Kamis, 13 Februari 2025
Rima Sekarani Imamun Nissa : Selasa, 29 Oktober 2024 | 14:35 WIB

Aktifkan Notifikasimu

Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.

Dewiku.com - Ada begitu banyak kebijakan diskriminatif yang merugikan perempuan. Berdasarkan temuan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan terhadap kebijakan daerah sepanjang 2009-2024, terdapat 450 kebijakan diskriminatif yang 56 persen di antaranya menyasar pada perempuan.

Hingga kini, terdapat 292 kebijakan yang masih berlaku, sementara 158 kebijakan lainnya sudah tidak berlaku. Terkait hal tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) berkomitmen menuntaskan tantangan terkait diskriminasi gender dalam peraturan dan kebijakan di daerah.

Sejak 2022, Kemen PPPA bekerja sama dengan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) serta Kementerian Hukum dan HAM, melakukan analisis terhadap peraturan ataupun kebijakan yang dinilai diskriminatif dan dilakukan penyusunan rekomendasi tindak lanjutnya.

Salah satu langkah yang dilakukan adalah memperkuat kapasitas sumber daya manusia yang menyusun peraturan perundangan agar memahami parameter kesetaraan gender. Kemen PPPA menggandeng Kementerian Hukum dan HAM yang memiliki tugas dan fungsi untuk menyelenggarakan pelatihan masif kepada para penyusun kebijakan.

"Melalui Kementerian Dalam Negeri, kami juga memberikan rekomendasi terkait rancangan peraturan daerah yang diusulkan oleh pemerintah provinsi," imbuh Rini. 

Komisioner Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor mengungkapkan lima kategori kebijakan diskriminatif. Pertama, kriminalisasi terhadap perempuan yang mengatur mengenai ketertiban umum, pornografi, dan lain-lain. 

Ada pula kebijakan diskriminatif terkait pengaturan kontrol tubuh  perihal pembatasan/pemaksaan busana atas ajaran salah satu agama, pengaturan pembatasan agama yang khususnya ditujukan kepada kelompok minoritas, dan pengaturan kehidupan beragama berupa pemaksaan melakukan aktivitas ibadah berdasarkan ajaran pemahaman tertentu. Terakhir, pengaturan tenaga kerja, misalnya buruh migran yang harus minta izin kepada suami dan ketiadaan perlindungan.

"Menurut saya, salah satu upaya paling krusial yang bisa mengubah peraturan daerah diskriminatif ini adalah mengenali cara diskriminasi bekerja. Tanpa hal ini, peraturan daerah diganti, direvisi, atau dicabut, tetapi cara pandangnya belum tuntas, terutama terkait ideologi," kata Maria Ulfah Anshor.

Menurut Maria, ideologi seringkali menjadi landasan yang melahirkan peraturan daerah diskriminatif. 

"Dari ideologi, lahir sebuah aksi yang secara langsung maupun tidak langsung melakukan pembatasan atau pengabaian hak-hak warga negara. Lalu dari aksi tersebut, ada itikad, baik yang memiliki niat/tujuan aksi ataupun tidak. Akibatnya, ada kebijakan diskriminatif," katanya menjelaskan.

Analis Kebijakan Ahli Muda Kementerian Hukum dan HAM, Roni Pratomo Yudistian, mengatakan pihaknya juga melakukan analisis produk hukum daerah dari sisi hak asasi manusia. Mereka menggunakan pisau analisis terhadap produk hukum daerah yang diduga diskriminatif yang tercantum dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 16 Tahun 2024. 

"Peraturan ini menjadi rambu-rambu bagi perancang peraturan perundangan, baik di pusat maupun daerah. Kami juga memperhatikan hak kelompok rentan, termasuk perempuan. Kami memperhatikan prinsip persamaan substantif dan nondiskriminasi," ujar Roni.

Roni juga menyebut Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2021-2025 yang menitikberatkan pada empat kelompok sasaran, salah satunya perempuan. 

"Namun, pemahaman antara pusat dan daerah mungkin berbeda. Oleh karena itu, langkah ke depan akan dilakukan bimbingan teknis untuk perancang dan analis hukum agar penyusunan dan analisis draft produk hukum daerah lebih berperspektif hak asasi manusia," terangnya.

Kepala Sub Direktorat Wilayah I Direktorat Produk Hukum Daerah, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Slamet Endarto menyatakan siap menindaklanjuti hasil analisis kebijakan diskriminatif yang telah disampaikan oleh Kemen PPPA, Kementerian Hukum dan HAM, dan Komnas Perempuan. 

"Kami melakukan fasilitasi peraturan daerah atau peraturan kepala daerah di 38 provinsi melalui e-perda. Dalam hal memfasilitasi, kami memantau yang dilakukan oleh provinsi terkait perencanaan, pembahasaan, dan implementasi di masyarakat," kata Slamet.

BACA SELANJUTNYA

Jajaran Pimpinan Komisi VIII DPR Bidang Perempuan yang Tanpa Wajah Perempuan