Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - Rp21.250, angka ini mungkin terlihat kecil bagi sebagian orang. Namun, bagi jutaan masyarakat Indonesia, angka ini menjadi patokan untuk menentukan apakah mereka berada dalam kategori kemiskinan atau tidak.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2024, menegaskan bahwa garis kemiskinan nasional berada di angka Rp595.242 per kapita per bulan. Artinya, seseorang dianggap tidak miskin jika memiliki pengeluaran setidaknya Rp148.750 per minggu atau sekitar Rp21.250 per hari.
Garis kemiskinan yang ditetapkan oleh pemerintah ini sebenarnya mengukur kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Namun, apakah angka ini benar-benar mencerminkan kebutuhan hidup yang layak?
Shirley Cei, Kepala Divisi Advisory & Perencana Keuangan dari Finansialku, menjelaskan bahwa definisi dan ciri-ciri kemiskinan dapat bervariasi tergantung pada konteksnya.
Baca Juga
-
Usia Pensiun Naik Jadi 59 Tahun: Perempuan Siap Kerja Lebih Lama?
-
Keuangan Aman Untuk Mama Muda: Panduan dari Alexandra Askandar, Wakil Presiden Direktur Bank Mandiri
-
Physical Touch: Bahasa Cinta yang Tak Identik dengan Seks
-
Skin Positivity, Merawat Kulit Tanpa Harus Terbebani Standar Kecantikan di Media Sosial
-
Menjadi Kaluna di Home Sweet Loan: Perempuan, Anak Bungsu, dan Tulang Punggung Keluarga yang Tak Punya Pilihan
-
Benarkah Menangis Berjam-jam Bisa Membakar Kalori?
Namun, secara sederhana, seseorang dikategorikan miskin jika tidak memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti makanan, tempat tinggal, dan layanan kesehatan.
Dalam perhitungan nasional, garis kemiskinan dibagi menjadi dua komponen utama, yaitu garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan non-makanan.
Garis kemiskinan makanan dihitung berdasarkan kebutuhan minimum kalori harian, sementara garis kemiskinan non-makanan mencakup biaya untuk kebutuhan lain seperti tempat tinggal, transportasi, dan pendidikan.
Shirley menyebutkan bahwa data garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tidak berarti bahwa seseorang dengan pengeluaran Rp21 ribu per hari otomatis tidak tergolong miskin.
“Pengertian dari data tersebut bukanlah bahwa dengan pengeluaran Rp21 ribu per hari seseorang tidak dianggap miskin, tetapi jika jumlah uang atau penghasilan seseorang tidak mampu menutupi angka garis kemiskinan (Rp595 ribu), maka secara nasional orang tersebut termasuk kategori miskin,” ungkapnya pada Dewiku (2/3).
Shirley juga menegaskan bahwa kemiskinan tidak hanya dilihat dari pengeluaran harian, tetapi juga dari stabilitas keuangan seseorang.
“Seseorang mungkin tidak masuk kategori miskin secara statistik, tetapi jika setiap hari merasa khawatir tidak bisa makan atau membayar kebutuhan dasar, maka kondisi keuangannya tetap rentan,” ujarnya.
Jika kita melihat pengeluaran Rp21 ribu per hari di Jakarta, jumlah tersebut sangat minim untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, transportasi, tempat tinggal, dan kesehatan.
Sebagai contoh, harga satu porsi makanan sederhana di warung makan berkisar antara Rp10 ribu hingga Rp20 ribu. Dengan pengeluaran sebesar itu, seseorang mungkin hanya mampu membeli makanan tanpa mempertimbangkan biaya lain seperti transportasi, listrik, air, atau kebutuhan kesehatan.
Bagi seseorang yang tinggal di Jakarta, peluang kerja memang lebih besar, tetapi biaya hidup dan tingkat persaingan juga jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain. Oleh karena itu, menggunakan data garis kemiskinan nasional sebagai tolok ukur tidak selalu relevan.
“Idealnya, penghasilan minimal harus setara dengan Upah Minimum Regional (UMR). Namun, untuk mencapai kesejahteraan yang lebih baik, seseorang perlu mengelola keuangan dengan bijak, meningkatkan pendapatan agar jauh di atas UMR, serta berinvestasi secara rutin guna memastikan stabilitas finansial di masa depan,” ujar Shirley.
Dalam mengelola keuangan, Shirley menyarankan agar seseorang lebih cermat dalam mengeluarkan uang dengan membuat anggaran pengeluaran bulanan dan melakukan evaluasi secara berkala untuk memastikan pengeluaran tetap terkontrol.
Ia juga menekankan pentingnya menekan pengeluaran yang kurang prioritas dan lebih fokus pada kebutuhan esensial. Sebagai contoh, dibandingkan sering membeli makanan di luar yang belum tentu sehat, lebih baik membawa bekal sendiri dan air minum.
"Misalnya, daripada sering membeli makanan di luar yang belum tentu sehat, lebih baik membawa bekal sendiri dan membawa air minum. Meskipun terlihat kurang praktis, langkah ini bisa menghemat banyak uang yang dapat dialokasikan untuk tabungan atau investasi," tambahnya.
Shirley juga menekankan pentingnya memiliki dana darurat sebagai langkah antisipasi untuk menghadapi situasi tak terduga.
Menurutnya, agar tidak panik atau terpaksa berutang saat menghadapi keadaan darurat, seseorang sebaiknya memiliki dana darurat yang setara dengan 6 hingga 12 kali pengeluaran bulanan.
(Humaira Ratu)
Terkini
- Ladang Mimpi yang Berubah Jadi Neraka: Tragedi 100 Wanita Thailand di ' Peternakan Telur Manusia' Georgia
- Mengenal Roehana Koeddoes: Jurnalis Perempuan Pertama di Indonesia
- Stigma atau Realita: Perempuan Enggan Bersama Laki-laki yang Tengah Berproses?
- Komunitas Rumah Langit: Membuka Ruang Belajar dan Harapan bagi Anak-anak Marginal
- Subsidi BPJS Kesehatan Terancam, Siapa yang Paling Terdampak?
- Komnas Perempuan Soroti Perlindungan Jurnalis Perempuan dari Kekerasan Berbasis Gender
- Damkar Dipanggil, Polisi Ditinggal: Mengapa Publik Lebih Percaya Damkar?
- Tantangan dan Realitas Jurnalis Perempuan di Indonesia: Menyingkap Kesenjangan di Ruang Redaksi
- Memahami dan Merawat Inner Child: Kunci untuk Menyembuhkan Luka yang Tak Terlihat
- Working Holiday Visa Australia: Tiket Emas untuk Kerja dan Hidup di Luar Negeri