Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - Dalam senyap, angka-angka itu berbicara...
Ratusan perempuan kehilangan nyawa bukan karena usia atau penyakit, tetapi karena mereka adalah perempuan.
Femisida, pembunuhan berbasis gender terhadap perempuan, merupakan ancaman nyata yang dihadapi perempuan Indonesia setiap hari, baik di ruang privasi maupun publik.
Baca Juga
-
Seksisme Nodai Pilkada 2024, Bagaimana Pengaruhnya terhadap Partisipasi Perempuan dalam Pemilu?
-
9 Pahlawan Nasional Perempuan, Ketahui Jasa dan Perjuangannya
-
Digelar di 3 Kota, Workshop Kolaborasi Suara.com dan UAJY Diikuti 150 Lebih Digital Creator
-
Rekomendasi Buku untuk Perempuan: Menggali Potensi & Menghadapi Tantangan Hidup
-
Panjang Umur Perjuangan Pekerja Migran, Eni Lestari: Mengapa Negara Ini Tak Bisa Memberi Kami Pekerjaan?
-
Dari TPA Kumuh jadi Kampung Idaman: Kisah Inspiratif Kampung Berseri Astra Keputih Tegal Timur
Bertepat di Ruang Theater Lantai 2 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Jakarta pada Kamis 7 November 2024 lalu, diskusi tersebut dibuat sebagai upaya meningkatkan kesadaran mahasiswa mengenai femisida.
Syifana Ayu, penulis laporan Femisida Jakarta Feminist 2023, berbicara di depan peserta tentang bagaimana femisida di Indonesia lebih dari sekadar kejahatan biasa.
Kata Syifana Ayu, ini adalah puncak dari kekerasan sistemik yang mengakar dalam budaya patriarki, yang sayangnya masih terus berlangsung di kehidupan sehari-hari.
“Femisida ini ketidaksetaraan gender dan puncak dari kekerasan sistematik yang dialami perempuan, salah satu faktor terbesarnya didasari oleh budaya patriarki,” ungkap Syifana, ditulis Dewiku Selasa (12/11/2024).
Ia menekankan bahwa femisida di Indonesia sebagian besar merupakan refleksi dari ketidaksetaraan gender yang mendalam dan kekerasan sistemik yang dihadapi perempuan.
Selain itu, dia juga menyoroti bagaimana femisida termasuk pelanggaran HAM yang merupakan puncak kekerasan terhadap perempuan.
Menurut temuan laporan data femisida yang diterbitkan oleh Jakarta Feminist, pada tahun 2023 ada 180 kasus femisida di 38 provinsi di Indonesia. Dari jumlah tersebut, teridentifikasi 187 korban dan 197 pelaku, di mana 94 persen pelaku adalah laki-laki.
Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar kasus femisida melibatkan pasangan intim, seperti suami atau mantan pasangan, dan sering kali dipicu oleh maskulinitas toksik serta kecemburuan.
Selain itu, lokasi pembunuhan korban tidak hanya terbatas pada ranah privasi tetapi juga terjadi di ruang publik.
Ketimpangan ini semakin terasa ketika ia menjelaskan bahwa norma patriarki menciptakan batas tak terlihat bagi perempuan, baik di ranah privasi maupun publik.
“Pengalaman laki-laki dan perempuan dalam ranah publik itu beda, ada konstruksi sosial dari patriarki yang mana ruang publik itu dianggap ruangnya laki-laki. Makanya kalo udah jam 10 malam ada perempuan di luar rumah bisa jadi target sasaran,” ujarnya.
Syifana juga menjelaskan bahwa patriarki tidak hanya memengaruhi persepsi masyarakat terhadap ruang publik tetapi juga membatasi pergerakan perempuan, terutama pada malam hari.
Menurutnya, ketika perempuan terlihat di luar rumah pada malam hari, mereka rentan dianggap telah “melanggar batas” atau menjadi “sasaran”.
Ini, tambahnya, menunjukkan adanya norma sosial yang menganggap ruang publik lebih aman dan “natural” bagi laki-laki daripada perempuan itu sendiri.
Ia juga menekankan bahwa rendahnya pemahaman masyarakat mengenai femisida di Indonesia, akhirnya berdampak pada kurangnya pengakuan dan penanganan serius terhadap kasus-kasus tersebut.
Banyak kasus yang tidak tercatat atau bahkan tidak dilaporkan, sehingga data yang tersedia hanya sebagian kecil dari kenyataan.
Menurutnya, data yang dimiliki Jakarta Feminist didasarkan pada laporan media, yang mungkin hanya mencakup kasus-kasus yang mencuat di publik sehingga banyak kasus yang tidak tercatat atau tidak ditangani dengan serius.
“Data yang kami peroleh hanya dari pantauan dari media mungkin yang tidak terlaporkan banyak,” tambahnya.
Pada akhir diskusi, Syifana menyuarakan harapannya agar lembaga pemerintah, masyarakat, dan berbagai pihak lainnya dapat bekerja sama dalam menciptakan ruang aman bagi perempuan.
Ia menekankan bahwa lingkungan yang aman tidak hanya terbatas pada ruang privat tetapi juga harus mencakup ruang publik, di mana perempuan bebas beraktivitas tanpa rasa takut akan kekerasan atau pelecehan.
"Kita butuh banget ruang publik yang aman buat perempuan, soalnya di ruang privat aja mereka masih sering kena kekerasan.
Di rumah, perempuan sering jadi korban dan susah banget dapet perlindungan hukum. Kalau di rumah aja nggak selalu aman, apalagi di ruang publik. Jadi, ruang publik ini harus benar-benar dibuat lebih aman buat mereka," pungkasnya.
Penulis: Ratu Humaira Nugraha
Terkini
- Fenomana Glass Ceiling: Mengapa Perempuan Sulit Jadi Pemimpin di Dunia Kerja?
- Takut Ketinggalan Momen? Begini Cara Mengelola FOMO dengan Sehat!
- Ladang Mimpi yang Berubah Jadi Neraka: Tragedi 100 Wanita Thailand di ' Peternakan Telur Manusia' Georgia
- Mengenal Roehana Koeddoes: Jurnalis Perempuan Pertama di Indonesia
- Stigma atau Realita: Perempuan Enggan Bersama Laki-laki yang Tengah Berproses?
- Komunitas Rumah Langit: Membuka Ruang Belajar dan Harapan bagi Anak-anak Marginal
- Subsidi BPJS Kesehatan Terancam, Siapa yang Paling Terdampak?
- Komnas Perempuan Soroti Perlindungan Jurnalis Perempuan dari Kekerasan Berbasis Gender
- Damkar Dipanggil, Polisi Ditinggal: Mengapa Publik Lebih Percaya Damkar?
- Tantangan dan Realitas Jurnalis Perempuan di Indonesia: Menyingkap Kesenjangan di Ruang Redaksi