Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - Baru-baru ini, Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) secara resmi telah menetapkan kebaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB), bersama dengan pertunjukan seni Reog Ponorogo dan alat musik tradisional kolintang. Persetujuan UNESCO ini disampaikan dalam Sidang Intergovernmental Committee for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage Sesi ke-19 di Paraguay, pada 2-5 Desember 2024.
Namun, UNESCO menetapkan bahwa kebaya bukan hanya warisan budaya tak benda dari Indonesia, tetapi juga Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, dan Singapura. Keempat negara tersebut bersama dengan Indonesia mengajukan pakaian tradisional ini sebagai warisan budaya dari daftar Representatif Warisan Budaya Tak Benda Kemanusian. Hal ini pun membuat kebaya bukan hanya pakaian tradisional Indonesia semata, tetapi menjadi simbol identitas kebudayaan Asia Tenggara.
"Di Asia Tenggara, kebaya adalah atasan dengan bukaan di bagian depan yang sering dihiasi dengan sulaman rumit dan dikenakan dengan pengikat seperti bros atau kancing," tulis keterangan resmi UNESCO.
Sejarah Kebaya, Ternyata Tak Cuma Milik Indonesia
Baca Juga
-
Urgensi Cuti Melahirkan, Hak Ibu Bekerja yang Tak Boleh Diabaikan
-
We Listen and We Don't Judge: Komunikasi Terbuka Jadi Kunci Hubungan Sehat
-
KDRT di NTT, Ketidakberdayaan Perempuan Masih Menjadi Masalah Besar
-
Mengupas Tabu Seksualitas Perempuan dan Stereotip Janda melalui Drakor A Virtuous Business
-
AI di Dunia Pendidikan: Solusi atau Ancaman untuk Mahasiswa Berpikir Kritis?
-
Perempuan Korban Kekerasan Tidak Bercerita, Victim Blaming Biang Keladinya
Dengan adanya penetapan UNESCO di atas, maka secara resmi keempat negara di atas bisa mengklaim kebaya sebagai busana tradisional mereka.
Namun, bila bicara mengenai sejarah kebaya, perjalanan busana ini memang sangat lekat dengan perempuan Indonesia. Lenny Agustin, desainer yang sangat concern dengan kebaya, mengatakan bahwa awalnya kebaya dipakai oleh perempuan-perempuan keraton. Karena zaman dulu, ketika masyarakat Indonesia masih beragama Hindu dan Buddha, kain sepotong itu tidak boleh dijahit. Dalam keyakinan, ada unsur-unsur bahwa kain yang sakral dan yang bermakna itu adalah yang tanpa jahitan.
Namun, sejak masuk ke abad ke-14, di saat banyak pendatang dari Barat yang masuk ke Indonesia, perempuan-perempuan di keraton itu ingin berdiri sejajar dengan mereka. Di sini, mereka pun mulai mengadopsi baju atasan untuk menutupi bagian bahunya.
"Selain itu, agama Islam juga sudah mulai masuk dari abad ke-15, jadi kesopanan ini mulai masuk ke ranah perempuan-perempuan kelas atas, dan tentunya mereka selalu ingin yang menjadi yang terdepan," kata Lenny dalam acara Designer Talk : Perempuan Indonesia & Kebaya, yang berlangsung secara daring beberapa waktu lalu.
"Jadi, mode itu, kalau sekarang kita tren mode bisa didapat dari desainer dari trend setter artis dan sebagainya, kalau dulu itu dari penguasa dulu, dari keraton, kerajaan, karena mereka juga punya kuasa untuk mengatur pakaian rakyatnya, jadi yang boleh dan enggak boleh dan sesuai dengan kedudukan itu diatur oleh keraton," tambah perempuan yang juga menjabat sebagai National Chair Indonesian Fashion Chamber (IFC) periode 2024-2027.
Namun, perempuan indo dan totok ini mengembangkan kebaya sesuai dengan identitas mereka. Dikatakan Lenny, mereka tidak mau memakai kain yang sama dengan perempuan keraton, sehingga mereka menciptakan kain-kain yang gambarnya khas Eropa, biasanya gambar buketan atau bunga, yang kemudian dikenal dengan batik buketan.
