Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita mendengar ungkapan-ungkapan yang secara tidak langsung menyalahkan perempuan atas berbagai persoalan.
Mulai dari gaya hidup hingga urusan rumah tangga, perempuan kerap menjadi pihak yang disorot dan disalahkan, meski tak ada kaitannya dengan akar masalah yang sesungguhnya.
Contoh yang paling sering terjadi adalah ketika seorang suami berselingkuh.
Baca Juga
-
Bareng 100 Momfluncers, Komunitas Ibu2Canggih Rayakan Hari Ibu dengan Meriah
-
Berhenti jadi People Pleaser, Begini Cara Prioritasin Dirimu Sendiri!
-
Bagaimana Cara Menghadapi Mama Mertua Narsistik?
-
Mengenal Gamophobia: Ketika Pernikahan Menjadi Mimpi Buruk
-
Soal Porsi Nasi Berlebih di Program Makan Bergizi Gratis
-
Mati Rasa atau Meledak-Ledak: Bagaimana Cara Kamu Mengelola Stres?
Alih-alih menyalahkan suami, perempuan sering kali dianggap bertanggung jawab atas kejadian tersebut.
Tuduhan seperti "tidak mampu melayani" atau "kurang perhatian" kerap diarahkan kepada istri, seolah-olah perilaku suami disebabkan oleh kekurangan sang istri.
Padahal, tanggung jawab sepenuhnya ada pada suami yang bertindak demikian.
Norma Gender dan Stereotip: Beban Tak Berujung
Fenomena menyalahkan perempuan ini tak luput dari akar budaya patriarki yang masih mengakar dalam banyak masyarakat. Sistem yang menempatkan laki-laki sebagai pusat kekuasaan dan menganggap perempuan sebagai pihak yang lebih rendah.
“Dalam sistem patriarki, perempuan sering dianggap sebagai pihak yang harus mengabdi, menuruti kehendak pria, dan menjalankan peran domestik dengan sempurna. Ketika harapan ini tidak terpenuhi, mereka cepat dijadikan kambing hitam,” ucap psikolog Julie Radico, dilansir dari Psychology Today.
Selain itu, norma-norma gender yang membatasi peran perempuan semakin memperburuk keadaan.
Misalnya, perempuan diharapkan selalu lemah lembut, emosional, dan penuh pengabdian. Ketika perempuan tidak dapat memenuhi harapan-harapan itu merka dijadikan sasaran tuduhan.
Julie juga menambahkan bahwa perempuan yang bekerja di luar rumah sering kali dianggap kurang mampu mengurus rumah tangga atau keluarga, meskipun sebenarnya beban pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak seharusnya dibagi secara adil antara pasangan.
“Mereka sering dianggap tidak rasional atau kurang mampu membuat keputusan penting. Akibatnya, setiap kegagalan atau masalah yang muncul di sekitarnya, baik dalam ranah pribadi maupun publik, seolah menjadi tanggung jawabnya,” ujarnya.
Menurut Julie, kegagalan dalam hubungan, pekerjaan, atau kehidupan sosial sering kali dikaitkan dengan kekurangan dalam diri perempuan, baik itu dalam sikap, cara berpikir, atau kemampuan mereka dalam mengelola situasi.
Norma-norma ini menciptakan beban psikologis tambahan bagi perempuan yang sebenarnya tidak adil.
Sindrom menyalahkan perempuan memiliki dampak yang cukup serius terhadap individu perempuan maupun masyarakat secara keseluruhan.
Salah satu dampaknya adalah terbatasnya ruang bagi perempuan untuk berkembang dan berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan. Ketika perempuan selalu dianggap sebagai sumber masalah, mereka akan merasa terhambat untuk berkontribusi secara maksimal.
Selain itu, sindrom ini juga dapat mengakibatkan ketidaksetaraan gender yang lebih luas. Di tempat kerja, misalnya, perempuan sering kali mendapat perlakuan yang tidak adil, baik dalam hal gaji maupun kesempatan untuk mendapatkan promosi.
Dari sisi hubungan interpersonal, sindrom menyalahkan perempuan dapat memperburuk kekerasan terhadap perempuan dan merugikan keharmonisan rumah tangga.
Penting untuk membangun kesadaran kolektif tentang kesetaraan gender. Masyarakat harus berusaha mengubah cara pandang terhadap perempuan, agar tidak lagi menjadikan mereka sebagai pihak yang selalu disalahkan atas segala masalah.
Pemberdayaan perempuan, pendidikan tentang kesetaraan gender, dan pengakuan atas peran perempuan yang tidak terbatas pada stereotip tradisional dapat membantu mengurangi fenomena blame the women syndrome.
Jika perempuan diberi ruang untuk berkembang tanpa beban harapan yang tidak realistis dan tanpa stigma yang merugikan, maka mereka akan lebih mampu mencapai potensi penuh mereka tanpa rasa takut untuk disalahkan.
Penulis: Humaira Ratu Nugraha
Terkini
- Ladang Mimpi yang Berubah Jadi Neraka: Tragedi 100 Wanita Thailand di ' Peternakan Telur Manusia' Georgia
- Mengenal Roehana Koeddoes: Jurnalis Perempuan Pertama di Indonesia
- Stigma atau Realita: Perempuan Enggan Bersama Laki-laki yang Tengah Berproses?
- Komunitas Rumah Langit: Membuka Ruang Belajar dan Harapan bagi Anak-anak Marginal
- Subsidi BPJS Kesehatan Terancam, Siapa yang Paling Terdampak?
- Komnas Perempuan Soroti Perlindungan Jurnalis Perempuan dari Kekerasan Berbasis Gender
- Damkar Dipanggil, Polisi Ditinggal: Mengapa Publik Lebih Percaya Damkar?
- Tantangan dan Realitas Jurnalis Perempuan di Indonesia: Menyingkap Kesenjangan di Ruang Redaksi
- Memahami dan Merawat Inner Child: Kunci untuk Menyembuhkan Luka yang Tak Terlihat
- Working Holiday Visa Australia: Tiket Emas untuk Kerja dan Hidup di Luar Negeri