
Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - Pernyataan Prilly Latuconsina yang viral beberapa waktu lalu tentang jumlah perempuan independen yang lebih banyak dibandingkan pria mapan, telah memicu perdebatan hangat di masyarakat.
Perbandingan antara kedua kelompok itu seolah menjadi norma baru dalam perbincangan mengenai relasi gender dan dinamika hubungan. Lalu, apa yang membuat kedua kelompok ini kerap dibandingkan? Dan benarkah perempuan independen bisa menjadi ancaman bagi pria mapan?
Kemandirian Perempuan dan Realitas Sosial
Pergeseran peran gender yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir telah mengubah lanskap sosial. Perempuan semakin banyak yang berkarier, mandiri secara finansial, dan memiliki suara yang lebih kuat. Hal ini secara otomatis memunculkan perbandingan dengan peran tradisional pria sebagai pencari nafkah utama.
Baca Juga
Hal ini kemudian ditambah fakta bahwa angka pernikahan di Indonesia menunjukkan tren penurunan. Diduga, salah satu penyebabnya adalah meningkatnya jumlah perempuan mandiri yang sulit menemukan pria mapan sebagai pasangan.
Fenomena ini muncul karena perempuan modern cenderung lebih selektif dalam memilih pasangan. Dengan kemampuan finansial yang sudah mumpuni, mereka tidak lagi bergantung pada pria untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Kemandirian ini tentu patut dirayakan sebagai pencapaian besar bagi perempuan. Namun, di sisi lain, norma sosial yang kaku masih sering memandang perempuan independen sebagai ancaman.
Pria Mapan dan Tekanan yang Mencekik
Di sisi lain, pria menghadapi tekanan besar untuk memenuhi ekspektasi kemapanan. Pria yang belum mapan secara finansial sering kali dianggap tidak kompeten, meskipun mereka memiliki kualitas lain yang positif.
Ekspektasi ini membuat banyak pria merasa terjebak dalam perlombaan untuk memenuhi standar sosial, sering kali mengorbankan aspek lain dalam hidup mereka.
Pernyataan Prilly bahwa pria mapan "jumlahnya lebih sedikit" mungkin terdengar menghakimi, tetapi sepertinya data memang menunjukkan hal seperti itu, meski angka pasti belum didapat. Hal ini kemudian memunculkan ekspektasi tertentu, dan hal ini mempengaruhi dinamika hubungan modern.
Banyak pria merasa mereka harus mencapai titik kemapanan tertentu sebelum dianggap layak untuk menikah, menciptakan tekanan yang tidak selalu realistis.
Mengapa Standar Ganda Ini Tidak Adil?
Standar ini membebani kedua pihak. Wanita independen dianggap terlalu ambisius, sementara pria yang belum mapan dianggap belum memenuhi ekspektasi maskulinitas.
Padahal, hubungan ideal seharusnya berakar pada kerja sama, saling dukung, dan saling menghargai, bukan sekadar peran tradisional.
Standar ini lahir dari norma lama yang belum sepenuhnya beradaptasi dengan realitas modern. Sudah saatnya masyarakat lebih menghargai individu berdasarkan nilai, karakter, dan kontribusi mereka, tanpa membatasi mereka dengan ekspektasi gender.
(Nurul Lutfia Maryadi)
Terkini
- Kamu Terlalu Mandiri: Ketika Kemandirian Perempuan Masih Dianggap Ancaman
- Support System Seumur Hidup: Bagaimana Kakak Adik Perempuan Saling Menguatkan?
- Women News Network: Menguatkan Suara Perempuan dari Aceh hingga NTT
- Saatnya Berbagi Tugas di Dapur, Karena Memasak Bukan Hanya Tanggung Jawab Perempuan
- Lajang dan Bahagia: Cara Perempuan Menikmati Hidup Tanpa Tekanan Sosial
- Plan Indonesia dan SalingJaga Gelar Soccer for Equality, Dukung Kesetaraan Pendidikan Anak Perempuan NTT
- Paternity Leave Bukan Sekadar Cuti, Tapi Wujud Budaya Kerja yang Inklusif
- Koper Ringan, Gaya Baru Menjelajah Dunia Tanpa Beban
- Body Positivity vs Body Neutrality: Mana Jalan Terbaik Menerima Tubuh Apa Adanya?
- Wujud Kesetaraan di Dunia Transportasi, Kartini Masa Kini di Balik Kemudi