
Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - Dalam dunia yang serba cepat saat ini, budaya kerja keras atau hustle culture telah lama dijadikan standar kesuksesan.
Namun, semakin banyak orang yang mulai meninggalkan pola hidup tersebut dan beralih pada konsep soft life atau hidup santai.
Apa Itu Soft Life?
Baca Juga
-
Setop Overprotektif, Anak Juga Perlu Belajar dari Kegagalan untuk Tumbuh Mandiri
-
Setiap Pilihan Hidup Layak Dihormati, Termasuk saat Memilih Childfree
-
Cemas Terus Soal Penampilan? Mungkin Kamu Mengalami BDD Seperti Jutaan Orang Lainnya
-
Stereotip Perempuan dalam Film Wicked: Cantik Itu Baik, Buruk Rupa Itu Jahat?
Soft life adalah gaya hidup yang mengutamakan kenyamanan, relaksasi, dan kesejahteraan mental di atas tekanan dan ambisi berlebihan.
Berbeda dengan hustle culture yang mengagungkan produktivitas tanpa henti, soft life lebih berfokus pada keseimbangan hidup, kebahagiaan, dan perawatan diri.
Soft life juga dikenal sebagai soft living, di mana keseimbangan dan kenyamanan menjadi prioritas utama.
Menurut artikel yang ditulis oleh Mark Travers, Ph.D., di Forbes (2024), soft life adalah tentang “menciptakan ruang untuk pengalaman bermakna dan menghargai kualitas di atas kuantitas dalam setiap aspek kehidupan.”
Tren ini mencerminkan kesadaran yang semakin meningkat akan dampak negatif hustle culture terhadap kesehatan mental dan fisik.
Mengapa Soft Life Semakin Populer?
Soft life yang kini semakin populer tentu terjadi karena beberapa faktor, antara lain:
1. Kesadaran Akan Burnout
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara resmi mengakui burnout sebagai fenomena di tempat kerja pada tahun 2019.
Hal ini memicu diskusi global tentang dampaknya yang meluas. Travers menjelaskan bahwa “banyak orang mulai menyadari bahwa harga yang harus dibayar untuk hustle culture tidak sebanding dengan hasilnya.
2. Refleksi Pasca Pandemi
Pandemi COVID-19 memaksa banyak orang untuk melambat, tetap di rumah, dan mengevaluasi kembali prioritas hidup mereka. Waktu jeda kolektif ini menunjukkan nilai dari hidup yang lebih sederhana dan penuh makna
3. Pengaruh Media Sosial
Tren ini juga didorong oleh media sosial, di mana banyak influencer berbagi gaya hidup santai yang terkesan ideal.
Konten tentang perjalanan liburan, rutinitas perawatan diri, dan hidup yang bebas tekanan menarik perhatian generasi muda.
Bagaimana Menerapkan Soft Life?
Jika ingin mengadopsi gaya hidup soft life, ada beberapa langkah yang bisa dicoba:
- Kurangi Beban Kerja Berlebih: Belajar untuk mengatakan "tidak" pada komitmen yang tidak perlu.
- Prioritaskan Perawatan Diri: Sisihkan waktu untuk aktivitas yang menyenangkan dan menenangkan.
- Ciptakan Ruang Hidup yang Nyaman: Desain tempat tinggal Anda agar mencerminkan ketenangan dan kenyamanan.
Tantangan dan Kritik terhadap Soft Life
Tidak semua orang mendukung tren ini. Ada anggapan bahwa soft life identik dengan kemalasan atau kurangnya ambisi. Selain itu, gaya hidup ini juga sering dikaitkan dengan privilese, karena tidak semua orang memiliki sumber daya untuk menjalani hidup yang santai. Namun, seiring dengan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental dan keseimbangan hidup, gaya hidup ini tampaknya akan terus menjadi alternatif menarik bagi mereka yang lelah dengan tuntutan hustle culture. (Dewiku.com/Nurul Lutfia)
Terkini
- Saatnya Berbagi Tugas di Dapur, Karena Memasak Bukan Hanya Tanggung Jawab Perempuan
- Lajang dan Bahagia: Cara Perempuan Menikmati Hidup Tanpa Tekanan Sosial
- Plan Indonesia dan SalingJaga Gelar Soccer for Equality, Dukung Kesetaraan Pendidikan Anak Perempuan NTT
- Paternity Leave Bukan Sekadar Cuti, Tapi Wujud Budaya Kerja yang Inklusif
- Koper Ringan, Gaya Baru Menjelajah Dunia Tanpa Beban
- Body Positivity vs Body Neutrality: Mana Jalan Terbaik Menerima Tubuh Apa Adanya?
- Wujud Kesetaraan di Dunia Transportasi, Kartini Masa Kini di Balik Kemudi
- Musikal untuk Perempuan: Merayakan Persahabatan Lewat Lagu Kunto Aji dan Nadin Amizah
- Melangkah Sendiri, Merdeka Sepenuhnya: Kenapa Perempuan Pilih Solo Traveling?
- Koneksi Bukan Kompetisi: The Real Power of Women Supporting Women