
Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - Pemerintah Indonesia tengah merancang regulasi untuk membatasi usia anak-anak dalam menggunakan media sosial, dengan dalih upaya melakukan perlindungan bagi masa depan generasi muda.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama berbagai pemangku kepentingan, termasuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kini membahas aturan tersebut secara mendalam.
Psikolog Klinis Anak dan Remaja dari Universitas Indonesia, Vera Itabiliana Hadiwidjojo, menegaskan pentingnya batas usia minimal anak untuk bermain media sosial.
Baca Juga
-
Realita Sekolah Swasta, Selalu Lebih Baik dari Sekolah Negeri?
-
Mengenal 'Revenge Quitting', Tren yang Diprediksi Meningkat di Tahun 2025
-
Dari Rumah Tangga Hingga Karier, Ada Beban "Blame the Women Syndrome" yang Mencekik Perempuan
-
Bareng 100 Momfluncers, Komunitas Ibu2Canggih Rayakan Hari Ibu dengan Meriah
-
Berhenti jadi People Pleaser, Begini Cara Prioritasin Dirimu Sendiri!
-
Jam Koma, Virus Produktivitas yang Diam-diam Mengintai
Vera setuju dengan pendekatan yang lebih ketat, seperti di Australia yang menetapkan usia minimal 16 tahun untuk anak-anak bisa mengakses media sosial.
"Di usia 16 tahun, anak-anak sudah lebih matang dalam menghadapi dampak negatif dari dunia maya," kata Vera, dilansir Dewiku dari Suara.com, Kamis (16/1/2025).
Risiko Media Sosial untuk Anak
Vera menjelaskan, media sosial memang sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari anak-anak di era digital. Namun, memperbolehkan anak di bawah usia 13 tahun bermain media sosial bisa berdampak buruk pada perkembangan psikologis mereka.
Dampak negatifnya bisa berupa perilaku kasar, keterpaparan konten yang tidak sesuai usia, hingga risiko depresi dan kecemasan. Bahkan, beberapa platform menyimpan konten berbahaya seperti tutorial bunuh diri, yang tentu saja sangat mengkhawatirkan.
"Anak yang belum matang untuk membedakan mana yang baik dan buruk di dunia maya lebih rentan terkena tekanan sosial, komentar negatif, dan konten yang tidak sesuai usia mereka," jelasnya.
Selain membatasi usia, Vera menekankan pentingnya peran orangtua dalam mendampingi anak saat bermain media sosial. Banyak platform sebenarnya sudah menyediakan pengaturan usia yang bisa membatasi jenis konten yang diakses oleh pengguna muda.
"Pendampingan orangtua jadi kunci utama supaya anak tetap aman dan hanya mengakses konten yang sesuai usianya," pungkas Vera.
Pandangan Orangtua
Ida Farida, seorang ibu yang memiliki anak di bawah umur, berbagi pandangannya tentang pembatasan usia penggunaan media sosial.
Menurutnya, pembatasan usia pada media sosial adalah aturan yang wajar, sesuai dengan kebijakan sebagian besar platform. Namun, Ida menekankan bahwa angka usia saja tidak cukup.
"Yang lebih penting dari sekadar angka, saya memastikan anak-anak saya sudah memiliki kematangan emosional dan pemahaman yang cukup tentang dunia digital sebelum memberi mereka akses," katanya kepada Dewiku.
Ida percaya bahwa diskusi terbuka dengan anak soal media sosial adalah kunci utama.
"Saya selalu mengajak mereka (anak) diskusi tentang apa yang mereka lihat dan alami di online. Dengan begitu, mereka merasa didengar dan tidak takut untuk berbicara ketika menghadapi sesuatu yang tidak nyaman," jelasnya.
Ida juga menyadari berbagai risiko yang mengintai anak-anak jika terlalu dini terpapar media sosial. Baginya, risiko terbesar adalah dampaknya terhadap kesehatan mental.
"Media sosial bisa membuat anak-anak terlalu fokus pada citra diri, mudah membandingkan hidup mereka dengan orang lain, dan rentan terhadap cyberbullying," ungkapnya.
Tidak hanya itu, Ida juga mengkhawatirkan potensi anak-anak terpapar konten tidak pantas atau bertemu dengan orang asing yang berniat buruk.
Penulis: Nurul Lutfia Maryadi
Terkini
- Support System Seumur Hidup: Bagaimana Kakak Adik Perempuan Saling Menguatkan?
- Women News Network: Menguatkan Suara Perempuan dari Aceh hingga NTT
- Saatnya Berbagi Tugas di Dapur, Karena Memasak Bukan Hanya Tanggung Jawab Perempuan
- Lajang dan Bahagia: Cara Perempuan Menikmati Hidup Tanpa Tekanan Sosial
- Plan Indonesia dan SalingJaga Gelar Soccer for Equality, Dukung Kesetaraan Pendidikan Anak Perempuan NTT
- Paternity Leave Bukan Sekadar Cuti, Tapi Wujud Budaya Kerja yang Inklusif
- Koper Ringan, Gaya Baru Menjelajah Dunia Tanpa Beban
- Body Positivity vs Body Neutrality: Mana Jalan Terbaik Menerima Tubuh Apa Adanya?
- Wujud Kesetaraan di Dunia Transportasi, Kartini Masa Kini di Balik Kemudi
- Musikal untuk Perempuan: Merayakan Persahabatan Lewat Lagu Kunto Aji dan Nadin Amizah