Rabu, 19 Maret 2025
Vania Rossa : Selasa, 18 Maret 2025 | 16:18 WIB

Aktifkan Notifikasimu

Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.

Dewiku.com - Perdebatan tentang keseimbangan antara karier dan keluarga bagi perempuan telah berlangsung lama. Di satu sisi, ada tuntutan untuk mencapai kesuksesan dalam karier, sementara di sisi lain, ada harapan untuk menjadi ibu dan istri yang baik.
Pertanyaannya, bisakah perempuan benar-benar mencapai keseimbangan ini?

Mitos Keseimbangan Sempurna

Konsep "keseimbangan" seringkali diartikan sebagai pembagian waktu dan perhatian yang sama rata antara karier dan keluarga.

Namun, kenyataannya, keseimbangan sempurna mungkin hanya mitos. Kehidupan seringkali tidak terduga, dan tuntutan pekerjaan serta keluarga dapat berubah-ubah.

Untuk mencapai keseimbangan antara karier dan keluarga, perempuan menghadapi berbagai tantangan, seperti peran ganda sebagai pekerja dan pengurus rumah tangga, stigma sosial, hingga kurangnya dukungan yang memadai dari pasangan, keluarga, atau tempat kerja.

Fakta menarik diungkap The Guardian, yang menulis bahwa perempuan di Inggris masih menghabiskan lebih banyak waktu untuk pekerjaan domestik dibanding laki-laki, meskipun mereka sama-sama bekerja.

Dr. Claudia Goldin, ekonom Harvard, menyoroti bahwa hambatan utama perempuan bukan hanya diskriminasi di tempat kerja, tetapi juga tekanan sosial yang mengharuskan mereka tetap menjadi pilar utama dalam keluarga.

“Perempuan masih dibebani dengan tanggung jawab ganda yang tidak sebanding dengan rekan laki-laki mereka,” ujarnya.

Tekanan yang Berujung Burnout

Tekanan untuk sempurna di dua bidang seringkali berujung pada stres dan kelelahan mental. Sebuah studi dari American Psychological Association menemukan bahwa perempuan yang merasa harus berhasil di karier dan keluarga lebih rentan terhadap kecemasan dan burnout.

Menurut Dr. Sheryl Sandberg, mantan COO Meta dan penulis Lean In, mengatakan bahwa tekanan ini menciptakan beban psikologis berat.

“Kita perlu mengubah narasi bahwa perempuan harus melakukan semuanya, karena tidak ada yang bisa menjalankan dua peran penuh waktu tanpa konsekuensi,” katanya.

Saatnya Mencari Keseimbangan yang Realistis

Alih-alih mencari keseimbangan yang sempurna, perempuan dapat mencari keseimbangan yang realistis dan berkelanjutan. Beberapa negara seperti Swedia dan Islandia, misalnya, sudah mulai menerapkan kebijakan cuti orang tua yang lebih adil antara ibu dan ayah.

Fleksibilitas kerja juga semakin banyak diterapkan agar keseimbangan hidup lebih mudah dijangkau.

Selain itu, saat ini mulai banyak perusahaan yang menerapkan fleksibilitas kerja ini untuk mendukung keseimbangan antara karir dan kehidupan pribadi.

Dr. Naila Kabeer, profesor di London School of Economics, menekankan bahwa perempuan harus memiliki kebebasan untuk memilih tanpa tekanan sosial.

“Kesuksesan tidak bisa didefinisikan dengan standar tunggal. Perempuan harus diberi kesempatan untuk menentukan apa yang terbaik bagi mereka tanpa dihakimi,” ujarnya.

Stigma bahwa perempuan harus sukses di karier dan keluarga sekaligus merupakan hal yang harus dikaji ulang.

Keseimbangan antara karier dan keluarga adalah perjalanan yang unik bagi setiap perempuan, dan tidak ada solusi tunggal yang cocok untuk semua orang.

Dengan prioritas yang jelas, dukungan yang memadai, dan fleksibilitas, perempuan dapat mencapai keseimbangan yang realistis dan meraih kesuksesan dalam karier dan keluarga.

(Mauri Pertiwi)

BACA SELANJUTNYA

Fenomena Girl Boss: Glamor di Luar, Rapuh di Dalam?