
Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Dewiku.com - Ketika ada perempuan yang berkata dirinya menyesal akan pilihannya menjadi seorang ibu, ia akan dianggap egois dan tidak bermoral. Padahal, kenyataannya, perasaan menyesal yang dirasakan banyak perempuan atas peran yang saat ini diembannya, seringkali tidak berhubungan dengan rasa cinta yang ia miliki kepada anaknya. Mereka bisa jadi tetap mencintai anak-anaknya, namun membenci peran yang harus mereka jalani sebagai seorang ibu. Kenapa bisa seperti itu?
Faktanya, menjadi ibu bukanlah hal yang mudah, bahkan inilah salah satu pekerjaan paling sulit yang bisa dilakukan seseorang. Memberikan perawatan dan kasih sayang kepada orang lain, membentuk karakter dan perilaku seseorang hingga mereka dapat berdiri sendiri tanpa bantuan dari orang lain, merupakan pekerjaan yang sulit dan penuh tanggung jawab. Dan, semua tugas ini dibebankan kepada perempuan yang kebetulan mendapat titel 'ibu'. Tak sampai di situ, kita bahkan akan meminta pertanggung jawaban kepada ibu setiap kali terjadi kesalahan dalam proses pengasuhan ini.
Fenomena inilah yang kemudian menciptakan beban psikologis yang berat bagi para ibu, terutama ketika anak mengalami masalah dalam perkembangan atau pendidikan mereka.
Seperti dikatakan Psikolog Agustini, ada kecenderungan bahwa ibu sering kali menjadi pihak yang disalahkan ketika anak mengalami gangguan, baik itu dalam pendidikan atau masalah kesehatan seperti disabilitas.
Baca Juga
-
Pentingnya Mengenal Diri Sendiri sebelum Menikah: Bukan Sekadar Menemukan Cinta, Tapi Menjadi Pasangan yang Tepat
-
Bukan Cinta, Tapi Luka: Mengenali Tanda-Tanda Emotional Abuse dalam Hubungan
-
Dampak PPN 12% bagi Perempuan: dari Dompet Tipis Hingga Akses Kesehatan Terancam
-
Tobrut dan Aura Maghrib: Lelucon atau Bentuk Baru Diskriminasi?
-
Bye Hustle Culture, Hello Soft Life: Mengapa Hidup Tanpa Tekanan Jadi Tujuan Baru?
-
Kisah Anna Jarvis, Sosok di Balik Hari Ibu dan Penyesalan Terdalamnya
Dalam pandangan tradisional, ibu adalah sosok yang paling bertanggung jawab atas perkembangan anak, mulai dari masa kehamilan hingga proses pendidikan setelah kelahiran. Dan ketika anak mengalami gangguan, ibu akan menjadi sasaran kritik, baik dari pasangan maupun masyarakat.
Padahal, menurut Agustini, penyebab gangguan perkembangan anak tidak hanya disebabkan oleh ibu. Faktanya, faktor genetik dari ayah juga bisa berperan dalam masalah yang dihadapi anak. Namun, di masyarakat, ibu sering kali menjadi pihak yang disalahkan.
Hal ini terutama terjadi karena peran tradisional di Indonesia, di mana ayah dianggap sebagai pencari nafkah utama dan ibu sebagai pengasuh.
Fenomena ini tidak hanya terjadi pada keluarga dengan anak yang memiliki disabilitas, tetapi juga pada masalah pendidikan. Agustini memberikan contoh bahwa banyak ibu yang merasa bersalah ketika anak-anak mereka mengalami kesulitan dalam belajar.
"Ibu merasa bersalah karena menganggap dirinya mungkin tidak cukup menjaga atau mendidik dengan baik, padahal masalah tersebut bisa jadi bersifat genetik atau karena faktor lain yang tidak terduga," lanjut Agustini.
Sementara itu, di sisi lain, ayah sering kali dianggap lebih cuek atau kurang terlibat dalam pendidikan anak. Hal ini karena tugas utama mereka dianggap hanya berkisar pada penyedia nafkah keluarga.
"Ayah lebih jarang dilibatkan dalam masalah perkembangan anak. Jika anak sukses, sering kali ayah yang dianggap berjasa, tetapi jika anak bermasalah, ibulah yang lebih sering disalahkan," ujar Agustini.
Masalah ini menciptakan ketegangan dalam hubungan pasangan, di mana ibu merasa terbebani dengan harapan masyarakat dan pasangan terhadap peranannya.
Seringkali, dalam situasi ini, ayah menganggap bahwa masalah perkembangan anak sepenuhnya adalah urusan ibu, tanpa merasa perlu untuk terlibat lebih jauh.
Masyarakat perlu mengubah pandangan ini agar ayah juga lebih aktif dalam mendidik dan merawat anak. Dengan cara ini, beban yang selama ini dipikul ibu bisa lebih ringan, dan pendidikan anak menjadi tanggung jawab bersama.
Pada akhirnya, penting bagi masyarakat untuk menyadari bahwa dalam mendidik anak, baik ibu maupun ayah memiliki peran yang sama pentingnya. Tidak seharusnya ada pihak yang disalahkan sepenuhnya ketika anak menghadapi masalah. Sebaliknya, yang dibutuhkan adalah saling dukung dan kerja sama dalam menjalankan peran orang tua, demi tumbuh kembang anak yang lebih baik. Dengan begitu, tak akan ada lagi reaksi emosional yang menyebut soal penyesalan seorang perempuan menjafi seorang ibu.
(Nurul Lutfia Maryadi)
Terkini
- Kamu Terlalu Mandiri: Ketika Kemandirian Perempuan Masih Dianggap Ancaman
- Support System Seumur Hidup: Bagaimana Kakak Adik Perempuan Saling Menguatkan?
- Women News Network: Menguatkan Suara Perempuan dari Aceh hingga NTT
- Saatnya Berbagi Tugas di Dapur, Karena Memasak Bukan Hanya Tanggung Jawab Perempuan
- Lajang dan Bahagia: Cara Perempuan Menikmati Hidup Tanpa Tekanan Sosial
- Plan Indonesia dan SalingJaga Gelar Soccer for Equality, Dukung Kesetaraan Pendidikan Anak Perempuan NTT
- Paternity Leave Bukan Sekadar Cuti, Tapi Wujud Budaya Kerja yang Inklusif
- Koper Ringan, Gaya Baru Menjelajah Dunia Tanpa Beban
- Body Positivity vs Body Neutrality: Mana Jalan Terbaik Menerima Tubuh Apa Adanya?
- Wujud Kesetaraan di Dunia Transportasi, Kartini Masa Kini di Balik Kemudi