Kamis, 13 Februari 2025
Risna Halidi : Jum'at, 17 Januari 2025 | 16:15 WIB

Aktifkan Notifikasimu

Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.

Dewiku.com - Tahukah kamu bahwa stres juga memiliki 'bahasa' yang harus dipahami? Istilah ini dikenal dengan stress language, atau cara kita merespons stres yang memengaruhi cara kita berinteraksi bahkan tanpa kita sadari.

Memahami bagaimana seseorang merespons stres bisa menjadi kunci untuk komunikasi yang lebih baik.

Menurut Chantal Donnelly, seorang terapis fisik, peneliti stres, dan penulis buku "Settled: How to Find Calm in a Stress-Inducing World", manajemen stres sering kali menjadi elemen yang terlewat dalam diri seseorang.

"Meskipun stress language bukan istilah resmi dalam dunia kesehatan mental, konsep ini dapat membantu kita memahami diri sendiri dan orang-orang terdekat, mirip dengan love language yang belakangan ini semakin populer," ungkapnya dilansir Psychology Today.

Bukan cuma love language aja yang penting kita kenali, tapi ternyata stress language juga tak kalah penting. Jadi, biar bukan salah paham, yuk kita coba mengenali stress language masing-masing!

Menurut penelitian Chantal Donnelly, ada lima kategori stress language. Berikut lima tipe stress language menurut Chantal Donnelly!

Ilustrasi marah / pexels.com

The Exploder (Si Peledak)
Kalau kamu sering meledak-ledak saat stres marah, nyalahin orang lain, atau ngerasa semuanya darurat, kamu mungkin seorang Exploder. The Exploder melihat segala situasi sebagai krisis dan cenderung paranoid.

Responsnya sering kali berupa fight-or-flight (melawan atau lari), seperti menyerang di tengah percakapan atau merasa perlu mengambil alih kendali secara agresif.

The Imploder (Si Pendiam Berbahaya)
Beda sama Exploder, Imploder lebih suka diam-diam saat stres. Tipe ini susah kontak mata, bukan mau ngungkapin emosi, dan sering disalahpahami seperti bukan peduli sama masalah. Padahal, mereka hanya butuh waktu buat 'sembunyi' dan merenung dalam sunyi.

The Fixer (Si Sok Pahlawan)
Sekilas, The Fixer tampak sebagai orang yang proaktif dalam mengatasi masalah. Namun, ia sering melewati batas dengan terlalu mengontrol dan kurang mempercayai kemampuan orang lain.

Bahkan, ia cenderung 'memperbaiki' hal-hal yang sebenarnya tidak perlu diperbaiki, sering kali bertindak lebih seperti orang tua daripada mitra setara.

The Denier (Si Sok Baik-Baik Saja)
Denier adalah juaranya toxic positivity. Stres? Apa itu stres? Mereka bakal bilang, 'Aku baik-baik saja' atau 'Santai aja' walaupun dalam hati udah kayak kapal karam. Tapi hati-hati, karena kalau terus dipendem, akmulasi meluapkan stres-nya bisa lebih heboh dari Exploder!

The Numb-er (Si Kabur dari Kenyataan)
Kalau stres, Numb-er bakal langsung cari pelarian seperti belanja gila-gilaan, main game nonstop, kerja sampai lupa waktu, atau malah hal-hal yang bukan sehat kayak alkohol dan obat-obatan. Intinya, mereka cuma mau 'mati rasa' sementara, walaupun akhirnya bikin masalah jadi makin runyam.

Bagaimana Cara Mengenali Stress Language?
Sama seperti memahami love language diri sendiri dan orang lain, mengenali stress language kamu bisa jadi game changer!

Dengan mengetahuinya, bisa memprediksi bagaimana teman, pasangan, atau bos kamu merespons stres, hal ini dapat membantu menciptakan interaksi yang lebih tenang dan memahami kebutuhan mereka di momen sulit.

Pertama, perhatikan pola respons kamu saat stres. Renungkan bagaimana kamu biasanya merespons saat stres. Apakah kamu cenderung marah, menarik diri, atau melarikan diri ke kebiasaan tertentu.

Kedua, bicarakan dengan orang terdekat. Tanyakan kepada keluarga atau teman tentang apa yang mereka amati dari perilaku kamu saat menghadapi stres.

Dengan memahami stress language, kamu bukan cuma belajar mengenali dirimu sendiri, tapi juga membuka jalan untuk hubungan yang lebih damai dan suportif.

Mulai eksplorasi stress language kamu sekarang karena komunikasi yang lebih baik dimulai dari pemahaman yang baik!

Penulis: Humaira Ratu Nugraha

BACA SELANJUTNYA

Chelsea Islan Ungkap Caranya Atasi Stres, Ternyata Suka Pakai Aromaterapi