Kamis, 13 Februari 2025
Risna Halidi : Selasa, 29 Oktober 2024 | 18:06 WIB

Aktifkan Notifikasimu

Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.

Dewiku.com - Dewan Pers baru saja menggelar diskusi bertema Pemberitaan Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak pada Selasa, (29/10/2024) di Hall Dewan Pers, Jakarta Pusat.

Acara ini digagas untuk menanggapi banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, yang diberitakan tanpa memerhatikan prinsip kode etik jurnalistik.

Ninik menyebut bahwa masih terdapat pemberitaan kekerasan seksual yang bersifat diskriminatif, yang justru memperburuk proses pemulihan bagi korban.

"Penulisan pemberitahuan kasus kekerasan seksual banyak yang bersifatnya diskriminatif dan itu tentu membuat upaya pemulihan korban menjadi sangat sulit," ujarnya.

Ninik juga menyampaikan, Dewan Pers telah mengupayakan perlindungan bagi insan pers bebas dari kekerasan seksual melalui Peraturan Dewan Pers Nomor 03/Peraturan-DP/IV/2024 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pers.

Ia melanjutkan, kasus kekerasan seksual bisa saja terjadi oleh semua pihak, baik secara langsung dan tidak langsung melalui pemberitaan.

"Kasus kekerasan seksual adalah pelanggaran HAM yang tak hanya menyasar korbannya secara langsung, namun juga secara tidak langsung melalui pemberitaan yang tidak berspektif," ungkap Ninik ditulis Dewiku, Selasa (29/10/2024).

Komisi Penelitian dan Pendataan Dewan Pers, Atmaji Sapto Anggoro, turut menyampaikan hasil penelitian yang ia lakukan bersama Universitas Tidar, Magelang, pada 2022 lalu.

Diskusi Pemberitaan Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak pada Selasa, (29/10/2024) (Dewiku/Humaira Ratu Nugraha)

Dia menyebut bahwa dari 768 artikel berita yang dijadikan sampel penelitian, sebanyak 27 persen masih menyebutkan identitas korban.

"Berdasarkan penelusuran data, sejak Januari 2020 hingga Juni 2022, peneliti mendapatkan 768 artikel berita tentang kekerasan seksual di sembilan media. Dari 768 berita tersebut ada 212 atau 27 persen menyebut identitas korban," jelas Sapto.

"Secara umum, jenis kekerasan yang paling banyak terjadi yaitu kekerasan seksual, disusul kekerasan fisik dan psikis," tambah Sapto lagi.

Dalam paparannya, Sapto juga menjelaskan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sering dianggap memiliki nilai berita yang menarik oleh media.

"Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sering dianggap sebagai peristiwa yang menarik, sehingga kasus tersebut dieksploitasi untuk dengan tujuan komersial, seperti meningkatkan rating," ujarnya

Padahal, lanjut Sapto, pemberitaan kasus kekerasan seksual rawan terhadap pelanggaran kode etik jurnalistik atau KEJ.

Misalnya penyebutan identitas korban jadi jenis pelanggaran KEJ paling banyak terjadi dalam pemberitaan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Bentuk pelanggaran lainnya seperti penulisan atau penyebutan secara detail atau vulgar tindak kekerasan seksual yang terjadi pada korban.

"Hasil penelitian juga menemukan bahwa sebagian dari berita yang dipublikasikan tidak sensitif gender," tambah Sapto.

Misalnya narasi-narasi atau penggunaan istilah yang memberi label kepada korban seperti 'janda muda', 'seksi', 'cantik', dan 'bocah'. Selain itu ditemukan istilah atau narasi yang diskriminatif, seperti 'digilir', 'digagahi', 'ditunggangi', hingga 'prostitusi'.

Kemudian ada juga ditemukan bentuk penghakiman terhadap korban atau victim blaming seperti 'baju ketat', 'asusila', 'mandul', dan 'penghibur'.

Diakhir, Ninik mengajak media untuk menciptakan pemberitaan yang sehat, dan tidak membuat pemberitaan yang memprovokasi kekerasan seksual.

"Saya mengajak agar kita memikirkan bagaimana pemberitaan kita sehat, dan tidak membuat pemberitaan yang memprovokasi kekerasan seksual. Saya berharap kita (media) memiliki kepedulian," pungkasnya.

Penulis: Humaira Ratu Nugraha

BACA SELANJUTNYA

Gara-Gara 'Matre', Meghan Markle Kini Diserbu Media Amerika