Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - Gerakan #MeToo yang meledak di media sosial beberapa tahun lalu, telah menjadi salah satu fenomena sosial paling signifikan di era digital. Kampanye ini berhasil membuka tabir tentang prevalensi pelecehan dan kekerasan seksual yang selama ini seringkali tersembunyi di balik keheningan. Melalui kekuatan media sosial, perempuan dari berbagai belahan dunia bersatu, saling mendukung, dan menuntut keadilan.
Gerakan ini tak hanya sebagai tren sementara, melainkan sebuah fenomena global yang mengubah cara pandang masyarakat terhadap isu pelecehan seksual.
Pertama kali diprakarsai oleh seorang perempuan Amerika berkulit hitam bernama Tarana Burke pada tahun 2007, gerakan ini meluas pada 2017 sebagai tanggapan atas dugaan penyerangan dan pelecehan oleh produser Hollywood bernama Harvey Weinstein.
Gerakan tersebut berkembang menjadi gerakan global dan banyak perempuan di seluruh dunia turut serta menggunakan media sosialnya untuk meningkatkan kesadaran akan kekerasan seksual.
Baca Juga
-
Jakarta Hadirkan Mobil SAPA, Layanan Konseling Keliling Khusus Perempuan dan Anak
-
Retail Therapy: Obat Mujarab untuk Hati yang Sedih atau Jebakan Konsumtif?
-
Awas Terjebak Logical Fallacy: Bikin Kita Melakukan Kesalahan dalam Berpikir
-
Mengenal Skin Elixir, Skincare dengan Manfaat yang Melebihi Serum untuk Atasi Beragam Permasalahan Kulit
-
Standar Kecantikan Tak Realistis di Media Sosial, Bikin Kesehatan Mental Perempuan Terancam?
-
Realita Sekolah Swasta, Selalu Lebih Baik dari Sekolah Negeri?
Laura Lima, aktivis feminis dari Ladies of Liberty Alliance menyebutkan bahwa gerakan #MeToo membantu banyak perempuan dari berbagai latar belakang untuk berani angkat suara tentang pelecehan dan penindasan yang mereka alami.
“Gerakan ini memberikan dukungan serta menciptakan ruang aman bagi para penyintas untuk bisa melanjutkan hidup tanpa rasa takut,” ungkapnya saat di wawancarai Dewiku, Minggu (19/1).
Di Indonesia sendiri, #MeToo mulai populer sekitar tahun 2018, ketika banyak korban pelecehan seksual mulai membagikan cerita mereka.
“Masyarakat sudah mulai aware ya degan gerakan aktivisme feminis, salah satu pemicunya mungkin dari aksi ini. Aku ingat pernah membagikan hastag #meetoo di sosial media,” ujar Saskia, aktivis perempuan, Student for Liberty Indonesia.
Menurutnya kesuksesan gerakan ini membuka ruang bagi banyak perempuan untuk berbagi pengalaman dan menyuarakan isu-isu penting, seperti pelecehan seksual dan ketidaksetaraan gender.
Gerakan ini tak hanya menjadi titik tolak bagi banyak suara perempuan yang sebelumnya tidak terdengar, tetapi juga mendorong terjadinya perubahan dalam cara pandang serta perlindungan terhadap hak-hak perempuan di masyarakat.
Dampak Gerakan #MeToo
Salah satu pencapaian besar gerakan #MeToo dalam mengatasi kekerasan seksual di tempat kerja adalah perubahan kebijakan dan peraturan yang melindungi pekerja dari pelecehan seksual di Amerika Serikat dan Inggris.
Mereka mengesahkan undang-undang yang bertujuan menciptakan lingkungan kerja yang aman dari pelecehan seksual. Salah satu kebijakan penting yang diterapkan adalah pelarangan perjanjian rahasia yang memungkinkan pelaku membayar uang tutup mulut kepada korban untuk melindungi diri mereka dari tuntutan hukum.
“Salah satu pencapaian besar dari gerakan #MeToo adalah perubahan kebijakan dan peraturan yang melindungi pekerja dari kekerasan seksual di tempat kerja. Gerakan ini membawa impact besar, menciptakan lingkungan kerja yang aman bagi perempuan dari pelecehan seksual,” ujar Laura.
Meski gerakan #MeToo telah membawa banyak perubahan, terutama dalam meningkatkan kesadaran, namun di Indonesia dampaknya masih belum terasa, terutama di bidang hukum.
"Sampai saat ini, pemerintah Indonesia belum mampu memberikan perlindungan yang aman bagi perempuan di tempat kerja. Meskipun gerakan #MeToo sudah membawa perubahan besar dalam kesadaran sosial dan semakin banyak kampanye perempuan yang digalakkan, seperti Jakarta Feminist, Women in March, dan berbagai NGO perempuan, kita masih belum bisa menjangkau pemangku kebijakan untuk membuat kebijakan yang lebih konkret dan melindungi perempuan dari kekerasan seksual,” tambah Saskia.
Saskia juga menekankan pentingnya perubahan sistemik di Indonesia, di mana pendidikan dan sosialisasi tentang hak perempuan perlu diperkuat, agar masyarkat sadar akan pentingnya melindungi perempuan dari kekerasan, baik di tempat kerja, kampus, maupun dalam kehidupan sehari-hari.
(Humaira Ratu)
Terkini
- Ladang Mimpi yang Berubah Jadi Neraka: Tragedi 100 Wanita Thailand di ' Peternakan Telur Manusia' Georgia
- Mengenal Roehana Koeddoes: Jurnalis Perempuan Pertama di Indonesia
- Stigma atau Realita: Perempuan Enggan Bersama Laki-laki yang Tengah Berproses?
- Komunitas Rumah Langit: Membuka Ruang Belajar dan Harapan bagi Anak-anak Marginal
- Subsidi BPJS Kesehatan Terancam, Siapa yang Paling Terdampak?
- Komnas Perempuan Soroti Perlindungan Jurnalis Perempuan dari Kekerasan Berbasis Gender
- Damkar Dipanggil, Polisi Ditinggal: Mengapa Publik Lebih Percaya Damkar?
- Tantangan dan Realitas Jurnalis Perempuan di Indonesia: Menyingkap Kesenjangan di Ruang Redaksi
- Memahami dan Merawat Inner Child: Kunci untuk Menyembuhkan Luka yang Tak Terlihat
- Working Holiday Visa Australia: Tiket Emas untuk Kerja dan Hidup di Luar Negeri