Rabu, 12 Februari 2025
Vania Rossa : Kamis, 06 Februari 2025 | 21:06 WIB

Aktifkan Notifikasimu

Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.

Dewiku.com - Menikah adalah momen sakral yang diimpikan oleh banyak pasangan. Namun, di balik kebahagiaan menanti hari besar, tak jarang pasangan calon pengantin dilanda kegalauan. Salah satu sumber kegalauan yang umum adalah masalah finansial dan ekspektasi orang tua yang tinggi.

Bagi sebagian besar pasangan, menikah adalah tentang menyatukan dua hati dan membangun rumah tangga bersama. Namun, bagi sebagian lainnya, pernikahan juga melibatkan ekspektasi dari keluarga besar, terutama orang tua. Tak jarang, orang tua memiliki impian tentang pernikahan anak-anak mereka, mulai dari konsep pernikahan yang mewah, adat yang harus diikuti, hingga jumlah undangan yang harus disebar.

Masalahnya, tidak semua pasangan memiliki kemampuan finansial yang sama. Ada yang memiliki budget yang cukup untuk mewujudkan impian pernikahan mereka, namun ada juga yang harus berjuang mengatur keuangan agar tetap bisa melangsungkan pernikahan. Di sinilah muncul dilema, antara mengikuti keinginan orang tua atau mengikuti kemampuan diri sendiri.

Hasil riset Populix mengungkapkan bahwa ekspektasi orang tua dan budget yang terbatas menjadi tantangan paling umum bagi pasangan milenial dan gen Z yang berencana melangkah ke jenjang selanjutnya. Fakta ini ditemukan dalam sebuah laporan terbaru bertajuk “Pre and Post Wedding: Financial Planning and Management”. Laporan tersebut merupakan penelitian lanjutan dari laporan serupa yang diterbitkan Populix Maret 2023 lalu.

Secara keseluruhan, Populix mengungkapkan lima tantangan yang dihadapi milenial dan gen Z yang saat ini sedang merencanakan pernikahan. Dimulai dari keterbatasan budget yang dialami 59% calon mempelai, kemudian ekspektasi orang tua yang dikeluhkan oleh 57% pasangan. Dilanjutkan dengan 46% responden yang mengaku mengalami kesulitan untuk mencapai kesepakatan dengan pasangannya, juga 46% yang kesulitan menemukan titik temu dengan berbagai vendor pernikahan, seperti wedding organizer, katering, juga pengelola gedung. Terakhir adalah keterbatasan waktu persiapan pernikahan yang dialami 38% calon mempelai.

Dari delapan tekanan prapernikahan sesuai pengalaman pasangan yang sudah menikah., tiga di antaranya dipengaruhi oleh keluarga. Pertama-tama adalah tekanan untuk menemukan pasangan yang sesuai dengan harapan keluarga yang dialami 37% responden. Kemudian 33% mengeluhkan adanya dorongan untuk segera menikah dari keluarga. Terakhir adalah tekanan untuk mematuhi norma atau tradisi pernikahan keluarga yang dialami 25% responden.

Kemudian ada tiga faktor yang berasal dari segi finansial maupun karir. Mulai dari tekanan untuk mapan secara finansial sebelum menikah yang diungkapkan 35% responden, tekanan untuk mengadakan pernikahan besar dan mewah oleh 16%, dan terakhir adalah tekanan untuk menyelesaikan pendidikan atau mencapai jenjang karir tertentu sebelum menikah yang dialami 12% responden.

Selain itu, lingkungan juga jadi pemicu tekanan bagi para calon mempelai. Sekitar 31% responden mengeluhkan pertanyaan terus-menerus tentang rencana pernikahan dari kerabat dan teman. Sedangkan 33% mengalami tekanan saat membandingkan diri dengan teman yang sudah menikah.

“Meskipun begitu, sebagian besar responden menanggapi berbagai tekanan sosial tersebut dengan membuat keputusan berdasarkan kesiapan diri sendiri, ketimbang tekanan dari luar. Faktor utama dalam menghadapi tekanan ini adalah kesiapan mental dan emosional, yang menunjukkan bahwa kesiapan pribadi adalah kunci bagi mereka ketika mempertimbangkan pernikahan,” pungkas Indah.

 

BACA SELANJUTNYA

Kenapa Hubungan Seks yang Terjadwal Lebih Baik Daripada yang Spontan Ketika Kamu Sudah Menikah?