serupa terhadap Undang-Undang Status Pribadi pada 2014 dan tahun 2017, tetapi selalu gagal disahkan. Jika kali ini lolos, amandemen yang diajukan jelas akan mengabaikan hak-hak perempuan, termasuk mendapat hak waris, mengajukan perceraian, hingga persoalan hak asuh anak.
Baca Juga: Tes Kepribadian: Angka Favorit Bisa Mengungkap Karakter Seseorang
Loading...
Masa Depan Anak Perempuan Terang-terangan Dirampas
"Melegalkan pernikahan dini secara resmi akan merampas masa depan dan kesejahteraan banyak anak perempuan. Anak perempuan seharusnya bersekolah dan bermain, bukan mengenakan gaun pengantin," ungkap Sarah Sanbar, peneliti Human Rights Watch di Irak, sebagaimana dikutip Dewiku.com, Rabu (13/11/2024).
Baca Juga: Ini Cara Kunto Aji Mengatasi Bau Ketiak, Bukan Mengandalkan Deodoran
Kelompok hak asasi manusia dan aktivis Irak turun ke jalan untuk memprotes amandemen tersebut. Selain itu, lebih dari 15 anggota parlemen perempuan dari berbagai partai bersatu untuk menentang pengesahannya.
Rancangan amandemen tersebut juga akan mengesahkan pernikahan yang tidak terdaftar di pengadilan. Padahal, saat ini pernikahan seperti itu merupakan tindakan ilegal berdasarkan hukum berlaku.
Perkawinan anak di Irak merupakan masalah yang sangat mengkhawatirkan. Laporan Human Rights Watch pada Maret 2024 mengungkap angka pernikahan dini telah meningkat selama 20 tahun terakhir.
UNICEF pun melaporkan bahwa 28 persen anak perempuan di Irak menikah sebelum mereka berusia 18 tahun. Sementara menurut temuan United Nations Assistance Mission for Iraq (UNAMI), 22 persen dari pernikahan yang tidak terdaftar melibatkan anak perempuan di bawah usia 14 tahun.
"Anggota parlemen Irak harus menolak upaya untuk mencabut perlindungan hukum bagi perempuan dan anak perempuan serta menolak untuk mencabut hak-hak yang telah diperjuangkan selama puluhan tahun," kata Sanbar.
"Jika tidak, generasi perempuan Irak masa kini dan mendatang akan terus tercekik oleh sistem hukum patriarki yang menindas," tegasnya.
Anak Perempuan Harusnya Sekolah, Bukan Menikah
Sementara itu, Pusat Studi Gender & Anak (PSGA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menilai usulan amandemen terhadap Undang-Undang Status Pribadi di Irak sebagai sebuah kemunduran.
"Sudah banyak aktivis atau lembaga-lembaga yang menyuarakan ketidaksetujuan karena secara tidak langsung melegalkan UU pemerkosaan, ketidaksiapan reproduksi perempuan," kata Ketua PSGA UIN Jakarta, Wiwi Siti Sajaroh, saat ditemui Dewiku.com, Rabu pagi.
"Perempuan di usia mereka itu harusnya sekolah, bukan memakai gaun dan beranak. Di usia mereka, adalah hak mereka untuk mengenyam pendidikan, bukan untuk menjadi ibu," tegasnya kemudian.
Wiwi lalu memaparkan, seseorang yang sudah balig memang sudah diperbolehkan menikah dalam Islam. Namun, harus dipahami bahwa kesiapan untuk menikah bukan cuma perihal usia dan menstruasi yang menjadi pertanda akil balig.
Selain kesiapan secara fisik yang berkaitan dengan reproduksi, lanjut Wiwi, pertimbangkan juga soal kematangan mental, psikis, dan ekonomi.
Di Indonesia sendiri, usia minimal menikah untuk perempuan adalah 19 tahun, begitu pula dengan laki-laki. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perkawinan, usia legal menikah bagi perempuan yang sebelumnya 16 tahun berubah menjadi 19 tahun.
Menurut Wiwi, menikah saat berusia 19 tahun sebenarnya belum bisa dibilang ideal, terlebih jika umurnya masih kurang dari batas usia nikah yang diatur pemerintah. Itulah mengapa permasalahan amandemen Undang-Undang Status Pribadi di Irak sangat memprihatinkan dan tidak adil bagi perempuan.
"Banyak yang secara biologis mungkin sudah siap, tetapi secara psikologis, tidak semua siap menghadapi masalah-masalah dalam perkawinan," tandasnya.
Baca Juga: Jarang Mandi Kayak Tasya Farasya? Dokter Kulit Ternyata Bilang Begini
Reporter: Humaira Ratu Nugraha