Kamis, 20 Maret 2025
Vania Rossa : Rabu, 19 Maret 2025 | 11:33 WIB

Aktifkan Notifikasimu

Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.

Dewiku.com - Fenomena momfluencer, ibu-ibu yang aktif di media sosial dan membagikan kehidupan pribadi mereka dan anak-anaknya, semakin marak. Mereka kerap menampilkan momen-momen manis bersama keluarga, tips parenting, hingga ulasan produk.

Namun, di balik popularitas dan penghasilan yang menggiurkan, tersimpan kontroversi yang mengundang perdebatan lantaran dianggap menjadikan kehidupan anak sebagai komoditas.

Siapa Momfluencer?

Momfluencer merupakan sebutan bagi seorang ibu yang menjadi influencer atau pemengaruh di media sosial. Para ibu ini biasanya akan membagikan momen-momen keibuan berupa pengalaman mereka dalam mengasuh anak, memberikan rekomendasi produk, hingga memberikan saran terkait metode parenting.

Dilansir dari theinfluenceagency.com, disebutkan bahwa 83% momfluencer merupakan ibu milenial yang menghabiskan waktunya selama lebih dari delapan jam sehari untuk online.

Sayangnya, tak sedikit pihak menilai bahwa momfluencer menjadikan anak-anak mereka sebagai komoditas untuk mendapatkan popularitas dan keuntungan finansial. Momen-momen pribadi anak, seperti saat mandi, bermain, atau bahkan menangis, diunggah ke media sosial tanpa persetujuan mereka.

Banyak momfluencer yang menjadikan anak sebagai bagian utama dari konten mereka. Mulai dari saat anak lahir hingga mulai beranjak remaja, semua terdokumentasi dan dibagikan ke publik. Bahkan, tak jarang konten-konten tersebut disponsori oleh berbagai merek yang memiliki target pasar ibu dan anak.

Hal tersebut menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat, apakah anak-anak mereka benar diberi pilihan atau hanya menjadi alat monetisasi orang tua?

Beberapa anak yang tumbuh dalam lingkungan digital ini mungkin tidak menyadari bahwa kehidupan pribadi mereka telah dipublikasikan sejak dini. 

Mereka menjadi 'brand ambassador' tanpa persetujuan penuh, dan keputusan-keputusan yang diambil orang tua dapat berdampak pada kehidupan sosial serta psikologis mereka di masa depan. Sebagai contoh, beberapa anak momfluencer yang telah tumbuh besar mengungkapkan perasaan tidak nyaman karena setiap aspek kehidupan mereka telah diketahui publik tanpa izin.

Dampak negatif lainnya adalah tekanan untuk selalu terlihat sempurna di depan kamera. Anak-anak yang sering menjadi bagian dari konten media sosial mungkin akan merasakan beban ekspektasi dari pengikut orang tuanya. Mereka bisa saja mengalami kehilangan identitas dan kesulitan dalam membangun privasi mereka sendiri.

Dampak Jangka Panjang dan Privasi Anak

Psikolog Vera Itabiliana Hadiwidjojo menyatakan bahwa paparan media sosial yang terlalu dini dapat berbahaya bagi anak-anak. 

Anak-anak yang terlalu sering diekspos di media sosial dapat mengalami tekanan psikologis dan kehilangan privasi mereka. Mereka bisa mengalami stres atau bahkan kehilangan kontrol atas identitas mereka sendiri.

Selain risiko psikologis, ada pula ancaman keamanan digital. Informasi pribadi anak yang tersebar luas dapat meningkatkan risiko pencurian identitas atau penyalahgunaan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Menindaklanjuti isu ini, beberapa negara telah mengambil langkah dengan menerapkan regulasi ketat terkait hak anak dalam dunia digital. 

Namun, di Indonesia tampaknya belum ada aturan spesifik yang mengatur konten momfluencer dan hak anak dalam dunia digital. 

Meski demikian kesadaran akan etika dalam berbagi konten keluarga di media sosial masih perlu ditingkatkan.

Para orang tua perlu memahami bahwa popularitas di media sosial tidak boleh mengorbankan hak dan kesejahteraan anak.

Dan fenomena momfluencer ini, meski memang menawarkan banyak manfaat, seperti inspirasi dan informasi, penting untuk diingat bahwa di balik popularitas dan penghasilan yang menggiurkan, terdapat tanggung jawab besar terhadap anak-anak. Momfluencer harus mengutamakan kepentingan anak-anak mereka dan membuat konten yang etis dan bertanggung jawab.

(Sifra Kezia)

BACA SELANJUTNYA

Intergenerational Trauma: Jejak Luka Orang Tua dalam Kehidupan Generasi Selanjutnya