
Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - Di era yang katanya serba inklusif ini, diskriminasi ternyata masih menjadi hantu yang bergentayangan. Tak hanya menyasar ras, agama, atau gender, diskriminasi juga menyerang usia, yang kerap disebut sebagai ageisme.
Ageisme adalah prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang berdasarkan usia mereka. Stereotip negatif dan diskriminasi ini bisa menyasar siapa saja, baik yang muda maupun yang tua. Dan mirisnya, diskriminasi berdasarkan usia ini masih menjadi permasalahan yang kerap terjadi di berbagai sektor kehidupan, termasuk dunia kerja.
Di Indonesia, banyak pekerja berusia lanjut yang mengalami kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan atau bahkan terpaksa pensiun lebih awal meskipun masih produktif.
Menurut World Health Organization (WHO), satu dari dua orang memiliki sikap ageis terhadap individu yang lebih tua. Di Eropa, individu yang lebih muda justru melaporkan mengalami diskriminasi usia lebih sering dibandingkan kelompok usia lainnya.
Baca Juga
-
Strategi Work-Life Balance untuk Ibu Bekerja: Keluarga Harmonis, Finansial Terjaga
-
Galau Sebelum Menikah: Antara Budget Pas-Pasan dan Ekspektasi Orang Tua yang Ketinggian
-
Perayaan Mati Rasa: Menghadapi Kehilangan dan Menerima Kenyataan
-
Jarang Disorot, Begini Dampak Poligami terhadap Kesejahteraan Emosional Anak
-
Tantangan Period Poverty, Ketika Perempuan Tidak Memiliki Akses Memadai Terhadap Produk Menstruasi
-
Memahami Akar Masalah Filisida: Mengapa Orang Tua Membunuh Anak Mereka?
Salah satu individu yang mengalami diskriminasi usia di dunia kerja adalah Rina, seorang pekerja yang harus menghadapi kenyataan sulit setelah terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) di usia 40 tahun.
"Saya sempat mengalami kesulitan ya karena waktu itu perusahaan tempat saya kerja bangkrut, jadi saya kena PHK waktu umur 40 tahun," ujar Rina.
Setelah kehilangan pekerjaannya, Rina berusaha mencari pekerjaan baru. Namun, usahanya tidak membuahkan hasil.
"Saya cari kerja lagi, ke sana kemari, tapi nggak ada hasilnya, karena banyak dari aplikasi atau di manapun itu ada batas usia kerja," lanjutnya.
"Saya yang berusia 40 tahun kayak nggak dikasih kesempatan lagi buat kerja, padahal saya punya banyak pengalaman, ya jam terbangnya udah teruji. Masalah umur tuh saya bingung sebenernya buat apa," kata perempuan yang menjadi pencari nafkah utama di keluarganya itu.
Dampak ageisme sangat luas, termasuk dalam aspek kesehatan dan ekonomi. Penelitian menunjukkan bahwa ageisme dapat mengubah cara seseorang memandang diri sendiri, mengikis solidaritas antargenerasi, serta merendahkan atau membatasi peran yang dapat dimainkan oleh berbagai kelompok usia dalam masyarakat.
Ageisme juga dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian dini hingga 7,5 tahun, kesehatan fisik dan mental yang lebih buruk, serta pemulihan yang lebih lambat dari kecacatan di usia tua.
Selain itu, diskriminasi usia juga dapat memicu perilaku kesehatan yang berisiko, seperti pola makan yang tidak sehat, konsumsi alkohol berlebihan, atau merokok.
Lantas, bagaimana cara melawan ageisme? Pertama, mari mulai dari diri sendiri. Hentikan stereotip dan prasangka berdasarkan usia. Hargai setiap orang atas kemampuan dan pengalaman mereka, bukan semata-mata karena berapa usia mereka.
Ageisme adalah masalah struktural, sehingga perubahan paradigma butuh dukungan dari berbagai pihak. Perusahaan, misalnya, bisa membuat kebijakan yang adil dan inklusif tanpa memandang usia. Pemerintah juga bisa membuat regulasi yang melindungi kelompok yang rentan terhadap ageisme.
Dan perlu diingat, ageisme adalah masalah serius yang perlu kita atasi bersama. Dengan menghapus diskriminasi berbasis usia, kita bisa membuka jalan bagi generasi muda untuk berkembang dan memberikan kesempatan bagi generasi yang lebih tua untuk terus berkontribusi.
(Nurul Lutfia)
Terkini
- Musikal untuk Perempuan: Merayakan Persahabatan Lewat Lagu Kunto Aji dan Nadin Amizah
- Melangkah Sendiri, Merdeka Sepenuhnya: Kenapa Perempuan Pilih Solo Traveling?
- Koneksi Bukan Kompetisi: The Real Power of Women Supporting Women
- Kapan Nikah? Nggak Perlu Baper, Ini Cara Elegan Hadapi Pertanyaan Sensitif
- Tips Psikologis Jalani Idulfitri Lebih Tenang dan Bermakna
- CEO Muda Perempuan: Lebih dari Sekadar Tren, Ini Realitas Baru Dunia Bisnis
- Keharuman Nostalgia Lebaran, 'Mencicipi' Aroma Nastar dari Sebotol Parfum
- Ketika Secuil Perhatian Berujung Sakit Hati, Kenali Tanda-Tanda Breadcrumbing yang Merugikan Perempuan
- Simping Era: Kenapa Sekarang Banyak Perempuan Bangga Jadi Fangirl?
- Resting Nice Face: Topeng Senyum yang Menyembunyikan Luka Emosional Perempuan