Rabu, 12 Maret 2025
Risna Halidi : Jum'at, 03 Januari 2025 | 19:36 WIB

Aktifkan Notifikasimu

Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.

Dewiku.com - "Aku tuh nggak kayak cewek-cewek lainnya."

Kalimat ini mungkin terdengar sepele, tapi di jagat media sosial, frasa ini dianggap sebagai simbol persaingan yang tak sehat sesama perempuan

Keinginan ini sering kali membuat mereka, tanpa disadari, rela melakukan berbagai cara untuk mempertahankan posisi tersebut. 

Istilah ini menjadi populer di platform seperti TikTok, Instagram, dan Twitter, dengan berbagai konten yang menampilkan parodi atau sindiran terhadap perilaku Pick Me Girl

Misalnya, perempuan yang mengklaim bahwa mereka tidak suka berdandan karena “terlalu natural” atau lebih memilih berteman dengan laki-laki karena perempuan lain “terlalu drama.”

Namun, di balik konten humor tersebut, fenomena ini memunculkan dampak serius. Banyak yang mengkritik bahwa label Pick Me Girl sering kali disematkan secara berlebihan, hingga berisiko mempermalukan perempuan yang sebenarnya hanya mengekspresikan kepribadian mereka.

Mengapa Fenomena Ini Bermasalah?

Fenomena Pick Me Girl memperkuat stereotip bahwa perempuan harus bersaing satu sama lain demi perhatian laki-laki, alih-alih saling mendukung. Ini mencerminkan tekanan sosial yang membuat perempuan merasa perlu membedakan diri dari yang lain agar dianggap istimewa.

Ilustrasi perempuan yang dicap 'Pikmi' (Freepik/wayhomestudio)

Selain itu, tren ini juga memperkuat gagasan misogini, yang mana perempuan secara tidak langsung merendahkan sesamanya untuk menyesuaikan diri dengan standar patriarki. 

Menurut Amy Rosenbluth, aktvis perempuan lulusan Ilmu Politik dan Pembangunan Internasional dari McGill University, fenomena Pick Me Girl ini dapat muncul karena adanya "misogini yang terinternalisasi dan keinginan untuk menjauhkan diri dari stereotip perempuan tradisional yang sering kali dianggap negatif."

Internalisasi misogini sendiri, pada dasarnya, mengacu pada bagaimana perempuan juga dapat menyerap pandangan seksis dan menunjukkan perilaku yang merendahkan sesama perempuan.

"Sebagian besar dari kita mungkin pernah menunjukkan perilaku ini setidaknya sekali dalam hidup, terutama karena dorongan untuk terlihat unik dan berbeda dari orang lain," ungkapnya dilansir Dewiku dari laman The McGill International Review, ditulis Jumat (3/1/2025).

Hal ini dapat dilihat melalui trend yang membahas hal-hal yang identik dengan perempuan, seperti make-up atau fashion, sebagai sesuatu yang kurang bernilai dibandingkan hobi atau aktivitas yang lebih maskulin.

Dampak pada Media Sosial dan Kehidupan Nyata

Meski dimulai dari parodi, tren ini berdampak nyata pada cara perempuan melihat diri mereka sendiri dan satu sama lain. Alih-alih mengatasi tekanan sosial, fenomena ini justru memperkuat narasi bahwa nilai seorang perempuan dapat diukur dari bagaimana mereka dipandang oleh laki-laki. 

Tak hanya itu, tren ini juga menunjukkan betapa media sosial memiliki peran besar dalam membentuk opini publik, baik secara positif maupun negatif. Fenomena ini bukan sekadar tren viral, melainkan refleksi dari tantangan sosial yang dihadapi perempuan dalam memenuhi ekspektasi masyarakat. 

Oleh karena itu penting untuk menciptakan ruang yang lebih inklusif dan mendukung, di mana perempuan tidak merasa perlu bersaing atau membandingkan diri satu sama lain. Karena sejatinya nilai seseorang tidak ditentukan oleh validasi orang lain, melainkan oleh rasa percaya diri dan penghargaan terhadap diri sendiri.

Penulis: Humaira Ratu Nugraha

BACA SELANJUTNYA

Ibu Tunggal, Pahlawan dalam Diam