"Kemudian kebayanya juga bahannya berbeda dengan orang keraton. Dia juga memakai hiasan-hiasan renda dan berwarna putih," kata Lenny.
"Kemudian kenapa kita sekarang kenalnya sebagai kebaya encim, karena waktu itu sebagai kelas masyarakat strata kedua setelah Belanda, tentu orang-orang keturunan Tionghoa ini, mereka pengusaha dan tentunya sangat kaya-raya, mereka juga ingin menyamai perempuan-perempuan induk ini, dan mereka juga tetap memasukkan identitas mereka baik di kebayanya maupun di kainnya, Jadi kebayanya mereka bordir dengan motif-motif khas China, kain batiknya juga mereka buat dengan gambar-gambar burung naga dan sebagainya," papar Lenny.
Kebaya merupakan warisan budaya yang kaya makna dan filosofi. Di balik keindahan desain dan kerumitan pembuatannya, kebaya menyimpan nilai-nilai luhur yang diwariskan turun-temurun.
Mengutip dari tayangan di Youtube IndonesiaBaikID yang bertajuk Filosofi Kebaya, Kebaya Bukan Sekedar Pakaian, konon bentuk awal kebaya mengikuti busana para permaisuri atau selir raja di Kerajaan Majapahit yang mengenakan kain dan kemben di bagian dada. Lalu, pada saat budaya Islam masuk, ada penyesuaian yaitu menutup area dada dengan semacam outer dari kain tipis.
Pada abad ke-15 sampai 16, wanita Indonesia sudah mulai pakai kebaya, tapi cuma di kalangan bangsawan saja. Hingga kemudian, kebaya akhirnya mulai dipakai oleh siapa pun, dan kini identik dengan pakaian di acara istimewa.
Terkait filosofi kebaya, hal ini ternyata sangat berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan, yaitu:
- Model kebaya yang anggun dengan atasan dan juga kain yang panjang ini menggambarkan perempuan Indonesia yang lemah lembut.
- Penggunaan kain yang melilit, yang kerap membuat pemakainya jadi sulit bergerak bebas, menggambarkan wanita Indonesia, khususnya wanita Jawa pada saat itu, identik dengan pribadi yang lemah gemulai.
- Kebaya yang cenderung mengikuti bentuk tubuh membuat perempuan yang memakainya secara otomatis harus menyesuaikan diri dan menjaga diri untuk bersikap kalem, atau menurut orang Jawa, tidak grasa-grusu.
- Penggunaan stagen atau ikat pinggang kebaya dalam pepatah jawa ini menyimbolkan usus yang panjang atau dowo ususe, yang maknanya punya kesabaran yang tinggi.
Itulah filosofi kebaya yang sangat erat kaitannya dengan pepatah-pepatah Jawa. Kenapa Jawa? Hal ini karena memang zaman dulu, perempuan yang mayoritas pakai kebaya ada di Pulau Jawa.
Terkini
- Stop Self-Talk Negatif! Ini Cara Membangun Self-Respect di Era Digital
- Merasa Kecil di Dunia yang Besar: Menggali Akar Inferiority Complex
- Resah Driver Ojol Perempuan: Ada Ketidakadilan Mengintai di Setiap Kilometer
- Fake It Till You Make It: Boleh Dicoba, Asal Jangan Kebablasan, Girls!
- Fatphobia Bukan Sekadar Masalah Berat Badan, Tapi Diskriminasi!
- Self Care Bukan Egois, Tapi Hak Setiap Perempuan untuk Sejahtera
- Pap Smear: Deteksi Dini Kanker Serviks, Selamatkan Nyawa Perempuan
- Mengenal Sunday Scaries, Rasa Cemas yang Timbul di Hari Minggu
- Alasan Mengapa Maret jadi Bulan Perempuan
- Tren Kabur Aja Dulu: Antara Impian dan Realita, Sejauh Mana Keseriusannya?