Rabu, 12 Maret 2025
Risna Halidi : Sabtu, 04 Januari 2025 | 11:30 WIB

Aktifkan Notifikasimu

Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.

Dewiku.com - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyampaikan kekhawatiran mendalam terkait rencana pemerintah membuka 20 juta hektar hutan untuk proyek pangan dan energi.

Proyek ini dianggap sebagai langkah legalisasi deforestasi, yang berpotensi membawa dampak ekologis dan sosial tak terbayangkan.

Menurut WALHI, masyarakat sekitar kawasan hutan akan terdampak langsung, dengan kemungkinan terusir dari tempat tinggal mereka, sementara masyarakat pesisir menghadapi risiko menjadi pengungsi iklim akibat naiknya permukaan laut.

Kerusakan Lingkungan dan Krisis Sosial

Selain ancaman ekologi, WALHI menyoroti dampak lain berupa hilangnya biodiversitas, konflik agraria, serta kekerasan yang dapat terjadi akibat pendekatan keamanan untuk melancarkan proyek ini.

Apalagi, jika hutan yang dibuka adalah lahan gambut, risiko kebakaran hutan akan meningkat signifikan.

“Kementerian Kehutanan itu seharusnya menjadi wali bagi hutan-hutan kita. Tapi saat ini justru mereka yang merencanakan pembongkaran hutan demi proyek pangan dan energi,” kata Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, yang ditulis dalam bentuk Rilis Media pada (2/1/2025).

Hingga saat ini, data menunjukkan bahwa 33 juta hektar hutan sudah dibebani izin sektor kehutanan, 4,5 juta hektar konsesi tambang berada atau berbatasan langsung dengan hutan, dan 7,3 juta hektar hutan telah dilepaskan, sebagian besar untuk perkebunan sawit.

“Alih-alih menegakkan hukum, pemerintah justru tunduk pada kepentingan korporasi dengan melegalkan penghancuran hutan,” tambah Uli lagi.

Narasi Palsu Swasembada

WALHI juga mengkritisi narasi swasembada pangan dan energi yang digaungkan pemerintah. Menurut Uli, hal ini hanya menjadi kedok untuk menyerahkan lahan secara besar-besaran kepada korporasi.

Ilustrasi Hutan (Pexels/Nejc Košir)

“Selama pangan dan energi berada dalam kerangka bisnis, tidak akan ada keadilan bagi rakyat dan lingkungan,” tegasnya.

Pihak WALHI menegaskan bahwa solusi untuk krisis ini adalah menjadikan rakyat sebagai aktor utama dalam produksi dan konsumsi pangan serta energi.

Pemerintah perlu mengakui dan melindungi hak rakyat atas wilayahnya, serta memastikan pengelolaan sumber daya sesuai karakteristik lokal.

Sebagai organisasi lingkungan, WALHI juga menyerukan pemerintah untuk menghentikan proyek ini dan berfokus pada pemenuhan hak rakyat secara berkelanjutan.

Dengan cara ini, keadilan sosial dan ekologi bisa tercapai tanpa mengorbankan masa depan generasi mendatang.

Penulis: Nurul Lutfhia Maryadi

BACA SELANJUTNYA

Saat Isu Lingkungan Terabaikan di Era Digital