Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - Sejarah sering kali menyisakan ruang-ruang kosong yang tidak terdokumentasikan secara luas, terutama ketika menyangkut kelompok yang tertindas. Salah satu babak kelam dalam sejarah yang jarang mendapat sorotan adalah perbudakan orang-orang Nusantara di Afrika Selatan pada masa kolonialisme.
Isna Marifa, melalui novel Mountains More Ancient, mengisi kekosongan ini dengan menghadirkan kisah yang tidak hanya berdasarkan riset sejarah mendalam tetapi juga dituturkan dengan gaya sastra yang menyentuh.
Latar Sejarah: Perbudakan Orang Indonesia oleh VOC di Afrika Selatan
Baca Juga
-
Induksi Laktasi, Pilihan untuk Ibu Adopsi yang Ingin MengASIhi
-
Heboh Pergub Poligami: Mengapa Negara Harus Ikut Campur Dalam Urusan Rumah Tangga ASN?
-
Solidaritas Perempuan di Era Digital: Gerakan #MeToo Menggugah Kesadaran dan Menuntut Perubahan
-
Jakarta Hadirkan Mobil SAPA, Layanan Konseling Keliling Khusus Perempuan dan Anak
-
Retail Therapy: Obat Mujarab untuk Hati yang Sedih atau Jebakan Konsumtif?
-
Polemik Zakat untuk Makan Bergizi Gratis: Memang Dana Umat Boleh Biayai Program Pemerintah?
Salah satu aspek terpenting dari novel ini adalah penggambaran realitas perbudakan di bawah kendali Vereenigde Oostindische Compagnie VOC tidak hanya mengendalikan perdagangan dan politik di Nusantara, tetapi juga terlibat dalam perdagangan manusia dengan menjadikan pribumi Asia Tenggara sebagai komoditas.
Menurut catatan arsip nasional, komunitas budak di Cape Town berasal dari berbagai wilayah di Asia dan Afrika. Orang Indonesia merupakan salah satu kelompok terbesar, mencapai sekitar 31,47 persen dari total populasi budak yang dibawa ke Afrika Selatan. Mereka sebagian besar berasal dari Jawa, Bali, Sulawesi, dan Sumatra.
Selain itu, para bangsawan dan tokoh agama yang menentang kolonialisme VOC juga banyak yang diasingkan ke Afrika Selatan, termasuk Sheikh Yusuf dari Makassar dan Pangeran Arya Mangkunegara dari Jawa.
Isna Marifa menghidupkan realitas pahit ini dengan menyoroti nasib Wulan dan ayahnya, Parto, yang menjadi korban sistem perbudakan ini.
Kisah mereka mencerminkan pengalaman banyak orang Indonesia yang kehilangan kebebasan dan identitas mereka di negeri asing, dipisahkan dari keluarga dan dipaksa bekerja tanpa hak sebagai manusia.
Wulan, Parto, dan Kehidupan Budak mereka di Koloni Cape Town
Wulan, karakter utama dalam novel ini, adalah seorang anak perempuan berusia sembilan tahun yang kehilangan masa kecilnya setelah ia dan ayahnya, Parto, dijual sebagai budak ke Cape Town.
Keputusan Wulan untuk mengikuti ayahnya meninggalkan tanah kelahirannya di Jawa, menunjukan keterikatan emosional yang mendalam antara ayah dan anak dalam situasi yang penuh penderitaan ini.
Di tanah asing itu, mereka menghadapi kekejaman tanpa batas. Majikan mereka, seorang pemilik peternakan Belanda bernama Baas, memperlakukan mereka dengan kejam sebagai properti belaka.
Seperti yang terjadi pada banyak budak perempuan saat itu, Wulan pun tak luput dari eksploitasi seksual. Dia dipaksa tunduk pada Knecht (pengawas budak), yang menjanjikan kebebasan bagi ayahnya jika ia bersedia menuruti nafsunya.
Namun, janji itu hanya kebohongan. Parto tetap diperbudak, dan Wulan harus menghadapi kehamilan yang tidak diinginkan sebagai akibat dari kekerasan tersebut.
Situasi ini menggambarkan realitas yang dialami oleh banyak perempuan budak di Cape Town pada masa itu. Mereka tidak hanya harus bekerja tanpa henti, tetapi juga sering kali menjadi korban kekerasan seksual tanpa perlindungan hukum.
Di pengasingan, merka membangun komunitas dan mempertahankan identitas mereka. Komunitas ini kemudian berkembang menjadi kelompok yang dikenal sebagai Cape Malay, yang hingga kini masih mempertahankan beberapa aspek budaya Melayu dan Islam di Afrika Selatan.
Salah satu kekuatan terbesar dari novel ini adalah gaya penulisan Isna yang puitis namun tetap kuat dalam menggambarkan realitas sejarah yang pahit.
Narasi dalam Mountains More Ancient mengalir dengan indah, memadukan fakta sejarah dengan elemen fiksi yang membangun hubungan emosional yang mendalam antara pembaca dan karakter-karakternya.
Dengan cara penulisan yang kuat, Ia berhasil menangkap kegetiran hidup para budak tanpa kehilangan esensi kemanusiaan mereka. Tak hanya menggambarkan penderitaan fisik mereka tetapi juga menjelaskan bagaiamana trauma psikologis yang mereka alami akibat kehilangan keluarga, identitas, dan kebebasan.
Selain itu, novel ini juga mengajarkan bagaimana sejarah tidak selalu tercatat dari perspektif para pemenang. Dengan menyoroti kehidupan orang-orang biasa seperti Wulan dan Parto, ia memberikan suara bagi mereka yang selama ini terlupakan dalam catatan sejarah.
Meskipun novel ini berlatar belakang sejarah abad ke-18, pesan yang disampaikannya tetap relevan dengan kondisi dunia saat ini.
Novel ini mengingatkan kita bahwa eksploitasi manusia tidak hanya terjadi di masa lalu tetapi masih terus berlangsung dalam berbagai bentuk, seperti perdagangan manusia modern dan perbudakan upah.
Penulis: Humaira Ratu Nugraha
Terkini
- Ladang Mimpi yang Berubah Jadi Neraka: Tragedi 100 Wanita Thailand di ' Peternakan Telur Manusia' Georgia
- Mengenal Roehana Koeddoes: Jurnalis Perempuan Pertama di Indonesia
- Stigma atau Realita: Perempuan Enggan Bersama Laki-laki yang Tengah Berproses?
- Komunitas Rumah Langit: Membuka Ruang Belajar dan Harapan bagi Anak-anak Marginal
- Subsidi BPJS Kesehatan Terancam, Siapa yang Paling Terdampak?
- Komnas Perempuan Soroti Perlindungan Jurnalis Perempuan dari Kekerasan Berbasis Gender
- Damkar Dipanggil, Polisi Ditinggal: Mengapa Publik Lebih Percaya Damkar?
- Tantangan dan Realitas Jurnalis Perempuan di Indonesia: Menyingkap Kesenjangan di Ruang Redaksi
- Memahami dan Merawat Inner Child: Kunci untuk Menyembuhkan Luka yang Tak Terlihat
- Working Holiday Visa Australia: Tiket Emas untuk Kerja dan Hidup di Luar Negeri