Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - Siapa yang tidak pernah merasakan godaan untuk berbelanja saat sedang merasa sedih atau stres? Membeli barang baru memang bisa memberikan rasa senang sesaat. Fenomena ini dikenal sebagai retail therapy.
Namun pertanyaannya, apakah retail therapy benar-benar efektif mengatasi masalah emosional atau justru menjadi jebakan konsumtif?
Retail therapy adalah kebiasaan berbelanja dengan tujuan utama memperbaiki suasana hati atau mengurangi stres. Ketika kita merasa sedih, kecewa, atau bosan, membeli sesuatu yang kita inginkan dapat memberikan rasa senang dan kepuasan sementara.
Dalam hal ini, kita bisa menyalahkan hormon endorfin sebagai salah satu pemicu kita tergoda melakukan retail therapy saat sedang sedih. Ua, karena saat berbelanja, otak kita melepaskan endorfin, hormon yang memberikan perasaan senang dan euforia.
Baca Juga
-
Awas Terjebak Logical Fallacy: Bikin Kita Melakukan Kesalahan dalam Berpikir
-
Mengenal Skin Elixir, Skincare dengan Manfaat yang Melebihi Serum untuk Atasi Beragam Permasalahan Kulit
-
Standar Kecantikan Tak Realistis di Media Sosial, Bikin Kesehatan Mental Perempuan Terancam?
-
Apa Itu Anticipatory Grief, Perasaan Berduka Sebelum Kehilangan
-
Memahami Konsep Stress Language dan Cara-cara Menghadapinya
-
Polemik Zakat untuk Makan Bergizi Gratis: Memang Dana Umat Boleh Biayai Program Pemerintah?
Alasan lain, karena belanja bisa menjadi cara untuk mengalihkan perhatian dari masalah yang sedang kita hadapi. Hal ini karena membeli barang baru memang diyakini bisa meningkatkan rasa percaya diri dan membuat kita merasa lebih berharga.
Meski terdengar sebagai suatu kebiasaan yang konsumtif, para ahli meyakini bahwa ada manfaat di balik retail therapy ini. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa retail therapy memiliki efek psikologis dan terapeutik yang bisa mendukung perubahan suasana hati menjadi lebih baik dan positif, baik rasa bahagia, kagum, bangga, maupun rasa syukur.
- Utang: Belanja impulsif dapat menyebabkan pengeluaran yang tidak terkendali dan menumpuk utang.
- Kecemasan: Ketika efek euforia berbelanja hilang, kita mungkin merasa bersalah atau cemas karena telah menghabiskan terlalu banyak uang.
- Ketergantungan: Belanja bisa menjadi kebiasaan yang sulit dihentikan, terutama jika digunakan sebagai mekanisme koping untuk mengatasi masalah emosional.
Melihat risiko yang bisa ditimbulkan, tentu saja kita perlu mencari cara yang lebih sehat untuk mengatasi emosi negatif. Misalnya dengan melakukan olahraga yang sama-sama dapat melepaskan endorfin dan meningkatkan suasana hati. Atau, biaa juga dengan mencoba melakukan kegiatan atau hobi baru untuk membantu mengalihkan perhatian dan memberikan kepuasan.
Intinya, retail therapy diakui memang bisa memberikan efek positif dalam jangka pendek, namun tidak bisa menjadi solusi jangka panjang untuk mengatasi masalah emosional. Jika kamu sering menggunakan retail therapy untuk mengatasi stres atau kesedihan, ada baiknya mencari alternatif yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Belanja boleh saja, tetapi jangan sampai menjadi kebiasaan yang merugikan keuangan dan kesehatan mental, ya.
Terkini
- Ladang Mimpi yang Berubah Jadi Neraka: Tragedi 100 Wanita Thailand di ' Peternakan Telur Manusia' Georgia
- Mengenal Roehana Koeddoes: Jurnalis Perempuan Pertama di Indonesia
- Stigma atau Realita: Perempuan Enggan Bersama Laki-laki yang Tengah Berproses?
- Komunitas Rumah Langit: Membuka Ruang Belajar dan Harapan bagi Anak-anak Marginal
- Subsidi BPJS Kesehatan Terancam, Siapa yang Paling Terdampak?
- Komnas Perempuan Soroti Perlindungan Jurnalis Perempuan dari Kekerasan Berbasis Gender
- Damkar Dipanggil, Polisi Ditinggal: Mengapa Publik Lebih Percaya Damkar?
- Tantangan dan Realitas Jurnalis Perempuan di Indonesia: Menyingkap Kesenjangan di Ruang Redaksi
- Memahami dan Merawat Inner Child: Kunci untuk Menyembuhkan Luka yang Tak Terlihat
- Working Holiday Visa Australia: Tiket Emas untuk Kerja dan Hidup di Luar Negeri