Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - Media sosial, platform yang seharusnya menjadi wadah untuk berinteraksi dan berbagi informasi, kini menjadi sumber tekanan bagi banyak orang, terutama perempuan. Hal ini tak lepas dari maraknya konten yang menampilkan standar kecantikan yang sangat tinggi dan seringkali tidak realistis.
Filter, editan foto, dan penggunaan aplikasi kecantikan semakin marak di media sosial. Gambar-gambar sempurna yang bertebaran di berbagai platform ini menciptakan persepsi bahwa kecantikan haruslah sempurna tanpa cela. Padahal, realitanya, kecantikan itu relatif dan setiap individu memiliki keunikannya masing-masing.
Pada akhirnya, hal ini pun memicu pengejaran tanpa henti terhadap kesempurnaan yang tidak dapat dicapai. Dan ketika kita terpapar terus-menerus terhadap standar kecantikan yang tidak realistis ini, kesehatan mental pun jadi taruhannya.
Maulida Sahla, seorang pengguna media sosial aktif, mengaku bahwa dirinya seringkali terdoktrin oleh standar kecantikan di media sosial yang cenderung sempurna.
Baca Juga
-
Apa Itu Anticipatory Grief, Perasaan Berduka Sebelum Kehilangan
-
Memahami Konsep Stress Language dan Cara-cara Menghadapinya
-
Polemik Zakat untuk Makan Bergizi Gratis: Memang Dana Umat Boleh Biayai Program Pemerintah?
-
1 dari 10 Gen Z Diprediksi Bakal Berstatus 'Manajer' di Tahun 2025
-
Pemerintah Kaji Aturan Batas Usia Main Media Sosial untuk Anak, Apa Kata Bunda?
-
Bagaimana Cara Menghadapi Mama Mertua Narsistik?
“Sering ya lewat di FYP standar kecantikan itu, terus kalo aku ga ada di standar itu, aku merasa ‘berarti aku ga cantik’ soalnya ga sesuai standar,” ujar Sahla kepada Dewiku, Kamis (16/01).
Sahla juga mengatakan, tubuh yang kurus, kulit yang putih dan mulus, biasanya jadi standar utama dari “sempurna” yang diciptakan oleh perspektif media sosial.
“Aku merasa standar yang diciptain itu bertolak belakang banget sama aku, karena itu aku jadi sering banget ganti-ganti skincare dan kurangin makan, bahkan bisa sampai 2 hari sekali aja kalo makan,” ungkap Sahla.
Menurut Psychology Today, paparan gambar sempurna dan ideal yang terus menerus dilihat oleh pengguna media sosial sangat berdampak pada perspektif diri individu, sehingga akan berkorelasi dengan gangguan makan.
Citra tubuh yang buruk, yang muncul ketika seseorang menilai tubuhnya secara negatif karena adanya ketimpangan antara penampilan nyata dan ideal, memiliki hubungan kuat dengan gangguan pola makan.
Penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa eksposur terhadap citra tubuh ideal di media sosial dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap persepsi tubuh yang negatif.
Selain itu, terdapat fenomena "efek dosis," yaitu semakin sering seseorang terpapar gambar-gambar ideal ini secara daring, semakin tinggi risiko mereka mengembangkan perilaku makan yang tidak sehat.
Meskipun paparan terhadap citra tubuh ideal di media sosial dapat memicu gangguan pola makan, penelitian menemukan bahwa dampaknya pada wanita bergantung pada bagaimana mereka mengolah informasi tersebut.
Dua faktor utama yang berperan biasanya adalah:
• Perbandingan Sosial: Membandingkan tubuh sendiri secara langsung dengan gambaran “kesempurnaan” yang terlihat dalam gambar.
• Internalisasi Cita-Cita: Mengadopsi dan memprioritaskan standar kecantikan yang diidealkan, seperti kurus atau berotot, sebagai tujuan pribadi.
Oleh karena itu, mengatasi perfeksionisme terhadap penampilan fisik merupakan langkah penting dalam mencegah citra tubuh negatif dan gangguan pola makan.
Dengan memahami bahwa tubuh ideal tidak dapat dicapai oleh semua orang, kita dapat belajar mengelola ekspektasi dan fokus pada keseimbangan emosional serta kesehatan holistik.
Pada akhirnya, karena sadar media sosial memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk persepsi masyarakat, termasuk tentang kecantikan, maka penting bagi kita semua untuk lebih kritis dalam menyikapi konten yang ada di media sosial. Ingat, itu semua adalah konten!
(Nurul Lutfia)
Terkini
- Ladang Mimpi yang Berubah Jadi Neraka: Tragedi 100 Wanita Thailand di ' Peternakan Telur Manusia' Georgia
- Mengenal Roehana Koeddoes: Jurnalis Perempuan Pertama di Indonesia
- Stigma atau Realita: Perempuan Enggan Bersama Laki-laki yang Tengah Berproses?
- Komunitas Rumah Langit: Membuka Ruang Belajar dan Harapan bagi Anak-anak Marginal
- Subsidi BPJS Kesehatan Terancam, Siapa yang Paling Terdampak?
- Komnas Perempuan Soroti Perlindungan Jurnalis Perempuan dari Kekerasan Berbasis Gender
- Damkar Dipanggil, Polisi Ditinggal: Mengapa Publik Lebih Percaya Damkar?
- Tantangan dan Realitas Jurnalis Perempuan di Indonesia: Menyingkap Kesenjangan di Ruang Redaksi
- Memahami dan Merawat Inner Child: Kunci untuk Menyembuhkan Luka yang Tak Terlihat
- Working Holiday Visa Australia: Tiket Emas untuk Kerja dan Hidup di Luar Negeri