Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - Kekerasan terhadap perempuan adalah masalah global yang telah berlangsung selama berabad-abad. Ini adalah pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan memiliki dampak yang sangat merusak bagi korban, keluarga mereka, dan masyarakat secara keseluruhan.
Tak hanya melanggar hak dasar manusia untuk hidup bebas dari rasa takut, kekerasan terhadap perempuan, jika selalu diabaikan, seringkali terjadi secara berulang dan dapat diturunkan dari generasi ke generasi. Anak-anak yang menyaksikan atau mengalami kekerasan cenderung mengulangi pola yang sama dalam hubungan mereka di masa depan.
Fakta yang menyesakkan dada dapat dilihat dari hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024, yang menemukan bahwa 1 dari 4 perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dari pasangan dan atau selain pasangan selama hidup. Data ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan masih menjadi persoalan serius.
Dwi Faiz, Officer in Charge for Country Representative UN Women Indonesia, mengatakan bahwa meskipun angka kekerasan terhadap perempuan menunjukkan penurunan dalam beberapa tahun terakhir, hal ini tidak berarti masalah tersebut telah teratasi.
Baca Juga
-
Perjalanan Panjang Batik Akasia, UMKM Inspiratif yang Konsisten Lestarikan Budaya
-
Setop Diskriminasi! Saatnya Perempuan Disabilitas Berpartisipasi Lebih Aktif dalam Pembangunan Inklusif
-
KDRT di NTT, Ketidakberdayaan Perempuan Masih Menjadi Masalah Besar
-
Perempuan Korban Kekerasan Tidak Bercerita, Victim Blaming Biang Keladinya
-
Rawan Jadi Korban Kekerasan, Perempuan Pembela HAM Butuh Perlindungan Negara
-
UN Women Indonesia Luncurkan Chatbot AI untuk Perempuan
“Secara tren, prevalensi kekerasan terhadap perempuan memang menurun dari tahun ke tahun. Namun, ini bukan soal angka. Satu saja perempuan yang menjadi korban, itu masalah,” tegasnya saat ditemui di M Bloc, Jakarta, dalam acara “UNiTE 2024: Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan”, Rabu (4/12).
Dalam upaya menangani kekerasan terhadap perempuan, Dwi menekankan pentingnya menghapus impunitas sebagai salah satu langkah mendasar. Ia menjelaskan bahwa meskipun ada banyak faktor risiko yang membuat perempuan rentan menjadi korban, akar permasalahan utamanya terletak pada penerimaan sosial yang menganggap kekerasan terhadap perempuan dapat ditolerir.
Dwi juga menggarisbawahi bahwa pembenaran atas normalisasi kekerasan menjadi langkah awal yang perlu dihentikan. Selain itu, ketidakadilan yang melahirkan pembiaran terhadap kekerasan, sering kali disebabkan oleh pandangan bahwa perempuan layak menjadi korban, semakin memperburuk situasi. Hal inilah yang menurutnya harus segera diatasi.
“Sudah waktunya isu kekerasan terhadap perempuan disuarakan lebih keras, agar tidak menjadi isu yang terlupakan dan terpinggirkan,” ucap Dwi.
UNiTE tahun ini menyoroti pentingnya pendekatan kolaboratif untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. Melalui sinergi antara advokasi, edukasi, dan layanan langsung kepada masyarakat, kegiatan ini bertujuan memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang isu Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP), mendorong perubahan sosial, dan memastikan dukungan yang komprehensif bagi para penyintas.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Arifah Fauzi, menyampaikan bahwa perlindungan perempuan dan anak merupakan isu kompleks yang membutuhkan kerja sama lintas sektor. Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak dapat bekerja sendiri, sehingga diperlukan sinergi dengan berbagai pihak.
“Kolaborasi ini penting untuk memastikan bahwa upaya yang kita lakukan, mulai dari pencegahan hingga pemulihan korban, dapat berjalan secara efektif dan berkelanjutan,” kata Arifah Fauzi dalam acara UNiTE 2024.
Selama lima hari acara UNiTE 2024, pengunjung diajak mendalami realitas kekerasan terhadap perempuan di Indonesia melalui diskusi, eksplorasi Labirin Layanan Kekerasan terhadap Perempuan, dan pameran #NoExcuse yang menampilkan pakaian milik penyintas dan korban.
Menurut data Survei Pelecehan di Ruang Publik 2019 dari Koalisi Ruang Publik Aman, yang ditampilkan dalam instalasi #NoExcuse, lima jenis pakaian yang paling sering dikenakan oleh korban saat mengalami pelecehan meliputi rok dan celana panjang (18 persen), hijab (17 persen), baju lengan panjang (16 persen), seragam sekolah (14 persen), dan baju longgar (14 persen).
Pameran ini juga menghadirkan kisah-kisah penyintas dan korban kekerasan, mulai dari anak-anak yang dilecehkan oleh orang terdekat hingga perempuan dewasa yang mengalami kekerasan di ruang publik.
Selain itu, pengunjung dapat mengikuti talkshow dan workshop yang melibatkan berbagai organisasi perempuan dan komunitas anak muda, serta mengakses layanan konsultasi yang difasilitasi oleh organisasi di bawah Forum Penyedia Layanan (FPL). Bagi mereka yang membutuhkan, Yayasan Pulih menyediakan ruang tenang serta layanan pertolongan psikologis.
(Humairah Ratu Nugraha)
Terkini
- Stop Self-Talk Negatif! Ini Cara Membangun Self-Respect di Era Digital
- Merasa Kecil di Dunia yang Besar: Menggali Akar Inferiority Complex
- Resah Driver Ojol Perempuan: Ada Ketidakadilan Mengintai di Setiap Kilometer
- Fake It Till You Make It: Boleh Dicoba, Asal Jangan Kebablasan, Girls!
- Fatphobia Bukan Sekadar Masalah Berat Badan, Tapi Diskriminasi!
- Self Care Bukan Egois, Tapi Hak Setiap Perempuan untuk Sejahtera
- Pap Smear: Deteksi Dini Kanker Serviks, Selamatkan Nyawa Perempuan
- Mengenal Sunday Scaries, Rasa Cemas yang Timbul di Hari Minggu
- Alasan Mengapa Maret jadi Bulan Perempuan
- Tren Kabur Aja Dulu: Antara Impian dan Realita, Sejauh Mana Keseriusannya?