ragam

Vonis Bebas Septia jadi Bukti Waktunya Hentikan Kriminalisasi Pekerja!

"Pemecatan dan pemotongan gaji itu membuat mantan-mantan buruh sangat trauma. Hal itu sangat menyakitkan bagi kami," tegas Septia.

Risna Halidi
Kamis, 23 Januari 2025 | 08:08 WIB

Septia Dwi Pertiwi, seorang buruh perempuan yang dikriminalisasi oleh mantan bosnya, divonis bebas dalam kasus pencemaran nama baik Henry Kurnia Adhi alias Jhon LBF. Hakim membebaskan Septia dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

"Menyatakan Terdakwa Septia Dwi Pertiwi tersebut di atas tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwa dalam dakwaan alternatif pertama primer, dakwaan alternatif pertama subsider, dan dakwaan alternatif kedua Jaksa Penuntut Umum," kata Ketua Majelis Hakim Saptono saat membacakan amar putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (22/1), dilansir dari Suara.com.

Keputusan ini disambut penuh haru dan kegembiraan oleh berbagai pihak, terutama aktivis buruh dan pegiat hak asasi manusia yang sejak awal mengawal kasus Septia.

Mereka menilai putusan ini sebagai kemenangan bagi kebebasan berpendapat dan hak-hak pekerja yang selama ini kerap terpinggirkan.

Kasus ini bermula ketika Septia mengungkapkan ketidakadilan yang dialaminya di tempat kerja melalui media sosial.

Baca Juga: Perayaan Mati Rasa: Menghadapi Kehilangan dan Menerima Kenyataan

Dalam unggahannya, ia menyampaikan dugaan pelanggaran hak ketenagakerjaan yang terjadi di perusahaan milik John LBF. Seperti upah di bawah UMR dan jaminan sosial yang tidak di bayarkan selama dia bekerja.

Namun, alih-alih mendapatkan penyelesaian yang adil, ia justru dilaporkan atas tuduhan pencemaran nama baik oleh John LBF.

Ia dijerat oleh beberapa oleh Pasal UU ITE yaitu Pasal 27 ayat (3) UU ITE jo. Pasal 45 ayat (3) dan/atau Pasal 36 jo.

Loading...

Tak hanya itu, Septia juga dijerat dengan Pasal 51 ayat (2), dan/atau Pasal 310 KUHP dan/atau Pasal 311 KUHP.

"Walaupun terdapat ruangan atasan yang bisa digunakan untuk menutupi amarah itu, nyatanya ruangan terbuka kubikel kantor buruh bekerja terkesan lebih nyaman digunakan untuk meluapkan amarah atasan kepada buruhnya," kesaksian Septia saat membacakan pleidoi atau nota pembelaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, dilansir dari Suara.com.

Selama bekerja, Septia dan rekan-rekan sesama karyawan sering mengalami pemecatan mendadak tanpa pemberitahuan sebelumnya. Situasi ini membuatnya selalu bersiap menghadapi kemungkinan dipecat setiap hari.

Selain itu, ia juga harus mempersiapkan mental untuk menghadapi pemotongan gaji yang dilakukan secara tiba-tiba tanpa alasan yang jelas.

"Bahkan akibat kesalahan orang lain pun saya terkena dapat pemotongan gaji. Hal tersebut membuat saya merasa tidak akan pernah terhindar dari pemotongan gaji," ungkap Septia.

Ia menekankan bahwa pemecatan dan pemotongan gaji yang dilakukan secara mendadak oleh perusahaan telah meninggalkan dampak psikologis bagi banyak mantan karyawan.

"Pemecatan dan pemotongan gaji itu membuat mantan-mantan buruh sangat trauma. Hal itu sangat menyakitkan bagi kami," tegasnya.

Proses hukum yang dijalaninya tidak mudah. Septia harus menghadapi tekanan serta risiko besar akibat keberaniannya bersuara.

Putusan bebas bagi Septia seharusnya menjadi pengingat bahwa memperjuangkan hak bukanlah sebuah kejahatan.

Kriminalisasi terhadap buruh yang berani bersuara menunjukkan bagaimana hukum kerap kali lebih tajam ke bawah, sementara pelanggaran hak ketenagakerjaan terus berulang tanpa konsekuensi yang jelas bagi pelakunya.

Namun, tanpa perubahan sistem yang lebih berpihak pada pekerja, kasus serupa akan terus terulang, dan keadilan bagi buruh hanya akan menjadi janji kosong yang sulit diwujudkan.

Kemenangan Septia dalam persidangan ini bukanlah akhir dari perjuangan.

Kasusnya menjadi simbol perlawanan terhadap kriminalisasi pekerja dan dorongan untuk terus memperjuangkan kebebasan berpendapat serta hak-hak buruh di Indonesia.

Baca Juga: Jarang Disorot, Begini Dampak Poligami terhadap Kesejahteraan Emosional Anak

Penulis: Humaira Ratu Nugraha 

ragam

Father Wound: Luka Batin yang Tersisa Ketika Ayah Tidak Hadir

Anak yang mengalami father wound sering kali mencari pengakuan dan penerimaan, namun tanpa disadari, hal ini justru membuatnya rentan dimanfaatkan oleh orang lain.

ragam

Banyak Chef Laki-Laki Sukses, Tapi Kenapa Dapur Rumah Tangga Tetap Urusan Perempuan?

Ketika hampir 94% restoran berbintang Michelin dipimpin oleh chef laki-laki, urusan dapur di rumah tangga tetap diidentikkan dengan perempuan.

ragam

Memahami Baby Blues, Gelombang Emosi yang Dialami Ibu Baru Pascamelahirkan

Baby blues adalah kondisi emosional yang umum dialami oleh ibu baru setelah melahirkan. Ini ditandai dengan perubahan suasana hati yang drastis, seperti perasaan sedih, cemas, lelah, dan mudah tersinggung.

ragam

Tuntutan Sempurna Profesi Guru Perempuan, Bisakah Tergapai?

Guru tidak hanya dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas, tetapi juga diharapkan menjadi sosok panutan, motivator, dan sekaligus penasehat bagi siswanya.

ragam

Fenomena Pink Tax, Mengungkap Pajak Tersembunyi yang Dibayar Perempuan

Pernahkah Anda memperhatikan harga barang atau jasa yang ditujukan untuk perempuan sering kali lebih mahal dibandingkan untuk pria?

ragam

Mengapa Film Natal Tak Pernah Terasa Membosankan?

Menonton film liburan bersama keluarga meningkatkan keintiman dan bahkan dapat memperbaiki hubungan, karena film liburan alurnya tidak rumit, dan memiliki akhir yang bahagia.