Kamis, 13 Februari 2025
Vania Rossa : Sabtu, 18 Januari 2025 | 19:41 WIB

Aktifkan Notifikasimu

Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.

Dewiku.com - Media sosial, platform yang seharusnya menjadi wadah untuk berinteraksi dan berbagi informasi, kini menjadi sumber tekanan bagi banyak orang, terutama perempuan. Hal ini tak lepas dari maraknya konten yang menampilkan standar kecantikan yang sangat tinggi dan seringkali tidak realistis.

Filter, editan foto, dan penggunaan aplikasi kecantikan semakin marak di media sosial. Gambar-gambar sempurna yang bertebaran di berbagai platform ini menciptakan persepsi bahwa kecantikan haruslah sempurna tanpa cela. Padahal, realitanya, kecantikan itu relatif dan setiap individu memiliki keunikannya masing-masing.

Pada akhirnya, hal ini pun memicu pengejaran tanpa henti terhadap kesempurnaan yang tidak dapat dicapai. Dan ketika kita terpapar terus-menerus terhadap standar kecantikan yang tidak realistis ini, kesehatan mental pun jadi taruhannya.

Maulida Sahla, seorang pengguna media sosial aktif, mengaku bahwa dirinya seringkali terdoktrin oleh standar kecantikan di media sosial yang cenderung sempurna.

“Sering ya lewat di FYP standar kecantikan itu, terus kalo aku ga ada di standar itu, aku merasa ‘berarti aku ga cantik’ soalnya ga sesuai standar,” ujar Sahla kepada Dewiku, Kamis (16/01).

Sahla juga mengatakan, tubuh yang kurus, kulit yang putih dan mulus, biasanya jadi standar utama dari “sempurna” yang diciptakan oleh perspektif media sosial.

“Aku merasa standar yang diciptain itu bertolak belakang banget sama aku, karena itu aku jadi sering banget ganti-ganti skincare dan kurangin makan, bahkan bisa sampai 2 hari sekali aja kalo makan,” ungkap Sahla.

Menurut Psychology Today, paparan gambar sempurna dan ideal yang terus menerus dilihat oleh pengguna media sosial sangat berdampak pada perspektif diri individu, sehingga akan berkorelasi dengan gangguan makan.

Citra tubuh yang buruk, yang muncul ketika seseorang menilai tubuhnya secara negatif karena adanya ketimpangan antara penampilan nyata dan ideal, memiliki hubungan kuat dengan gangguan pola makan.

Penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa eksposur terhadap citra tubuh ideal di media sosial dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap persepsi tubuh yang negatif.

Selain itu, terdapat fenomena "efek dosis," yaitu semakin sering seseorang terpapar gambar-gambar ideal ini secara daring, semakin tinggi risiko mereka mengembangkan perilaku makan yang tidak sehat.

Meskipun paparan terhadap citra tubuh ideal di media sosial dapat memicu gangguan pola makan, penelitian menemukan bahwa dampaknya pada wanita bergantung pada bagaimana mereka mengolah informasi tersebut.

Dua faktor utama yang berperan biasanya adalah:

• Perbandingan Sosial: Membandingkan tubuh sendiri secara langsung dengan gambaran “kesempurnaan” yang terlihat dalam gambar.

• Internalisasi Cita-Cita: Mengadopsi dan memprioritaskan standar kecantikan yang diidealkan, seperti kurus atau berotot, sebagai tujuan pribadi.

Oleh karena itu, mengatasi perfeksionisme terhadap penampilan fisik merupakan langkah penting dalam mencegah citra tubuh negatif dan gangguan pola makan.

Dengan memahami bahwa tubuh ideal tidak dapat dicapai oleh semua orang, kita dapat belajar mengelola ekspektasi dan fokus pada keseimbangan emosional serta kesehatan holistik.

Pada akhirnya, karena sadar media sosial memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk persepsi masyarakat, termasuk tentang kecantikan, maka penting bagi kita semua untuk lebih kritis dalam menyikapi konten yang ada di media sosial. Ingat, itu semua adalah konten!

(Nurul Lutfia)

BACA SELANJUTNYA

Apa Itu YONO yang Diprediksi Gantikan Gaya Hidup YOLO di Tahun 2025?